NovelToon NovelToon
CINTA DARI MASA LALU

CINTA DARI MASA LALU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / Kehidupan di Kantor / Fantasi Wanita
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: ASEP SURYANA 1993

Email salah kirim, meeting berantakan, dan… oh ya, bos barunya ternyata mantan gebetan yang dulu menolak dia mentah-mentah.
Seolah belum cukup, datang lagi intern baru yang cerewet tapi manisnya bikin susah marah — dan entah kenapa, selalu muncul di saat yang salah.

Di tengah tumpukan laporan, deadline gila, dan gosip kantor yang tak pernah berhenti, Emma harus belajar satu hal:
Bagaimana caranya tetap profesional saat hatinya mulai berantakan?

Antara mantan yang masih bikin jantung berdebar dan anak magang yang terlalu jujur untuk dibiarkan begitu saja, Emma akhirnya sadar — cinta di tempat kerja bukan cuma drama… tapi juga risiko karier dan reputasi yang bisa meledak kapan saja.

Cinta bisa datang di mana saja.
Bahkan di ruang kerja yang penuh tawa, kopi tumpah, dan masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ASEP SURYANA 1993, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 32 — “Musuh Lama, Wajah Baru”

Hari pertama reorganisasi resmi dimulai.

Kantor Vibe Media berubah seperti pasar malam: meja dipindah, papan nama diganti, orang-orang berlarian membawa map, printer meraung tanpa henti.

Emma duduk di ruang barunya — ruangan kecil dengan jendela menghadap dinding bata.

“Sempurna,” gumamnya. “Aku dapat pemandangan… tembok.”

Ia baru saja hendak menyalakan komputer ketika suara tumit sepatu bergema dari pintu.

Klik… klik… klik…

> “Astaga, jangan bilang ini ruanganmu, Em?”

Suara itu membuat darahnya berhenti sejenak.

Emma menoleh pelan — dan hampir tidak percaya.

Di depan pintu berdiri seorang wanita tinggi, berambut pirang madu dengan blazer pink, bibir merah terang, dan senyum licik yang sudah terlalu dikenal Emma.

> “Vanessa?”

Wanita itu tertawa kecil. “Masih ingat aku! Wah, aku pikir kau bakal pura-pura lupa, seperti waktu kau pura-pura nggak lihat aku menang lomba debat di kampus.”

Emma menghela napas. “Aku ingat kau menang karena jurinya takut pada ancaman surat protesmu.”

Vanessa tersenyum manis — tapi matanya tajam.

“Oh Em, kau masih punya selera humor khas ‘gagal tapi lucu’ ya. Aku suka itu.”

Emma menyilangkan tangan. “Kau ngapain di sini?”

> “Oh, aku baru direkrut minggu lalu. Special hiring, katanya. Dan tahu nggak siapa yang rekomendasikan aku?”

Emma sudah bisa menebak, tapi tetap bertanya, “Siapa?”

Vanessa mendekat, berbisik di telinganya.

> “Liam Dawson. Orang yang dulu jadi gebetanmu. Kecil banget dunia ini, ya?”

Emma menatapnya tajam. “Kau main di sisi yang salah, Van.”

Vanessa tertawa kecil. “Salah? Aku cuma tahu sisi yang menang.”

---

Di sisi lain kantor, Ryan masih beradaptasi dengan divisi baru yang dipimpin Trisha Collins, manajer dengan senyum plastik dan lidah setajam pisau.

Trisha berdiri di depan tim marketing, mengenakan dress hitam dan sepatu hak tinggi seperti panglima perang mode.

> “Selamat datang di divisi paling sibuk di perusahaan,” katanya manis. “Dan untuk staf baru kita, Ryan Miller — semoga kau cepat belajar, sayang. Di sini, kami tidak pakai sistem lembur... karena kami selalu lembur.”

Beberapa orang tertawa hambar. Ryan tersenyum kaku.

“Baik, Bu Trisha. Saya akan berusaha—”

> “Jangan berusaha, Ryan. Sukses di sini bukan soal kerja keras.”

Ia mencondongkan tubuh, berbisik lembut, “Tapi soal tahu kapan harus menyenangkan orang yang tepat.”

Ryan hanya menatapnya datar. “Kalau gitu saya pilih kerja keras, Bu.”

Trisha tersenyum, tapi matanya memancarkan amarah halus.

> “Oh, aku suka yang idealis. Biasanya cepat patah.”

---

Sore hari, Emma sedang mengetik laporan ketika suara tumit Vanessa terdengar lagi.

“By the way, aku barusan makan siang bareng Liam.”

Emma tak mengangkat kepala. “Kabar bagus. Sekarang aku bisa makan tenang.”

“Dia bilang kau karyawan yang... penuh potensi tapi sulit dikontrol.”

Vanessa duduk di tepi mejanya, menatapnya dengan ekspresi puas.

“Dan kau tahu? Itu kalimat yang dia pakai juga waktu ngomongin mantan pacarnya dulu.”

Emma berhenti mengetik. “Kau masih sama aja — butuh drama biar eksis.”

“Dan kau masih sama juga — butuh waktu lima tahun buat sadar dunia nggak muter di sekitarmu.”

Vanessa berdiri, merapikan rambutnya. “Oh, dan aku sekarang akan langsung melapor ke Liam. Jadi kalau kau butuh sesuatu… silakan lewat aku.”

Ia tersenyum dan melangkah pergi, meninggalkan aroma parfum manis dan tatapan yang membuat perut Emma berputar.

Emma menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu bergumam pelan:

> “Bagus. Sekarang aku punya dua musuh dan nol sabar.”

---

Sore menjelang malam, Ryan menelpon Emma lewat panggilan video.

Wajahnya terlihat lelah tapi tetap tersenyum. “Hari pertama di neraka, selesai.”

Emma menyandarkan kepala di kursi. “Aku juga. Neraka versi pink dan parfum mahal.”

“Vanessa, ya?”

“Gimana kau tahu?”

Ryan tertawa. “Samantha udah update di grup kantor. Katanya ada wanita mirip Barbie tapi matanya kayak CEO mafia.”

Emma ikut tertawa kecil. “Deskripsi yang akurat.”

Lalu hening sejenak. Ryan menatapnya serius.

“Em, kalau mereka berdua — Liam dan Vanessa — kerja bareng, itu artinya mereka punya rencana besar.”

Emma mengangguk pelan. “Dan kita ada di tengah-tengahnya.”

“Lalu apa langkah kita?”

Emma menatap kamera, suaranya pelan tapi pasti.

“Kita tunggu mereka menyerang dulu. Biar kali ini, mereka yang terlalu percaya diri.”

Ryan tersenyum. “Aku suka sisi licikmu.”

Emma tersenyum tipis. “Aku belajar dari yang terbaik… Liam.”

---

Di ruang kerja Liam, Vanessa berdiri di depan meja besar itu.

“Sudah aku lakukan seperti yang kau minta. Emma mulai gelisah.”

Liam menatap layar laptopnya. “Bagus. Teruskan.”

Vanessa menyandarkan tubuh ke meja, nada suaranya berubah genit.

“Kau tahu, Liam… dulu waktu di kampus, aku juga suka bersaing sama Emma. Tapi bedanya, aku selalu menang.”

Liam menatapnya sekilas. “Jangan terlalu yakin.”

Vanessa tersenyum licik. “Aku tidak yakin, aku berlatih.”

Ia melangkah pergi, meninggalkan Liam dengan ekspresi sulit dibaca.

Begitu pintu tertutup, Liam menghela napas panjang.

> “Dua wanita dengan api di matanya,” gumamnya.

“Dan aku berdiri di antara mereka. Sempurna.”

---

Malam itu, New York berkilau.

Emma berdiri di balkon apartemennya, menatap kota yang berdenyut di bawah sana.

Di belakangnya, ponselnya bergetar — pesan baru dari nomor tak dikenal.

> “Kau pikir dia memaafkanmu karena kau masih di sini? Kau salah.”

— V

Emma menatap layar itu lama.

Lalu ia tersenyum kecil dan berbisik:

> “Permainan dimulai, Vanessa.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!