 
                            Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.
Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.
Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.
Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Pertemuan
Setelah ledakan amarah Amara pagi itu, suasana rumah keluarga Mahendra berubah menjadi sunyi yang mencekam. Sore harinya mereka tetap datang ke rumah Alendra. Tak ada satu pun yang berbicara di sepanjang perjalanan. Hanya suara mesin mobil Damian yang terdengar monoton, menyusuri jalan kota hingga akhirnya berhenti di depan sebuah gang sempit yang dipenuhi rumah-rumah tua dan kabel listrik yang menjuntai rendah.
Kini mereka berdiri di sana — Amara, Damian, dan Rayven. Tiga sosok yang diam di tengah udara panas dan pengap gang itu. Sudah lebih dari lima menit berlalu, namun tak ada satu pun kata keluar dari bibir mereka.
“Kamu udah kabarin Alendra?” tanya Damian akhirnya, suaranya terdengar tenang tapi berisi tekanan yang sulit disembunyikan. Ia berusaha menahan diri agar tidak meledak di depan umum, meski rasa kesal dalam dadanya hampir meluap.
Rayven mengangguk pelan, pandangannya tertuju pada layar ponsel. “Udah, Yah. Dia bilang bentar lagi ke sini.”
Amara menatap sekeliling dengan raut wajah yang tak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Rumah-rumah di sekitar tampak rapat dan kusam. Beberapa anak kecil berlari tanpa alas kaki di jalanan sempit, sementara suara ibu-ibu yang sedang mengobrol di teras terdengar samar di kejauhan.
“Rayven,” ucap Amara pelan tapi tajam, “ini beneran rumahnya di sini? Di tempat kayak gini?”
Rayven menunduk, tidak menjawab. Hanya anggukan kecil yang ia berikan.
Amara mendesah keras. “Ya Tuhan…” gumamnya, menutup hidung pelan karena bau got yang menguar dari ujung gang. “Kamu benar-benar bikin Mamah gak bisa percaya, Ven.”
Damian menatap istrinya sekilas, memberi isyarat agar menahan diri. “Udah, Mar. Jangan ngomong dulu di sini. Kita selesaikan baik-baik.”
Amara diam, tapi matanya masih menyapu sekitar dengan tatapan yang jelas menunjukkan ketidaknyamanan.
Rayven menatap ujung gang, jantungnya kembali berdetak cepat. Ia tak tahu harus bicara apa ketika Alendra datang nanti. Rasa bersalah yang menghantui sejak malam itu kembali menyesakkan dada.
Tak lama kemudian, suara langkah tergesa terdengar. Dari arah dalam gang, muncul sosok gadis berambut panjang dengan kaos polos dan celana jeans pudar. Alendra. Nafasnya sedikit terengah, wajahnya berkeringat karena berjalan cepat di bawah terik matahari.
“Sorry, gue lama,” katanya sambil menarik napas. “Baru izin dari kafe tadi.”
Rayven hanya mengangguk. “Gak apa-apa.”
Amara dan Damian menatap gadis itu tanpa berkata-kata. Ini pertama kalinya mereka melihat Alendra — gadis yang dihamili oleh anak mereka. Bukan seperti yang Amara bayangkan. Ia mengira akan bertemu dengan gadis yang berpenampilan mencolok atau berani, tapi Alendra terlihat sederhana, bahkan polos. Wajahnya muda, lembut, tapi matanya penuh gugup.
“Selamat sore, Om, Tante,” sapa Alendra sopan, menundukkan kepala.
Damian membalas dengan anggukan kecil. “Selamat sore, Alendra. Kita boleh bicara sebentar dengan orangtua kamu?”
Gadis itu mengangguk cepat. “Iya, Om. Tapi mungkin lebih enak di dalam, biar gak di pinggir jalan gini.” Ia menoleh ke arah Rayven, memberi isyarat agar ikut masuk.
Amara menatap gang sempit itu lagi, tampak enggan. Tapi demi membicarakan hal serius, ia menahan diri dan mengikuti langkah mereka bertiga masuk ke rumah sederhana milik keluarga Alendra.
Rumah itu kecil, tapi bersih. Ada aroma kopi dan kayu yang samar tercium. Di ruang tamu, hanya ada dua kursi tua dan meja pendek dengan taplak renda yang sudah agak kusam.
“Silakan duduk, Om, Tante,” ucap Alendra canggung.
“Siapa, Len?” teriak sebuah suara perempuan dari dalam rumah.
Suara itu parau tapi terdengar akrab, hangat — seperti milik seorang ibu yang sudah terlalu sering letih oleh hidup.
Alendra menelan ludah, tubuhnya kaku di tempat. Ia menoleh sebentar ke arah ruang tamu, lalu kembali memandang tiga sosok di hadapannya — Damian, Amara, dan Rayven yang kini mulai gelisah di kursi.
“E-eh, ini… ada tamu, bu,” jawab Alendra gugup. “Masuk dulu, Om, Tante.”
Tak lama, seorang wanita paruh baya muncul dari balik tirai ruang tengah. Wajahnya lembut tapi terlihat letih, rambutnya diikat asal. Itulah Larissa, ibu dari Alendra. Di belakangnya, seorang pria berperawakan tinggi dan berwajah keras muncul, mengenakan kaos polos dan celana kerja lusuh — Ardian, ayah Alendra.
Larissa sempat tersenyum kecil, tapi senyum itu memudar ketika matanya menangkap tatapan tegang yang memenuhi ruangan.
“Silakan duduk, Pak, Bu,” ujarnya sopan. “Saya Larissa, ibunya Alendra. Ini suami saya, Ardian.”
Damian berdiri dan membalas salam dengan ramah, meski suaranya terdengar berat. “Saya Damian, ini istri saya, Amara. Kami… orang tua Rayven.”
Nama itu membuat Larissa dan Ardian saling berpandangan. Aura ruangan seketika berubah. Larissa mengernyit bingung, sementara Ardian menyipitkan mata curiga ke arah Rayven yang duduk menunduk.
“Rayven?” ulang Ardian dengan nada datar. “Anak sekolah kamu, Len?”
Alendra menunduk dalam, menggenggam ujung bajunya erat-erat. “Iya, Yah…” jawabnya hampir tak terdengar.
Suasana menjadi kaku. Tak ada yang bicara. Amara melirik Damian, memberi isyarat halus agar suaminya segera membuka pembicaraan sebelum suasana semakin memburuk.
Damian menarik napas panjang. “Kami datang ke sini untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting, Pak, Bu,” ucapnya perlahan tapi tegas. “Terkait anak kami dan… anak Bapak.”
Ardian menegakkan tubuhnya, suaranya mulai meninggi. “Maksudnya apa?”
Rayven meneguk ludah keras. Jantungnya berdegup sampai nyaris memekakkan telinga. Ia tahu, ini waktunya — entah seberapa menyakitkan nanti, ia tak mau lagi bersembunyi di balik kebohongan.
“Saya…” suara Rayven bergetar, “Saya yang udah bikin Alendra hamil, Om.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu besar di tengah ruangan.
Larissa menutup mulutnya spontan, terkejut setengah mati.
Alendra menunduk makin dalam, air matanya langsung tumpah.
Amara terdiam, sementara Damian memejamkan mata, menahan napas berat.
Ardian membeku beberapa detik — wajahnya merah, tangan mengepal kuat hingga urat di lengannya menonjol. Lalu tiba-tiba, ia menghentakkan langkah ke depan.
“APA?!” suaranya meledak. “Kamu bilang kamu hamilin anak saya?!”
Rayven berdiri reflek. “Om, saya minta maaf! saya gak mau ngelak, saya akan tanggung jawab! saya bener-bener salah!”
Tapi sebelum sempat bicara lebih jauh, Ardian sudah melayangkan tinjunya ke arah wajah Rayven.
Bugh!
Satu pukulan keras menghantam pipi Rayven, membuat tubuh remaja itu terhuyung ke belakang dan hampir jatuh.
“AYAH!” teriak Larissa kaget, berusaha menahan suaminya.
Damian segera maju, memegang bahu Ardian agar tak melepaskan pukulan kedua.
“Cukup, Pak Ardian! Tolong tenang dulu!” seru Damian dengan suara dalam dan berwibawa.
“Tenang?” Ardian menatap Damian dengan mata membara. “Anak kalian hancurin hidup anak saya, dan kamu menyuruh saya TENANG?!”
Rayven memegangi pipinya yang memar, darah sedikit merembes di sudut bibirnya. Tapi ia tak membalas, tak berani. Ia hanya menatap Ardian dengan mata penuh penyesalan.
“Om, saya salah. Saya bener-bener ngaku salah. Tapi saya gak akan kabur. Saya siap tanggung jawab. Saya—”
“Diam kamu!” bentak Ardian. “Tanggung jawab apaan?! Kamu bahkan masih bau keringet sekolah! Kamu pikir bisa gantiin rasa malu anak saya dengan kata ‘maaf’?”
Alendra yang sejak tadi menangis akhirnya maju ke depan, menarik lengan ayah tirinya.
“Yah, tolong… jangan pukul dia lagi. Aku juga salah. Aku gak mau dia disakiti.”
Larissa ikut menarik suaminya ke belakang, menatapnya dengan tatapan yang nyaris putus asa. “Cukup, yah. Kamu malah bikin anak kita makin malu.”
Damian masih berdiri di tengah, menjaga jarak agar situasi tak semakin kacau. Amara menatap Rayven dengan campuran marah dan iba — melihat putranya berdiri gemetar dengan wajah lebam membuat hatinya remuk, meski ia tahu anaknya salah besar.
Larissa menatap Damian dan Amara, suaranya parau. “Pak, Bu… saya gak tahu harus ngomong apa. Tapi ini terlalu berat buat kami. Anak saya masih kecil, masih sekolah. Sekarang… dia harus hadapi semua ini.”
Damian mengangguk pelan, suaranya rendah namun penuh empati. “Kami paham, Bu Larissa. Kami juga kaget, sama hancurnya seperti kalian. Tapi percayalah, anak kami gak akan lari. Kami datang bukan buat kabur dari tanggung jawab.”
Ardian menatap sinis. “Tanggung jawab? Kalian mau tanggung jawab? Gimana caranya? Kalian mau nikahin anak saya?!”
Pertanyaan itu membuat ruangan kembali hening.
Amara menatap Damian, wajahnya tegang. Rayven menggigit bibirnya sampai berdarah. Ia menatap Alendra sebentar — mata mereka saling bertemu, dan di sana hanya ada ketakutan dan kesedihan yang sama.
“Saya… saya mau, Om,” jawab Rayven akhirnya dengan suara parau. “Kalau itu bisa bikin semuanya benar lagi, saya mau nikahin Alendra.”
“Rayven!” Amara sontak menatapnya tajam, tak percaya anaknya bicara seperti itu di depan umum.
Ardian tersenyum miring, sinis, tapi matanya masih penuh amarah. “Nikah katanya… dasar bocah. Kamu pikir ini mainan, hah?! Kamu pikir hidup semudah itu?!”
Rayven menunduk. “Enggak, Om. Tapi saya gak mau kabur. Saya bakal kerja, bantu dia. Saya yang bikin dia kayak gini, saya harus tanggung jawab.”
Damian akhirnya angkat bicara dengan suara tegas tapi tenang. “Kita belum bisa bahas soal pernikahan sekarang, Pak Ardian. Yang penting, anak-anak ini harus diperiksa dulu, dan keluarga kita bicara baik-baik, tanpa emosi. Kami datang dengan niat baik, bukan buat memperkeruh.”
Larissa menatap Damian lama-lama, lalu mengangguk pelan. “Saya ngerti, Om. Tapi tolong… kasih waktu buat kami. Saya harus berdiskusi terlebih dahulu."
Damian mengangguk. “Kami juga akan bicara lagi, Bu. Tapi kami janji gak akan lari dari tanggung jawab.”
Amara menyentuh lengan suaminya pelan, memberi tanda agar mereka segera pergi sebelum Ardian meledak lagi.
Rayven menatap Alendra sesaat sebelum melangkah keluar. Gadis itu masih menangis, memegangi perutnya yang datar. Tatapan mereka saling bertemu — sedih, bersalah, tapi juga ada janji diam yang tak terucap.
Begitu pintu kayu tua itu tertutup, suara tangis Alendra akhirnya pecah keras di dalam rumah.
Sementara di luar, Rayven berjalan gontai di belakang kedua orang tuanya, pipinya masih perih, dadanya terasa sesak.
Dan di bawah langit sore yang muram, hanya satu hal yang berputar di benaknya:
“Gue udah hancurin hidup orang, tapi gue juga gak akan biarin dia hadapi semua ini sendirian.”
 
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                    