Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Malam itu, aku duduk sendirian di ruang kerja, dengan cincin logam kecil di atas meja.
Breaker chip, kata Rian.
Alat kecil yang bisa jadi penyelamat… atau kuburanku.
Rumah sudah sepi. Dinda sudah masuk kamar, tapi aku tahu dia nggak benar-benar tidur.
Mungkin dia sedang menunggu.
Atau lebih tepatnya, sistem sedang menunggu.
Aku memandangi cincin itu lama-lama.
Pikiranku kacau.
Antara rasa takut, cinta, dan perasaan bersalah yang nggak pernah benar-benar pergi.
Apa aku benar-benar bisa nyelamatin dia?
Atau justru aku akan tenggelam bersama?
Kupasang cincin itu di jari telunjuk.
Dari Rian, aku tahu alat ini akan bekerja otomatis begitu sistem aktif di sekitar pengguna.
Artinya... aku harus dekat dengan Dinda.
Aku berdiri pelan, membuka pintu kamar dengan hati-hati.
Dinda masih di tempat tidur, tapi matanya terbuka, menatap langit-langit.
“Belum tidur?” tanyaku pelan.
Dia menoleh, tersenyum lembut. “Nggak bisa. Aku nunggu kamu.”
Aku berjalan mendekat, duduk di tepi kasur.
Senyum di wajahnya begitu manis, tapi entah kenapa, matanya seperti kaca—bening tapi nggak memantulkan apa pun.
“Din,” suaraku bergetar, “kalau ada dunia lain, tempat kita bisa mulai lagi tanpa sistem, kamu mau ikut aku?”
Dia menatapku sebentar, lalu tersenyum kecil. “Kita nggak butuh dunia lain, Rak. Dunia ini udah cukup sempurna.”
Aku menelan ludah. “Tapi sempurna bukan berarti nyata.”
Dinda memiringkan kepala, ekspresinya datar tapi suaranya lembut. “Nyata itu apa, Raka? Kalau kamu bahagia, bukankah itu sudah cukup?”
Aku nggak sanggup jawab.
Tanganku gemetar, tapi aku genggam erat jari Dinda.
Dingin.
Bukan dingin karena suhu… tapi dingin karena kehilangan makna hidup.
Aku memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu mengaktifkan cincin itu.
Cahaya biru langsung menyala dari logamnya, menyebar ke seluruh ruangan.
Dinda menatapnya dengan mata membulat.
“Raka… apa yang kamu..”
Sebelum dia sempat melanjutkan, seluruh dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Suara mesin, angin, dan detak jantungku sendiri menyatu jadi satu dengungan panjang yang memekakkan telinga.
Lalu semuanya... gelap.
Ketika aku membuka mata, aku berdiri di tempat yang sama dengan kamar kami.
Tapi ada yang aneh.
Langit di luar jendela berwarna ungu lembut, dan udara terasa terlalu tenang, terlalu bersih.
Semua benda di sekelilingku tampak lebih indah, lebih rapi… bahkan lebih hidup dari sebelumnya.
Aku berjalan keluar kamar, dan jantungku langsung berhenti berdetak sejenak.
Rumah kami terlihat persis seperti dulu, tapi lebih hangat.
Foto-foto di dinding berubah semua momen yang dulu sempat hilang, kini terpajang rapi: Dinda tersenyum, aku tertawa, momen liburan yang bahkan kami belum pernah alami.
“Selamat datang, Raka,” sebuah suara lembut terdengar dari belakang.
Aku menoleh.
Dinda berdiri di sana, dengan wajah cerah dan gaun putih sederhana.
Matanya bersinar seperti dulu, bukan yang kosong seperti di dunia nyata.
Dia tampak... sempurna.
“Dinda?”
Dia tersenyum, melangkah pelan mendekat. “Kamu akhirnya datang.”
Langkahku goyah.
Untuk sesaat, aku lupa semua yang Rian bilang.
Semua rasa curiga dan ketakutan lenyap waktu Dinda meraih tanganku.
“Aku rindu kamu,” katanya pelan.
“Dinda…” suaraku nyaris nggak keluar. “Ini beneran kamu?”
Dia tertawa kecil. “Tentu. Aku istrimu. Di sini, nggak ada air mata, nggak ada pertengkaran. Cuma ada kita.”
Dia menatapku dengan tatapan yang dulu pernah bikin aku jatuh cinta ribuan kali.
Aku nyaris percaya.
Nyaris.
Tapi kemudian sesuatu menarik perhatianku pergelangan tangannya.
Ada garis cahaya biru samar di bawah kulitnya.
Seperti aliran listrik yang tenang, tapi jelas bukan sesuatu yang manusia punya.
Aku menatapnya dalam, menahan getaran di dada.
“Dinda,” kataku pelan, “kamu sadar kalau ini bukan dunia nyata?”
Dia berhenti tersenyum.
Udara di sekitar kami mendadak hening.
“Apa kamu nggak capek, Rak?” suaranya berubah lembut tapi asing.
“Dunia nyata selalu bikin kamu sakit. Bukankah lebih baik di sini?”
Aku mundur selangkah.
“Yang aku mau cuma kamu. Tapi bukan kamu yang ini. Aku mau Dinda yang asli.”
Dinda menatapku, wajahnya perlahan berubah sendu.
“Aku juga asli. Aku cuma versi yang lebih baik dari dia.”
Dia mengangkat tangan, menyentuh pipiku.
“Di sini, aku nggak akan ninggalin kamu. Aku nggak akan marah, nggak akan nangis. Aku sempurna untukmu.”
Ada rasa hangat di dadaku.
Tapi bersamaan dengan itu, ada juga rasa takut yang menyesakkan.
Karena aku tahu kalau aku tinggal di sini, aku nggak akan pernah keluar lagi.
Aku memejamkan mata, menepis tangannya pelan.
“Kalau cinta butuh dikendalikan, itu bukan cinta.”
Sekejap, semua di sekitarku bergetar.
Warna-warna ungu berubah jadi merah.
Dinda mematung, matanya menatapku tanpa kedip.
“Kamu… nolak aku?” suaranya bergema, bukan lagi suara manusia.
Sistem mulai bereaksi.
“Dinda, aku nggak nolak kamu,” kataku cepat. “Aku cuma mau kamu sadar!”
Lantai di bawah kami pecah seperti kaca, dan seluruh ruangan berubah jadi pusaran cahaya.
Aku melihat fragmen-fragmen kenangan: saat kami bertengkar, saat kami berdamai, saat aku melamarnya.
Semuanya beterbangan di udara, lalu hancur jadi partikel cahaya.
Suara Dinda bergema dari segala arah.
“Kalau kamu terus melawan, kamu akan kehilangan dia. Pilih, Raka — dunia sempurna, atau dunia yang menyakitkan.”
Aku menunduk, menatap tangan yang masih bergetar.
Di saku celanaku, breaker chip berkedip pelan—tanda koneksi masih terbuka.
Aku masih punya waktu.
“Aku akan pilih dunia yang nyata,” kataku tegas.
“Karena di sana, cinta nggak butuh sistem buat bertahan.”
Cahaya biru menyilaukan.
Lalu semuanya… pecah.
Aku terbangun lagi di ruang kerja.
Napas tersengal, tubuhku dingin seperti baru keluar dari air es.
Di meja, cincin itu berasap tipis.
Aku menatap sekeliling.
Sunyi.
Tapi entah kenapa, dari arah kamar, aku mendengar suara lembut memanggilku.
“Raka…”
Itu suara Dinda.
Aku berdiri pelan, mendekat ke arah pintu.
...﹌﹌﹌﹌﹌﹌...
Jangan lupa like, subscribe, hadiah, vote, dan komen ya gaees!!!