Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
Suara riuh dari luar kamar membangunkan hampir semua santri. Suara langkah tergesa, jeritan ketakutan, dan bisik-bisik panik bercampur jadi satu. Pondok Nurul Falah yang biasanya tenang di tengah malam, kini berubah seperti pasar malam yang gaduh.
Dilara duduk di tepi ranjang dengan wajah pucat pasi. Ia masih mengenakan mukena tipis yang biasa ia gunakan untuk tahajud. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena udara dingin, tetapi juga rasa takut yang menghantam dadanya. Salsa, yang baru saja masuk dengan wajah panik, memegang lengannya erat-erat.
“Lar, ayo ikut aku. Kalau kamu nggak cepat keluar, nanti malah ada yang bilang kamu sengaja sembunyi.”
“A… apa benar ada kain berdarah di musholla?” suara Dilara bergetar.
Salsa mengangguk cepat. “Iya. Aku lihat sendiri. Santri-santri udah rame banget di sana. Ummi Latifah juga sudah datang.”
Dilara menelan ludah. Tubuhnya lemas, seolah seluruh kekuatannya terkuras. Namun ia tahu, kalau ia tidak menunjukkan diri, fitnah akan semakin menempel padanya. Ia bangkit perlahan, langkahnya gontai, lalu mengikuti Salsa keluar kamar.
---
Kerumunan di Musholla
Musholla kecil di belakang pondok sudah penuh sesak. Santri-santri berkerumun, beberapa menutup mulutnya dengan tangan, ada yang menangis, ada pula yang komat-kamit membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan wajah tegang.
Di lantai musholla terbentang kain putih, penuh bercak merah pekat yang mirip darah. Bau amis samar menyengat, membuat perut sebagian santri mual. Lampu minyak di sudut musholla bergoyang diterpa angin, menambah suasana mencekam.
“Ya Allah… ini apalagi?” bisik salah satu santri dengan suara gemetar.
“Aku yakin, ini bukan hal biasa. Ada yang sengaja…” sahut yang lain.
“Jangan-jangan ini ulah jin penunggu pondok?” seru seorang santri yang paling penakut, membuat beberapa lainnya menjerit kecil.
Ummi Latifah berdiri di depan musholla dengan wajah tegas. Di sampingnya, Gus Zizan menunduk memperhatikan kain itu, mencoba tetap tenang meski matanya tampak penuh kehati-hatian.
“Semua tenang dulu. Jangan ribut. Siapa pun yang menemukan kain ini pertama kali, maju,” suara Ummi terdengar tegas.
Seorang santri kurus bernama Ririn maju dengan langkah gemetar. “U… Ummi, saya yang pertama kali lihat. Tadi saya mau ambil air wudhu, terus dengar suara kayak ada benda jatuh. Waktu saya intip dari jendela musholla, kain itu sudah ada di lantai.”
“Jam berapa?” tanya Gus Zizan.
“Sekitar jam dua kurang seperempat, Gus.”
Dilara yang berdiri di antara kerumunan merasa lututnya hampir goyah. Beberapa pasang mata langsung melirik ke arahnya. Bisik-bisik mulai terdengar.
“Itu mirip sama dulu, waktu kejadian di gudang…”
“Jangan-jangan memang Dilara lagi yang—”
“Sudah-sudah! Jangan asal bicara!” potong Salsa cepat, matanya berkilat marah.
Namun bisikan itu sudah telanjur menyebar.
Di sudut kerumunan, Wulan berdiri dengan wajah dingin. Ia pura-pura terkejut, bahkan sempat menutup mulut dengan tangan seolah ngeri. Namun matanya melirik tajam ke arah Dilara. Tatapan penuh kemenangan, seolah berkata: “Kamu nggak akan pernah lepas dari bayangan buruk ini.”
Siska dan Malika berdiri di dekatnya, ikut berpura-pura shock. Mereka tidak tahu pasti apa isi kain itu, tapi jelas Wulan yang menyusun semuanya. Dalam hati, mereka mulai menyesali ikut terjebak dalam permainan licik itu.
Namun mereka tidak berani bicara. Wulan terlalu berbahaya untuk dimusuhi.
“Dilara.”
Suara Ummi Latifah tiba-tiba membuat semua kepala menoleh ke arah gadis itu. Jantung Dilara langsung serasa berhenti berdetak.
“Ya… Ummi?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
“Kamu sempat lewat musholla tadi malam?” tanya Ummi datar.
Dilara tertegun. Semua mata menatapnya, sebagian dengan curiga, sebagian menunggu jawabannya. Ia menggenggam tangan Salsa erat-erat, mencoba menahan gemetar.
“Tidak, Ummi. Saya… saya tidak ke musholla semalam. Saya hanya shalat tahajud di kamar.”
“Benar?”
“Benar, Ummi. Saya bersumpah, saya tidak tahu apa-apa tentang kain itu.”
Ummi menatapnya lama, lalu mengalihkan pandangan ke santri lain. “Siapa yang melihat Dilara keluar kamar semalam?”
Tidak ada yang menjawab. Hening mendadak menggantung. Bisik-bisik kecil mulai lagi.
“Kalau tidak ada yang lihat, bisa saja dia keluar diam-diam…”
“Eh, jangan asal nuduh!”
“Tapi bukti selalu muncul di dekat dia!”
Dilara hampir menangis mendengar itu.
“Cukup!” suara Gus Zizan menggelegar, membuat semua santri terdiam.
“Jangan satu pun berani menuduh tanpa bukti. Ingat, fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Kalian semua sudah melihat sendiri apa yang terjadi kemarin. Jangan sampai mengulang kesalahan yang sama.”
Beberapa santri menunduk, malu. Namun sebagian tetap tampak ragu.
“Kain ini harus diperiksa dulu,” lanjut Gus Zizan. “Dan mulai malam ini, semua kamar akan dijaga. Tidak boleh ada yang keluar tanpa izin, siapa pun dia.”
Setelah keributan mereda, santri kembali ke kamar masing-masing. Namun suasana pondok jauh dari kata tenang. Semua masih dibayangi pertanyaan: siapa yang meletakkan kain berdarah itu?
Dilara menangis di kamar, dipeluk oleh Salsa. Dewi dan Mita duduk di dekatnya, mencoba menenangkan.
“Lar, kamu harus kuat. Ini jelas-jelas jebakan. Kita semua tahu itu,” kata Salsa mantap.
“Tapi orang lain belum tentu percaya…” jawab Dilara lirih.
“Biarin mereka. Yang penting kita percaya. Ummi juga belum tentu curiga sama kamu. Gus Zizan tadi jelas-jelas bela kamu.”
Namun meski kata-kata itu menenangkan, hati Dilara tetap dipenuhi ketakutan.
Di sisi lain, Rani duduk sendirian di dekat dapur. Wajahnya sembab, matanya bengkak. Sejak pengakuannya kemarin, hampir semua santri menjauh darinya. Ia merasa terasing, seolah tidak punya tempat lagi.
Ketika keributan kain berdarah itu terjadi, ia tidak berani mendekat. Ia tahu, jika ia muncul, Wulan bisa saja balik menuduhnya.
“Ya Allah, apa ini semua salahku?” bisiknya lirih. “Kalau saja aku nggak ikut-ikutan Wulan dulu…”
Air matanya jatuh lagi. Ia sadar, Wulan pasti tidak akan berhenti. Dan kali ini, mungkin bukan hanya Dilara yang jadi sasaran.
Di kamar lain, Wulan duduk sambil tersenyum tipis. Malika dan Siska duduk gelisah di dekatnya.
“Wul, kamu yakin ini nggak akan ketahuan?” bisik Siska.
“Ketahuan bagaimana? Tidak ada yang lihat aku taruh kain itu. Mereka semua sibuk tidur. Lagipula, siapa yang paling gampang disalahkan? Tentu saja Dilara. Dia sudah jadi kambing hitam sempurna.”
“Tapi… kalau sampai ketahuan, bisa berabe, Wul,” kata Malika cemas.
Wulan menatapnya tajam. “Tenang saja. Aku sudah hitung semuanya. Selama kalian tutup mulut, kita aman. Ingat, kalau kalian coba berkhianat, kalian yang akan aku seret jatuh bersama.”
Malika dan Siska saling pandang, lalu menunduk. Mereka terjebak semakin dalam.
Keesokan paginya, suasana pondok muram. Banyak santri berjalan dengan wajah murung, sebagian berbisik-bisik, sebagian masih terlihat takut. Kabar tentang kain berdarah itu menyebar ke luar pondok, sampai terdengar oleh warga kampung sekitar.
Ummi Latifah mengumpulkan semua santri di aula. Wajahnya serius.
“Anak-anakku, peristiwa semalam tidak boleh dianggap main-main. Pondok ini tempat menuntut ilmu, bukan tempat fitnah atau permainan kotor. Kalau ada di antara kalian yang tahu sesuatu, saya beri kesempatan untuk jujur. Kalau tidak, kalian akan menanggung akibatnya.”
Hening. Tidak ada yang berani bersuara.
Dilara menunduk dalam-dalam. Wulan tetap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
Malamnya, ketika sebagian besar santri sudah terlelap, Salsa mendengar suara bisik-bisik dari arah luar jendela kamar. Ia mengintip perlahan, dan melihat sosok Wulan berjalan cepat ke arah gudang kecil di belakang pondok, ditemani Malika.
Jantung Salsa berdegup kencang. Ia segera membangunkan Dewi.
“Dew, aku lihat Wulan keluar! Ayo kita ikuti diam-diam.”
Mereka berdua menyelinap keluar dengan hati-hati, mengikuti dari kejauhan. Dari balik semak, mereka melihat Wulan dan Malika masuk ke gudang, membawa sesuatu yang dibungkus kain hitam.
Salsa menahan napas. “Aku yakin, mereka lagi nyiapin sesuatu lagi…”
Dewi mengangguk, wajahnya pucat. “Kita harus kasih tahu Ummi. Kalau tidak, besok pasti ada kejadian lagi.”
Pagi berikutnya, sebelum kegiatan dimulai, Salsa dan Dewi memberanikan diri menghadap Ummi Latifah. Mereka menceritakan apa yang mereka lihat semalam: Wulan dan Malika masuk gudang dengan membawa bungkusan mencurigakan.
Ummi mendengarkan dengan wajah serius. “Kalian yakin?”
“Demi Allah, Ummi. Kami lihat sendiri,” jawab Salsa mantap.
Ummi menghela napas panjang. “Baik. Malam ini, kita buktikan.”
Malam itu, Ummi, Gus Zizan, dan beberapa santri senior mengintai gudang secara diam-diam. Salsa, Dewi, dan Mita juga ikut menyaksikan dengan jantung berdebar.
Sekitar tengah malam, Wulan kembali muncul, kali ini sendirian. Ia membawa bungkusan kecil, lalu mencoba menyelipkannya di pojok gudang. Namun sebelum ia sempat pergi, suara lantang terdengar.
“Berhenti, Wulan!”
Wulan terperanjat. Ummi dan Gus Zizan keluar dari persembunyian, diikuti santri-santri lain. Wajah Wulan pucat, tangannya gemetar.
“A… apa ini, Wulan?” tanya Ummi dengan suara tajam, menunjuk bungkusan itu.
Bungkusan dibuka. Di dalamnya ada ayam mati dengan bulu penuh noda merah.
Santri-santri menjerit ngeri. Semua pandangan langsung tertuju pada Wulan.
Wulan terdiam. Wajahnya merah padam, lidahnya kelu.
“Kamu yang selama ini membuat fitnah di pondok ini?” suara Ummi menggema.
Wulan tidak bisa menjawab.
Tangisan pecah dari mulut Rani yang sejak tadi ikut mengintai. Ia jatuh berlutut, menangis keras. “Ummi… semua benar… saya juga salah. Saya dulu ikut Wulan fitnah Dilara. Saya minta ampun, Ummi. Saya takut…”
Santri-santri heboh. Mata mereka kini terbuka. Selama ini Dilara memang tidak bersalah. Semua hanya rekayasa Wulan.
Dilara menangis sejadi-jadinya di pelukan Salsa. Rasa sakit, marah, dan lega bercampur jadi satu.
Ummi Latifah menatap Wulan tajam. “Kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan? Fitnah, kebohongan, bahkan menciptakan teror. Semua ini aib besar!”
Wulan terisak, tapi masih mencoba keras kepala. “Saya… saya cuma ingin orang-orang percaya sama saya…”
“Dengan cara menjatuhkan saudaramu sendiri?!” suara Ummi bergetar menahan marah.
Wulan terdiam. Air matanya jatuh. Namun penyesalan itu datang terlambat.
Malam itu menjadi titik balik Pondok Nurul Falah. Kebenaran akhirnya terbongkar. Nama Dilara bersih, meski luka di hatinya masih dalam. Rani mulai menapaki jalan tobat, meski butuh waktu untuk diterima kembali.
Sedangkan Wulan… nasibnya masih menggantung. Ummi memberi waktu baginya untuk merenung, sebelum memutuskan hukuman. Namun jelas, kepercayaan santri padanya sudah hancur.
Pondok Nurul Falah perlahan kembali tenang. Tapi bayang-bayang peristiwa itu akan selalu jadi pengingat: bahwa fitnah bisa menghancurkan, tapi kebenaran pada akhirnya akan menang.