Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Benci Tubuhku Sendiri
“Riki! Arsa nangis tuh! Gendong dulu!”
Nira berseru dari halaman belakang. Ia sedang menjemur pakaian saat suara tangisan Arsa terdengar hingga halaman belakang.
Tangisan Arsa terus terdengar walau Nira sudah berteriak memanggil Riki. Kesal, Nira meninggalkan pekerjaannya dan berjalan masuk ke dalam rumah.
Tangannya mengepal saat melihat Riki sibuk bermain ponsel di sofa dan acuh padahal Arsa terus menangis. Tanpa menggubris, Nira berjalan cepat menuju kamarnya. Ia menggendong Arsa, menimang dan langsung memberikan ASI.
Selesai memberikan ASI, Arsa tertidur kembali. Nira meletakkan bayinya perlahan ke box bayinya. Ia lantas keluar dari kamar.
Riki masih di sana. Masih sibuk bermain game di ponselnya. Tangannya bergerak cepat di atas ponsel. Matanya fokus.
“Riki! Kamu dengar aku atau enggak sih?!” Nira berseru.
“Apa sih! Ganggu aja!” Balas Riki tanpa menoleh. Ia masih fokus melihat ponselnya.
“Kamu nggak denger anak kamu nangis, hah?! Budek kamu!”
Riki menoleh. Tatapannya tajam tertuju pada Nira. “Kamu bilang apa barusan? Kamu ngatain aku budek?”
“Ya terus apa? Anak kamu dari tadi nangis, kedengeran sampai halaman belakang, tapi kamu malah duduk di sini, santai, main game! Bisa nggak sih kamu bantu aku jaga Arsa? Dia anak kamu juga, Rik!”
“Mana tangisannya?! Kamu udah nyamperin dia ‘kan? Ya udah. Dia juga udah diem! Lagian kenapa baby sitter kamu liburin pas kamu libur? Repot sendiri ‘kan kamu!”
“Aku dari pagi ngurus rumah. Nyuci, bikin sarapan, bersih-bersih. Sementara kamu dari bangun langsung main game! Kamu nggak peduli sama Arsa! Anak nangis dibiarin! Bapak macam apa kamu, hah?!” Nira melotot, meluapkan amarah yang terus bertumpuk sejak Riki ketahuan menganggur sampai sekarang.
“Aku capek, Rik! Aku yang kerja, aku pula yang ngurus rumah dan jaga Arsa! Sedangkan kamu? Kamu seharian cuma ngopi sama main game terus! Pegang Arsa juga enggak!”
“Terus maumu apa? Aku ngasuh Arsa? Terus kamu bayar baby sitter buat apa kalau tetap aku yang ngasuh Arsa?”
“Cari kerja, Rik! Apa nggak malu kamu numpang hidup sama aku? Sama seorang wanita?”
Riki bangkit dari duduknya, berjalan mendekat dengan sorot mata tajam, meraih leher Nira dan mencekiknya perlahan. “Oh. Mentang-mentang kamu banyak uang, kamu berani ngehina aku? Kamu berani ngrendahin aku?” Riki mendesis.
Nira memegang tangan Riki, mencoba melepaskan cengkraman tangan Riki di lehernya.
“Kamu memang harus dikasih pelajaran, Nira. Biar nggak berani sama suami kamu sendiri!” Riki melepas cengkraman tangannya.
Nira terbatuk. Napasnya terengah. Belum puas ia mengambil napas, Riki tiba-tiba menyeretnya, mendorong tubuh Nira ke sofa dengan kasar.
Riki langsung menindihnya. Mencium bibir Nira kasar dan menyentuh seluruh tubuh Nira dengan kasar. Nira berteriak. Riki langsung membungkam bibir Nira dengan bibirnya.
Sentuhan Riki menyakitkan Nira. Tak hanya tubuh Nira tapi juga hati Nira. Nira berhenti berontak karena sekuat apapun, ia tak akan kuat melawan tubuh tinggi besar Riki.
Nira kalah. Menyerahkan diri sepenuhnya. Dengan terpaksa. Setiap sentuhan Riki membuat hati Nira perlahan mati rasa pada suaminya.
Nira tak menikmati percintaan mereka tapi juga tak bisa menolak. Setelah Riki mendapat kepuasannya, Riki beranjak. Meninggalkan Nira dengan tubuh polos dan wajah tanpa ekspresi.
“Kalau kamu berani sama aku lagi, maka aku bisa berbuat lebih dari ini, Nira. Jadi, menurutlah. Jadi istri yang penurut. Oke, Sayang.” Riki tersenyum miring sebelum benar-benar meninggalkan Nira.
Mata Nira berkaca-kaca. Nira bangkit perlahan. Melihat tubuhnya dan ia merasa jijik pada tubuhnya sendiri. Dengan air mata yang meleleh di pipinya, Nira bangkit. Berjalan menuju kamar mandi dan menangis di sana.
Terduduk, memeluk lutut, di bawah pancuran air shower yang mengalir pelan, Nira menangis tanpa suara.
Dengan kekuatan yang tersisa, ia menggosok kasar tubuhnya. Mencoba menghilangkan sentuhan tangan Riki. Sentuhan yang tak lagi hangat. Sentuhan yang kini ia benci. Sangat benci.
***
Nira tidur di kamar lain bersama Arsa. Ia menghindari Riki. Riki juga tak peduli. Tak bertanya atau berkata apapun sejak menyentuh Nira secara kasar. Jika Nira acuh, maka Riki juga tak peduli.
Maka, dua orang yang masih dalam satu atap itu hanya saling diam. Ketika papasan atau bertemu muka, Nira berpaling. Riki juga mengedikkan bahunya, acuh.
Bahkan Nira tak lagi berpamitan pada Riki saat hendak berangkat bekerja. Mereka satu rumah, tapi asing bagi satu sama lain.
“Kemarin kamu merendahkan aku, dan sekarang kamu diemin aku, Nira?”
Nira yang baru saja masuk ke kamar setelah pulang bekerja terdiam. Tak menyangka Riki berada di kamarnya.
Ya. Nira memutuskan pisah kamar dengan Riki. Nira tidur di kamar tamu di lantai bawah bersama Arsa, sedangkan Riki tidur di kamar mereka di lantai atas.
“Apa yang kamu lakuin di kamarku?” Nira mencoba acuh, meletakkan tas kerjanya di meja rias.
“Kamu lupa kita masih suami istri?”
Nira tak menjawab. Ia langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun, saat tangan memegang gagang pintu, Riki menarik pinggangnya dan memeluknya.
“Aku kangen, Sayang,” bisik Riki rendah, di telinga Nira.
Nira menahan napasnya. Ia tahu ia dalam bahaya sekarang. Riki menginginkan haknya. Dan Nira sudah terlalu lelah untuk melayaninya.
“M-maaf. Tapi, aku capek banget, Rik.”
“Nggak ada penolakan.” Riki langsung membungkam bibir Nira dengan bibirnya.
Riki mendorong pelan pintu kamar mandi dan membawa Nira masuk ke dalam.
“Sstt … Jangan berteriak, Sayang. Kamu mau orang lain dengar desahan kamu?” Riki bertanya pelan dengan napas terengah saat Nira berteriak.
Nira sontak terdiam. Ia berteriak bukan karena menikmati tapi lebih ingin orang lain dengar dan datang menolongnya. Walau mustahil orang akan menolongnya di dalam kamar dan saat sedang bersama suaminya.
Perlakuan Riki ke Nira kembali kasar. Entah memang itu memang gaya bercintanya atau memang dia sedang ingin mencoba gaya baru. Dulu, Riki selalu menyentuh Nira secara lembut penuh kasih sayang. Tapi, sejak Riki menganggur dan Nira mencoba melawannya, Riki marah dan melampiaskannya dengan menyetubuhi Nira secara liar dan kasar. Tak peduli Nira merintih kesakitan.
Setelah puas bermain, Riki juga meninggalkannya di dalam kamar mandi. Tak ada lagi ciuman mesra di kening setelah bercinta. Tak ada lagi pelukan hangat sepanjang malam setelah bercinta. Semuanya telah berubah.
Nira kembali membasuh tubuhnya yang ia rasa kotor karena sentuhan kasar Riki. Air mata tak lagi menetes atau mengalir di pipinya. Hanya ada tatapan kosong saat Nira menggosok tubuhnya, menghilangkan jejak sentuhan Riki. Walau semakin digosok, sentuhan menyakitkan itu semakin teringat.
Pagi menjelang. Nira terbangun dengan tubuh yang lelah. Semalam, Riki kembali menyerangnya setelah sore di kamar mandi. Riki menyerangnya tiba-tiba saat Nira berada di dapur tengah menyiapkan susu formula untuk Arsa.
Nira tak bisa melawan. Pada akhirnya ia selalu menyerah atas perlakuan Riki dan jijik pada tubuhnya sendiri setelahnya.
Nira memaksa tubuhnya untuk berdiri, berjalan tertatih ke kamar mandi. Ia merasa tubuhnya tak enak. Nira menatap pantulan wajahnya di cermin. Pucat. Tapi, ia memaksakan diri untuk tetap berangkat bekerja. Biarlah nanti ia periksa di rumah sakit, tempatnya bekerja jika keadaannya memburuk.
Selama perjalanan menuju tempat kerjanya, Nira berpikir ingin mengakhiri pernikahannya dengan Riki. Ia sungguh lelah. Lelah dengan sikap Riki yang semena-mena dan memperlakukannya seperti budak nafsu. Nira tak kuat lagi jika harus bertahan lebih lama.
Ia bisa menghidupi dirinya dan juga Arsa. Tapi Nira tak ingin menghidupi Riki. Baginya, Riki bukan lagi suami. Tapi orang asing yang numpang hidup padanya. Nira tak mengenali Riki lagi.
“Nir, lo sakit?” Fiza bertanya khawatir saat melihat Nira dengan wajahnya yang pucat.
Nira menggeleng lemah. Ia berjalan pelan, meletakkan tas kerjanya, dan….
Bruk!
“Nira! Ya Tuhan! Nira pingsan!” Fiza berseru panik.
Rini gegas memanggil perawat lain untuk membantunya menggotong Nira. Nira di bawa menuju ruangan terdekat.
Nira membuka matanya perlahan. Menyesuaikan cahaya yang menyilaukan dari lampu di atasnya.
“Kamu sudah sadar, Nira?”
Nira menoleh pelan. “Bu Ratna?”
Dokter Ratna tersenyum. “Selamat, Nira. Kamu tengah hamil.”