“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andi kalut?
Malam itu, suasana kompleks tempat tinggal Rani dan Andi tidak seperti biasanya. Lampu-lampu teras sudah menyala, angin malam bertiup pelan, dan suara jangkrik terdengar bersahutan. Namun di salah satu sudut gang kecil, tepat di depan warung Bu Tatik, sekelompok ibu-ibu sedang duduk melingkar sambil merumpi.
“Aku udah duga dari dulu, si Andi itu emang numpang hidup sama Rani,” ujar Bu Lastri sambil menyeruput tehnya.
“Iya, lho… tega banget! Istrinya kerja banting tulang, eh dianya malah selingkuh segala,” timpal Bu Yani, mencondongkan tubuhnya ke tengah lingkaran gosip.
“Tadi sore aku lihat sendiri waktu Rani bentak balik. Keren banget, Bu. Wajah Andi sama Bu Marni sampai pucat semua!” kata Bu Rini, matanya berbinar penuh semangat bergosip.
Para ibu-ibu lainnya tergelak kecil. Mereka bukan sekadar menertawakan, tapi juga merasa puas melihat keluarga yang selama ini sering menyombongkan diri itu akhirnya tersudut.
Tak jauh dari sana, Bu Marni baru saja keluar dari rumah Rani dengan wajah muram. Ia bermaksud pulang ke rumahnya di ujung gang untuk menenangkan diri, namun langkahnya mendadak terhenti saat mendengar suara Bu Lastri menyebut nama Andi dengan nada meremehkan.
“Lelaki mokondo, numpang sama istri tapi gaya kayak raja…” kata Bu Lastri lagi, cukup keras untuk didengar siapa pun yang lewat.
Bu Marni berhenti di depan warung, menatap tajam ke arah Bu Lastri.
“Las… kamu ngomong hati-hati ya! Jangan asal ngomong tentang anak saya!” suaranya tinggi, membuat semua ibu-ibu yang tadi asyik merumpi sontak terdiam.
Bu Lastri bangkit dari duduknya, menatap balik tanpa gentar.
“Lho… saya ngomong berdasarkan FAKTA, Bu Marni. Tadi siang saya lihat sendiri Andi jalan sama perempuan lain di depan mall. Mesra banget. Jadi jangan pura-pura nggak tahu!”
“Omong kosong! Anak saya nggak mungkin begitu!” bentak Bu Marni, wajahnya merah padam menahan malu dan emosi.
Bu Lastri menyilangkan tangan di dada, matanya menyipit sinis.
“Omong kosong apanya? Mata saya masih sehat, Bu. Siang-siang panas-panas, saya lihat sendiri mereka gandengan tangan di depan kafe. Kalau Ibu nggak percaya, tanya orang-orang sini. Banyak yang lihat.”
Ibu-ibu lain saling pandang. Ada yang mengangguk pelan, ada yang menutup mulut menahan tawa. Gosip ini bukan lagi kabar burung—sudah jadi rahasia umum.
Bu Marni meradang, “Lastri, kamu jangan bikin malu keluarga saya! Urusan rumah tangga anak saya bukan urusan kamu!”
Bu Lastri membalas dengan nada lebih tinggi, “Lho, kamu yang bikin malu, Marni! Anak kamu tuh bukan cuma nyusahin istri, tapi juga bikin aib di lingkungan ini. Kalau nggak siap malu, jangan bela anak bejat!”
“Kurang ajar kamu, Lastri!” Bu Marni maju selangkah, hampir saja mendorong Lastri.
Namun Bu Lastri tak mundur, “Kurang ajar? Yang kurang ajar itu anak kamu, Marni! Selama ini Rani kerja keras buat kalian, sekarang malah disia-siakan. Nggak tahu malu!”
Suasana malam itu makin panas. Beberapa tetangga lain mulai keluar rumah, menonton adu mulut dua ibu-ibu yang sudah saling sindir sejak lama.
“Aduh… ribut lagi, ribut lagi…” gumam Pak RT yang kebetulan lewat.
“Pak RT, tolong ya!” teriak Bu Marni dengan suara meninggi. “Bu Lastri ini sudah menuduh anak saya yang enggak-enggak!”
Bu Lastri menyahut cepat, “Saya nggak nuduh, saya cuma bilang apa yang saya lihat. Kalau Ibu malu, salahkan anak Ibu sendiri, bukan saya!”
Keributan makin ricuh. Ibu-ibu lain mulai bersuara, membenarkan ucapan Bu Lastri—ada yang memang ikut melihat, ada yang sekadar ikut menimpali gosip. Nama Andi makin rusak di mata lingkungan.
Wajah Bu Marni memucat. Ia tak bisa lagi menyangkal. Hatinya terbakar amarah dan malu yang bercampur jadi satu. Ia melengos pergi dengan cepat, menahan air mata dan rasa terhina yang luar biasa.
Bu Lastri hanya mengangkat dagu dengan puas.
“Dari dulu sok suci, sekarang kena batunya,” gumamnya pelan, tapi cukup untuk didengar semua orang.
★★★★
Malam itu udara terasa berat dan dingin. Andi melangkah terburu-buru keluar dari rumah dengan wajah gelap dan rahang mengeras. Amarah dan tekanan yang menumpuk sejak sore membuatnya merasa sesak. Ia tak tahan lagi dengan semua tuntutan Rani, omongan tetangga, dan pandangan sinis orang-orang di sekitar.
Ia menyalakan motornya dan melaju cepat ke arah apartemen Maya. Lampu jalan menyala redup, dan suara knalpot motor menjadi satu-satunya yang terdengar dalam keheningan malam. Dalam hati, Andi berharap Maya bisa menenangkan pikirannya—setidaknya membuatnya merasa “berharga” lagi.
Sesampainya di depan apartemen, Maya sudah menunggunya dengan pakaian santai, rambutnya digerai, dan senyum manis terpulas di bibir.
“Kamu kelihatan capek banget, Sayang…” ucap Maya lembut, menyentuh pipi Andi.
Andi menghela napas panjang dan masuk ke dalam kamar apartemen Maya.
“Aku muak sama semua orang di rumah itu,” gumam Andi sambil duduk di tepi ranjang. “Rani, ibuku, tetangga… semua kayak nyudutin aku.”
Maya menatapnya dalam diam sejenak, lalu perlahan duduk di sampingnya. Tangannya meraih sebuah plastik kecil dari atas meja rias, lalu ia mengulurkan sesuatu pada Andi.
“Andi…” ucapnya pelan. “Aku harus kasih tahu sesuatu.”
Andi menoleh dengan alis berkerut. Maya menghela napas, lalu mengangkat sebuah test pack bergaris dua—positif hamil.
“Aku hamil, Andi.”
Andi terbelalak, tubuhnya seakan kaku sesaat. “A… apa?”
Maya mengangguk pelan, matanya berbinar antara gugup dan bahagia.
“Aku udah periksa dua kali. Hasilnya sama. Ini anak kamu, Andi.”
Andi berdiri mendadak, matanya membesar. Hatinya bergemuruh—antara panik, takut, dan bingung. Ia berjalan mondar-mandir di kamar Maya.
“Gila… Maya, kamu serius?!”
“Iya, aku nggak main-main.” Maya menatapnya dengan penuh harap. “Aku pikir kamu bakal senang. Kita bisa bangun keluarga kecil kita sendiri, Andi…”
Andi menatapnya tajam, napasnya memburu.
“Senang? Kamu pikir aku bakal SENANG, Maya? Aku bahkan belum beres sama masalahku di rumah! Rani minta aku balikin semua uang dua ratus juta, ibuku juga lagi kena gosip, aku nggak punya tabungan sepeser pun!”
Maya menggigit bibirnya, ekspresinya berubah. “Tapi ini anak kamu…”
Andi menyandarkan kepalanya di dinding, tangannya gemetar menahan panik. “Aku bahkan belum siap jadi bapak. Ekonomi hancur, kerjaanku cuma satpam, dan sekarang kamu bilang kamu hamil?”
Suasana kamar mendadak tegang. Maya merasa kecewa, tapi ia tetap mencoba tenang.
“Andi… aku nggak minta kamu kasih aku kemewahan. Aku cuma pengin kamu tanggung jawab. Ini anak kita, bukan orang lain.”
Andi menarik napas dalam-dalam, tapi dadanya semakin sesak. Dalam pikirannya, wajah Rani muncul—tatapan tajam dan tuntutan dua ratus juta yang membuatnya makin terpojok.
“Aku… aku nggak tahu harus gimana, Maya,” ucap Andi dengan suara berat.
Maya mendekat, memegang tangannya. “Andi, aku nggak bisa ngadepin ini sendirian. Kamu harus pilih, kamu mau lanjut sama aku atau nggak?”
Andi menatap Maya dalam diam. Kepalanya penuh dengan ketakutan. Rani, Bu Marni, gosip tetangga, dan kini kehamilan Maya. Semua menimpanya dalam satu waktu.
Malam itu, untuk pertama kalinya Andi benar-benar menyadari—permainannya sudah kelewat jauh. Kini, bukan hanya reputasinya yang hancur, tapi masa depannya pun ikut terancam.
Ia terduduk lemas di lantai, sementara Maya memeluk test pack itu erat-erat di dadanya. Dalam keheningan malam, keduanya sama-sama sadar,badai besar baru saja dimulai.
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati
di neraka .