Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. tunggu giliranmu Miska!
Matahari pagi merambat masuk lewat celah tirai sutra tipis, memantulkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan. Udara kamar terasa hangat, berbeda dengan biasanya yang dingin dan sunyi. Di ranjang besar itu, Aluna terbaring dengan kepala bersandar di dada Taka, jemari halusnya masih menggenggam dasi yang semalam ia tarik dengan penuh keberanian.
Taka membuka matanya perlahan. Sorot matanya teduh, tetapi ada kilau baru yang tak pernah muncul selama enam tahun terakhir, ketenangan bercampur kebahagiaan. Dia menunduk, melihat rambut hitam Aluna yang terurai, wajahnya yang damai, dan napasnya yang teratur, senyum tipis terukir di bibirnya.
“Pagi pertama … yang benar-benar menjadi milikku,” gumam Taka, hampir seperti bisikan yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Aluna bergerak sedikit, matanya perlahan terbuka. Dia menatap Taka dengan pandangan lembut, berbeda dari tatapan dingin dan penuh luka yang dulu sering ia tunjukkan.
“Kau sudah bangun?” suaranya serak, tetapi manis.
Taka membelai rambutnya, jemarinya menyingkirkan helaian yang menutupi pipi Aluna. “Bagaimana mungkin aku bisa tidur lebih lama … saat istriku ada di pelukanku begini.”
Aluna tersenyum samar, matanya berkaca-kaca. “Aku masih takut … semua ini hanya mimpi.”
“Kalau begitu jangan bangun dari mimpi itu,” jawab Taka, mengangkat dagu Aluna dan mengecup bibirnya singkat. “Karena aku pun sudah terlalu lama menunggu. Aku tidak akan melepaskanmu lagi.”
Aluna memejamkan mata sejenak, merasakan ketulusan dalam nada suara suaminya. “Enam tahun … kau menungguku tanpa menyentuhku sama sekali.”
“Karena aku ingin ketika saat itu datang,” Taka menatapnya serius, “kau memberikannya dengan hati, bukan karena terpaksa. Dan semalam … kau sendiri yang memilihku, itu lebih berharga dari apa pun.”
Air mata menetes di sudut mata Aluna, bukan karena sedih, melainkan lega. Dia meraih wajah Taka, lalu mengecup keningnya dengan lembut. “Terima kasih, Taka … untuk kesabaranmu. Mulai hari ini, aku berjanji … aku tidak akan lagi lari darimu.”
Keheningan indah kembali menyelimuti. Mereka hanya saling menatap, saling menggenggam, seakan dunia di luar kamar itu tidak ada. Taka kemudian terkekeh pelan, sesuatu yang jarang terjadi.
“Tapi ada satu hal…”
“Apa?” tanya Aluna, bingung.
Taka mengusap pipinya dengan ibu jari, lalu menatapnya penuh canda. “Jika kau menarik dasiku lagi seperti semalam, mungkin aku akan benar-benar kehilangan kendali setiap hari.”
Aluna tertawa kecil, suaranya jernih, membuat suasana kamar semakin hangat. “Kalau begitu … aku harus menyiapkan banyak dasi baru untukmu.”
Taka tak bisa menahan dirinya lagi, ia menarik tubuh Aluna lebih dekat, memeluknya erat.
“Tidak peduli berapa pun dasinya, satu hal yang pasti ... aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi, Sayang.”
Sarapan pagi.
Suasana meja makan pagi itu awalnya terasa hambar. Meja panjang yang biasanya dipenuhi suara riuh keluarga, kali ini hanya ditemani dentingan sendok kecil dari Raka yang sibuk mengaduk susu panasnya. Di sampingnya, pengasuh duduk tenang, sesekali membantu memotong roti untuk si kecil.
Miska duduk anggun di ujung meja, mengenakan gaun santai namun riasannya tetap sempurna. Bibirnya melengkung sinis saat matanya menyapu ke kursi kosong yang seharusnya ditempati Aluna. Ia sengaja mengangkat suaranya agar seluruh ruangan mendengar.
“Lihat itu,” katanya sambil menunjuk kursi kosong, nada suaranya penuh sindiran. “Ibu macam apa yang meninggalkan anaknya sarapan sendirian? Ah, atau mungkin dia sedang sibuk … bersama seseorang. Mantan suaminya, mungkin?”
"Miska," seru Haryanto pelan.
Tuti yang duduk di sampingnya terkekeh kecil, ikut menimpali. “Miska, jangan keras-keras. Nanti orang-orang salah paham. Walau … memang tak jauh beda dengan kenyataannya.”
Pengasuh menunduk, tak berani bicara. Raka menatap kedua wanita itu bingung, meski polos, ia bisa merasakan nada ejekan. Tangannya mengepal kecil di atas meja, tapi ia hanya bisa diam. Miska melipat tangan di dada, semakin puas dengan sindirannya.
“Tak heran kalau berita buruk tentangnya tersebar lagi, perempuan itu memang...”
“Siapa yang kau maksud meninggalkan anakku di meja makan?"
Suara tegas itu memotong kalimatnya. Semua kepala menoleh, termasuk Raka yang langsung berseri-seri. Aluna berjalan masuk ke ruang makan dengan langkah mantap. Rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya segar meski sederhana, auranya berbeda, penuh percaya diri dan keteguhan. Senyum tipis terukir di bibirnya, namun sorot matanya dingin menatap Miska dan Tuti.
Miska tersentak, lidahnya kelu sejenak. “Kau…”
“Aku apa?” Aluna mendekat, lalu duduk di kursi kosong tepat di samping Raka. Tangannya mengusap kepala anaknya dengan lembut.
“Sarapan bersama anakku. Seperti yang seharusnya dilakukan seorang ibu. Kau salah, Miska, seperti biasanya.”
Wajah Miska memerah, ia hendak membuka mulut, namun sebelum sempat membalas, langkah kaki berat terdengar di koridor.
“Daddy!”
Seruan nyaring Raka membuat semua orang terkejut. Bocah itu melompat turun dari kursinya, berlari secepat mungkin ke arah pintu. Dan di sana berdiri sosok yang membuat udara ruangan seketika menegang, Takahashi Hiroto.
Pria itu melangkah masuk dengan tenang, setelan jasnya rapi, sorot matanya tajam namun teduh ketika menatap putranya. Ia membungkuk sedikit, merentangkan tangan, lalu mengangkat Raka ke pelukan. “Pagi, Nak. Kau sudah sarapan?”
“Sudah, Daddy!” jawab Raka riang, tangannya melingkar di leher ayahnya.
Aluna menoleh, matanya melembut melihat interaksi itu. Ada hangat yang tak bisa disembunyikan. Sementara Miska dan Tuti membeku di tempatnya. Wajah mereka pucat, mata mereka saling bertatapan tak percaya.
'Bagaimana mungkin … Taka ada di sini. Bukankah semalam ia masih di Jepang?'
Miska menggigit bibir, tangannya mengepal di bawah meja.
'Sial! Kalau dia ada di sini … berarti semua rencanaku bisa berantakan.'
Tuti buru-buru menutup kegugupannya dengan senyum palsu. “Ah … Tuan Takahashi, selamat pagi. Kami tidak tahu Anda akan datang…”
Taka melirik sekilas, senyum tipis di bibirnya sama sekali tak sampai ke mata. “Karena memang saya tidak perlu memberi tahu siapa pun. Rumah ini bukan milik Anda, melainkan tempat keluarga istri saya. Jadi, kehadiran saya tidak perlu izin dari siapa pun.”
Tuti langsung syok dan gugup mendengar ucapan Taka. Aluna menatap Taka, bibirnya terangkat samar. Ada rasa lega, sekaligus bangga, karena suaminya datang di saat yang tepat. Taka kemudian berjalan ke arah meja, mendudukkan Raka kembali ke kursinya, lalu duduk di samping Aluna. Tangannya meraih jemari istrinya secara alami, membuat Miska semakin terbakar cemburu.
“Sekarang,” ucap Taka dingin sambil melirik Miska dan Tuti, “kalau kalian masih ingin berbicara, pastikan kata-kata kalian pantas didengar seorang anak. Kalau tidak, jangan pernah membuka mulut di meja makan ini lagi.”
Miska menelan ludah, wajahnya memucat. Tuti pun hanya bisa menunduk, kehilangan keberanian untuk bersuara. Aluna menatap keduanya dengan tatapan menang, lalu menyuapi Raka potongan kecil roti. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, meja makan itu benar-benar terasa seperti tempat keluarga yang sesungguhnya, meski di baliknya, badai besar masih menunggu.
[Bereskan segera perusahaan Pramudya!] Taka mengirim pesan singkat itu pada asistennya.
masih bisa2 nya mau fitnah
🤣🤣🤣🤣
Kamu dan Barra sebelas dua belas , jadi jangan merasa menang dulu 😡😡😡