Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kehangatan setelah kesalah pahaman
Malam semakin dalam. Suara hujan yang tiba-tiba turun menari pelan di atap apartemen, menciptakan alunan alami yang menenangkan. Lampu kamar hanya dinyalakan redup—cukup untuk memperlihatkan bayangan wajah satu sama lain, tapi tak cukup terang untuk menyembunyikan getar di mata mereka.
Reva duduk di tepi tempat tidur, rambutnya yang longgar jatuh menutupi sebagian bahunya. Ia baru saja selesai mandi, mengenakan kaus tidur katun tipis berwarna krem yang memeluk tubuhnya dengan lembut. Di sebelahnya, Raka berdiri dekat jendela, memandangi hujan sambil melepas kemejanya perlahan. Otot punggungnya tegang, tapi bukan karena lelah—melainkan karena sesuatu yang lebih dalam, lebih hangat.
Sejak makan malam tadi, ada sesuatu yang berubah. Bukan hanya kepercayaan yang pulih, tapi juga keberanian—keberanian untuk lebih dekat, lebih jujur, lebih… utuh.
Raka berbalik. Matanya menatap Reva, bukan dengan nafsu liar, tapi dengan kerinduan yang selama ini ia pendam. Mereka sudah menikah hampir setahun, tapi selalu menjaga batas—karena Reva masih malu, karena Raka tak ingin memaksa, karena keduanya ingin segalanya terasa alami.
Tapi malam ini… malam ini terasa berbeda.
“Kamu kedinginan,sayang ?” tanya Raka pelan, suaranya serak.
Reva menggeleng, tapi tubuhnya sedikit menggigil—bukan karena dingin, melainkan karena antisipasi. “Nggak… cuma… hujannya bikin suasana jadi… aneh.”
“Aneh bagaimana?” Raka mendekat, duduk di sampingnya. Tangannya menyentuh punggung Reva dengan lembut, jemarinya menyusuri tulang belikat yang halus.
“Kayak… semua jadi lebih… dekat,” bisik Reva, menunduk.
Raka tersenyum kecil. “Mungkin karena kita akhirnya benar-benar terbuka hari ini.”
Reva menoleh, menatap matanya. “Iya. Aku… nggak mau ada jarak lagi antara kita.”
Kata-kata itu seperti kunci yang membuka sesuatu yang selama ini terkunci rapat.
"Sayang ,malam ini kamu cantik sekali ."
"jadi aku cantik cuma malam ini saja ,dan sebelumnya aku nggak cantik ,gitu mas ." Reva pura pura marah dengan memasang muka yang cemberut .
"Bukan begitu sayang ,kemarin ,hari ini ,hari esok kamu tetap cantik ,dan tidak ada yang menandingi kecantikan kamu ." ucap Raka dan tersenyum
"Bohong ! mas pasti gombal .'"
"Nggak sayang ,aku tidak gombal ,aku ngomong apa adanya ,bagiku kamu adalahi bidadariku ,tidak ada yang menandingi kecantikan kamu ," Raka mencium dan memeluk Reva dengan mesranya .sementara Reva mendengar ucapan manis yang keluar dari mulut Raka ,mukanya merona ,hatinya berbunga - bunga .
"Mas ,apakah mas benar - benar mencintaiku ?"
Raka menarik napas dalam, lalu perlahan mengangkat tangan, menyentuh dagu Reva. Ia mencondongkan wajah, dan menciumnya—lembut, dalam, penuh arti. Bukan ciuman biasa seperti yang mereka lakukan setiap pagi sebelum berangkat kerja, tapi ciuman yang mengatakan: *Aku milikmu. Dan kamu milikku.*
"Aku sangat mencintaimu ,sayang ,kita akan menua bersama ." Raka kembali mencium Reva dengan lembut
Reva membalas, tangannya meraih lengan Raka, jemarinya mencengkeram erat seolah takut ia menghilang. Napas mereka mulai tak beraturan. Raka perlahan menarik diri, lalu menatap bibir Reva yang sedikit membengkak.
"Aku juga sangat mencintaimu ,dan aku juga ingin menua bersamamu ." ucap Reva mencium Raka dengan mesranya .
“Boleh… aku sentuh kamu lebih dari ini?” tanya Raka pelan, suaranya bergetar.
Reva menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Iya mas ,Aku juga ingin mas melakukan itu ,kita sudah menikah hampir setahun ,dan Aku percaya kamu,mas .”
Itu saja. Tapi bagi Raka, itu cukup.
Tangannya yang hangat perlahan menyusuri lengan Reva, lalu turun ke pinggang, menariknya lebih dekat. Ia mencium leher Reva—perlahan, hati-hati, seolah takut melukai. Tapi saat Reva mendesah pelan, Raka tahu: ia tak perlu takut lagi.
"Terimakasih sayang ,kamu percaya padaku ,aku janji aku tidak akan menyakiti kamu ,dan aku akan selalu membahagiakanmu ." Raka terus mengecup leher dan bagian sensitif Reva ,dan membuat Reva semakin merasakan tidak karuan ,suara desahannya seakan akan musik ,yang membuat Raka semakin bersemangat .
Raka menurunkan tali kaus tidur Reva dari bahu kanannya, lalu mencium kulit di sana—lembut, hangat, penuh penghargaan. Reva menutup mata, dadanya naik-turun cepat. Belum pernah ada yang menyentuhnya seperti ini. Bahkan saat mereka pertama kali menikah, mereka hanya berpelukan erat, saling menahan diri.
Tapi malam ini, mereka tak ingin menahan lagi.
Raka menurunkan kaus tidur itu perlahan hingga terlepas, membiarkan Reva duduk di hadapannya hanya dengan bra tipis berwarna nude. Ia tak buru-buru. Matanya menatap wajah Reva, mencari izin di setiap gerak.
“Kamu cantik banget ,sayang ,aku beruntung bisa memiliki kamu ,” bisiknya.
Reva tersipu, lalu menarik Raka dalam pelukannya. “Aku juga beruntung punya kamu mas ,Ayo mas ! Jangan cuma lihat… sentuh aku.” Reva ingin merasakan lebih sentuhan dari Raka .
Raka menelan ludah, lalu tangannya perlahan menyentuh sisi tubuh Reva—dari pinggang, naik ke rusuk, lalu berhenti di bawah payudaranya. Ia ragu sejenak.
“Di sini,sayang …?” tanyanya pelan.
Reva mengangguk, lalu menarik tangan Raka, meletakkannya tepat di atas bra-nya. “Iya… di sini.”
Sentuhan pertama itu membuat Reva mendesah. Raka merasakan getaran itu di telapak tangannya—hangat, hidup, miliknya. Ia mulai mengusap perlahan, memijat lembut, lalu perlahan melepas kaitan di belakang. Bra itu terlepas, jatuh ke samping tempat tidur.
Udara malam menyentuh kulit Reva, tapi hangat tubuh Raka segera menggantikannya. Ia mencium bahu Reva, lalu turun—perlahan, penuh hormat—hingga bibirnya menyentuh putingnya.
Reva menahan napas. Sensasi itu asing, tapi indah. Hangat, lembut, membuat seluruh tubuhnya bergetar. Tangannya meraih rambut Raka, jemarinya menggenggam erat.
“Mas Raka…” desahnya.
“Sakit?” tanya Raka langsung, khawatir.
“Nggak… justru… enak,” Reva berbisik malu-malu.
Raka tersenyum kecil, lalu melanjutkan—kali ini lebih percaya diri, tapi tetap lembut. Ia mencium, menggigit ringan, menjilat perlahan, memperhatikan setiap reaksi Reva. Saat ia menyentuh titik sensitif di leher Reva—tepat di bawah telinga—Reva mendesah lebih keras, tubuhnya menegang.
“Di situ…?” tanya Raka, suaranya bergetar.
Reva hanya mengangguk, wajahnya memerah.
Raka mencium titik itu lagi—lembut, lalu sedikit mengisap. Reva mendesah, tangannya mencengkeram seprai. “Mas Raka… aku…”
“Aku di sini,” bisik Raka, lalu menarik Reva dalam pelukannya. Ia menidurkannya perlahan di atas kasur, tubuhnya menutupi tubuh Reva tanpa memberi tekanan berlebihan. Matanya menatap Reva, penuh cinta dan pertanyaan.
“Kita… lanjut?” tanyanya pelan.
Reva menatapnya, lalu mengangguk. “Tapi… pelan-pelan, ya?”
“Iya ,sayang ,Selamanya pelan buat kamu,” Raka berjanji.
Ia menciumnya lagi—kali ini lebih dalam, lebih penuh hasrat, tapi tetap lembut. Tangannya menyusuri tubuh Reva, menghafal setiap lekuk, setiap getaran. Reva membalas sentuhannya, jemarinya menyusuri dada Raka, lalu turun ke pinggang celananya.
“Boleh… aku buka?” tanyanya pelan.
Raka mengangguk, lalu membantunya melepas celana tidurnya. Kini, hanya ada mereka berdua—tanpa penghalang, tanpa jarak, tanpa ragu.
Raka terus memberi sentuhan lembut pada Reva sehingga membuat Reva semakin mendesah