NovelToon NovelToon
Pawang Dokter Impoten

Pawang Dokter Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:18.4k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.

Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.

Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.

Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.

“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.

Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 11 Bentuk Pembelaan Diri

RUANG DOKTER – BEBERAPA SAAT KEMUDIAN

Arslan menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Jempolnya menggulir komentar yang terus masuk di grup alumni:

“Serius itu Arslan? Sama perawat ASN?”

“Gue kira selera lo high class, bro.”

“Lumayanlah, buat selingan ya, Dok?”

“Pantas sering lembur bareng, ternyata ada ‘bonus’.”

Beberapa memang netral, bahkan ada yang mendoakan. Tapi mayoritas? Nada menghina, merendahkan Nayaka, seolah dia tak pantas berdampingan dengannya.

Arslan berdiri pelan. Napasnya berat. Tapi dia tahu dia bukan satu-satunya yang terluka oleh semua ini.

Nayaka keluar dari ruangan rawat pasca-operasi, membawa map rekam medis. Senyum tipis di balik masker tak bisa menyembunyikan sorot matanya yang lelah namun langkahnya terhenti.

Beberapa rekan sejawat menatapnya dengan pandangan aneh. Ada yang bisik-bisik. Ada yang pura-pura tak melihat. Tapi ada juga yang terang-terangan menatapnya dari atas ke bawah dengan senyum sinis.

“Wah, enak ya. Baru jadi perawat ASN, udah bisa ‘naik kelas’.” cibirnya.

“Modal cantik dan manis dikit aja cukup ternyata.” sindirnya.

“Pinter juga kamu, Nay. Strateginya mantep.” ejeknya.

Nayaka menatap mereka. Diam. Lalu tersenyum bukan senyum mengalah, tapi senyum yang membuat lawannya tak bisa berkutik.

Ia buka maskernya perlahan, memperlihatkan wajah lugasnya yang bersinar oleh kepercayaan diri, bukan kosmetik.

“Ada yang mau saya bantu secara medis?” tanyanya, sopan tapi mantap. “Atau cuma mau saya ajari cara kerja yang profesional biar nggak punya waktu ngurusin hidup orang lain?”

Sunyi sejenak. Ia melangkah maju. Suaranya tetap lembut, tapi menyentak:

“Aku mungkin bukan anak orang kaya. Bukan juga dokter spesialis. Tapi aku kerja pakai hati, bukan pakai selangkangan. Jadi kalau kalian merasa insecure sama perempuan yang bisa berdiri tanpa menggantungkan diri, kalian harus periksa, mungkin yang sakit bukan pasien tapi harga diri kalian sendiri.”

Langkahnya mantap menyusuri lorong, membiarkan kata-katanya tertinggal seperti luka bakar di hati mereka yang tadi bicara tanpa berpikir.

Dan entah kenapa, beberapa staf yang tadi hanya diam mulai tersenyum. Salah satu dokter muda memberi anggukan hormat padanya.

Karena meski Nayaka "hanya perawat ASN", keberaniannya hari itu jauh lebih besar dari gelar manapun.

Belum jauh langkah Nayaka menjauh, suara-suara sumbang mulai menggeliat lagi kali ini lebih berani.

Salah satu perawat, yang berdiri bersama dua rekannya, menyeringai sambil menyilangkan tangan.

“Wah, Nayaka sekarang udah berani ngegas ya. Gaya ngomongnya naik kelas, gayanya kayak nyonya besar,” sindirnya keras-keras, sengaja agar semua mendengar.

“Padahal ya... kalau bukan karena Dokter Arslan, siapa sih yang notice kamu?” tambah yang lain sambil tertawa kecil.

“Dikira orang jatuh cinta tuh cukup bermodal pede sama mulut pedas ya.”

Dan dari arah tangga, suara hak sepatu menghentak mendekat.

Keira Ramadhani, dokter spesialis anestesi, berdiri di sana. Wajahnya cantik dan anggun, tapi matanya menyimpan bara yang tak pernah padam sejak dulu terutama jika itu menyangkut Arslan Mahardika.

Langkahnya mantap mendekat. Suara hak sepatunya menggema di antara keheningan koridor yang mulai dipenuhi rasa tegang.

“Lucu juga ya, perawat baru berani ngomong kayak gitu di depan seniornya,” ujar Keira dengan senyum tipis, namun nadanya tajam.

Nayaka menatapnya dengan tenang. “Kenapa? Nggak terima aku membela diri, Dokter Keira?” tanyanya, suara tetap sopan tapi jelas tak tunduk.

Keira menyilangkan tangan. “Saya hanya mengingatkan, tahu tempat dan tahu diri itu penting. Rumah sakit ini bukan tempat kamu cari sorotan apalagi dengan cara personal.”

Nayaka menatapnya lurus, lalu menatap satu per satu wajah perawat yang masih berdiri mematung.

“Kalau membela diri dianggap cari sorotan, lalu diam dan diinjak itu baru dibilang tahu diri?”

Ia mendekat setengah langkah ke arah Keira, tetap sopan tapi matanya tak menunduk.

“Dan soal ‘personal’, saya rasa yang lebih tahu siapa yang saya dekati dan siapa yang mendekati saya... ya Arslan sendiri, bukan orang lain yang cuma nonton dari jauh, nunggu giliran tapi nggak pernah dipilih.”

Seketika udara terasa padat. Perawat-perawat yang tadi bersorak kini membisu, bahkan yang tadi nyengir mulai menunduk.

Keira mengerjapkan mata, ekspresinya terguncang sejenak, lalu tertawa kaku. “Wow. Berani juga kamu.”

“Aku berani bukan karena ingin mengalahkan siapa pun,” ujar Nayaka, menegakkan bahunya. “Aku cuma belajar: kalau diam terus, aku akan ditindas. Kalau bicara, paling tidak aku dihormati. Dan hari ini, aku memilih dihormati.”

Tanpa menunggu balasan, Nayaka melangkah pergi. Kepalanya tegak. Punggungnya kokoh.

Dan di ujung lorong, diam-diam, Arslan berdiri di balik dinding kaca, menyaksikan semua itu.

Tanpa berkata apa pun, tetapi sorot matanya sudah menjawab. Dia memilih perempuan yang tahu cara membela dirinya sendiri.

Nayaka berhenti sejenak di tengah lorong.

Langkahnya belum benar-benar jauh. Ia memutar tubuh perlahan, menatap mereka para perawat yang barusan mencibir, dan juga dokter Keira yang masih berdiri dengan tatapan menantang.

Senyum tipis terbit di bibir Nayaka.

Matanya jernih, tapi tajam seperti pisau.

“Atau jangan-jangan kalian semua cuma cemburu sama aku?”

Suasana langsung membeku. Beberapa yang tadinya berani tertawa, kini hanya menatap dengan ekspresi kaget, tak percaya Nayaka bisa berkata seterang itu.

Ia melangkah pelan ke tengah-tengah mereka, nada suaranya tetap sopan, tapi ada energi menohok di balik tiap katanya.

“Cemburu karena aku dicintai tanpa harus jadi siapa-siapa. Cemburu karena aku dihargai bukan karena gelar, tapi karena keberanian dan hati. Dan paling parah, cemburu karena aku nggak perlu menjilat atau bersembunyi untuk bisa punya posisi di hati seseorang.”

Mata Keira menyipit. “Kamu keterlaluan.”

Tapi Nayaka hanya tersenyum. “Kalau kebenaran terdengar keterlaluan, mungkin selama ini kalian terlalu nyaman hidup dalam kebohongan.”

Ia menatap satu per satu mereka. Tatapannya tak berniat menyakiti, tapi juga tak memberi ruang untuk dibantah.

“Aku nggak pernah minta dihormati karena pacarku seorang dokter spesialis. Tapi aku juga nggak akan izinkan siapa pun merendahkanku hanya karena aku seorang perawat.”

Dan dengan satu anggukan kecil, ia pun melanjutkan langkahnya.

Sisa kalimatnya terdengar lirih, tapi cukup jelas bagi mereka yang mendengarnya:

“Aku mungkin bukan siapa-siapa tapi setidaknya aku bukan bayangan yang terus berharap dilihat, tapi tak pernah dipilih.”

Dan kali ini, tak ada satupun yang berani membalas.

RUANG CEO – LANTAI TERTINGGI RUMAH SAKIT

Di balik dinding kaca yang menghadap kota, ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara pendingin ruangan dan detik jam yang berdetak pelan.

Di salah satu sisi, monitor CCTV menyala, menampilkan sudut koridor utama lantai perawatan.

Tepat di sana, Nayaka berdiri dikelilingi perawat dan dokter Keira, dalam konfrontasi terbuka yang tak terduga.

Di depan layar, dokter Arslan Han Mahardika, berdiri tegak. Jas dokter ditanggalkan, hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung, dasi longgar tergantung di leher. Ekspresinya dingin tapi matanya tak berkedip.

Ia mendengar semuanya.

Setiap hinaan, setiap sindiran.

Dan lebih dari itu setiap kata pembelaan Nayaka yang menohok balik dengan elegan, berani dan bermartabat.

Ketika Nayaka berkata:

“Atau jangan-jangan kalian semua cuma cemburu sama aku?”

Arslan nyaris tersenyum. Tapi bukan senyum biasa melainkan senyum bangga yang sangat jarang muncul dari wajah dinginnya.

Lalu ia mendengar kalimat itu:

“Aku mungkin bukan siapa-siapa tapi setidaknya aku bukan bayangan yang terus berharap dilihat, tapi tak pernah dipilih.”

Arslan menghela napas pelan. Jemarinya mengetuk meja, lalu ia ambil ponselnya.

Ia membuka grup alumni dokter yang masih ramai menghina, mencibir, dan menggunjing.

Tanpa ragu, ia mengetik:

> “Untuk kalian yang sibuk menilai dari kasta dan status, aku tidak memilih Nayaka karena dia cantik, atau karena dia ASN, atau karena dia beda.

Aku memilih dia karena dari semua orang di ruangan itu, dia satu-satunya yang punya nyali berdiri atas nama harga dirinya sendiri.

Dan kalau itu belum cukup buat kalian hormati, mungkin kalian harus belajar lagi bukan soal profesi, tapi soal prinsip.”

Pesan itu terkirim. Grup alumni hening. Beberapa centang biru, tapi tak ada yang membalas.

Arslan mematikan layar CCTV.

Ia duduk di kursinya, lalu mengambil satu foto kecil dari laci yaitu potret diam-diam Nayaka yang tersenyum di ruang seminar dua tahun lalu saat dia pertama kali melihat gadis itu.

Lirih ia bergumam sendiri, “Kamu bukan cuma layak dicintai, Nayaka. Kamu layak diperjuangkan.”

1
Midah Zaenudien
semngat berkarya jgn bt cerita x stuk2 d tempat x
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: siap kakak... kedepannya akan muncul konflik
total 1 replies
Ummi Sulastri Berliana Tobing
lagi donk 🥰🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak sekitar jam 12 WITA sudah update
total 1 replies
Lukman Suyanto
lanjuttt
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah, besok makasih banyak masih setia baca
total 1 replies
Lukman Suyanto
lanjutt
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
Sholikhah Sholikhah
wong mantune Bu Retno juga orang biasa gitu kok gak ngaca. tolong dong kirim kaca ke Bu Retno
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: irinya Segede gabang kak 🤭
total 1 replies
Sholikhah Sholikhah
yah nyindir nih, yg bisanya hanya baca dan like 😄😄😄😄
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣🙏🏻
total 1 replies
Eva Karmita
Naya tersengat belut listrik nya pak dokter 🤣🤣🤣💓💓
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hahaha mati dong 🤣
total 1 replies
Daeng
sangat menghibur
Yani
pwngantin baru oiii pengantin baruu.. yikes sapa dluan yg dpt bonusan malam pertama.. 😁😁
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: semuanya dapat yang gede dan panjang 😂🤭
total 1 replies
Yani
pernikahan semua netizen ini Mah
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: mewakili yah 🤣
total 1 replies
Yani
waduh Merissa tercubit diriku ha ha haha
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hahaha 😂🤭
total 1 replies
Maulida greg Ma
hahaha segitunya
Maulida greg Ma
nggak apa-apa istri sendiri
Maulida greg Ma
nikahnya barengan semoga hamil juga barengan
Farhana
ya Allah mereka benar-benar random
Farhana
benar godaan istri luar biasa
Farhana
semoga samawa
Naila
haha kaget tapi penasaran 🤭🤣
Naila
akhirnya sah juga
Inha Khaerunnisa
Haha
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!