Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERAKHIR
Kemelut masih menggelayuti keluarga Wiguna.
Setelah Barly dan Sheila tertangkap dan anak-anak sudah kembali ke tangan Aurel, masalah lain menyusul. Ishana datang dengan tuntutan hukumnya pada Aurel atas tuduhan penganiayaan terhadap dirinya.
"Aku tidak sengaja mendorongmu, Ishana. Kau juga tahu itu"
Tapi Ishana hanya berdiri tegak. Tak sepatah katapun terlontar dari bibirnya. Tatapan matanya kosong dan dingin.
Setelah memberikan pernyataannya pada penyidik sebagai saksi korban, diapun pergi meninggalkan kantor polisi.
Aurel menjerit memanggil-manggil nama wanita itu hingga diakhiri sumpah serapah. Tapi Ishana tetap berjalan tanpa menoleh lagi ke belakang.
"Mama... gimana ini, aku nggak mau dipenjara!" Pekik Aurel sambil menangis histeris. Wulan sangat iba melihat putrinya. Diapun berlari untuk menghentikan Ishana dan bicara padanya.
"Ishana, tunggu!" Katanya sambil menyambar tangan menantu yang tak pernah diakuinya itu.
Ishana menghentikan langkahnya, tapi tetap menutup
Rapat mulutnya.
"Tolong... tolong cabut tuntutanmu."
Ishana menatap tangan Wulan yang mencengkeram lengannya, lalu perlahan mengangkat kepala. Tatapannya tajam, menusuk, tapi mulutnya masih terkunci rapat.
"Apa kau tuli? Aku bilang cabut tuntutanmu!" Wulan membentak.
Ishana akhirnya bicara, pelan tapi dingin. "Lepaskan tangan saya."
"Jangan sok angkuh, Ishana! Kau pikir kau siapa? Kau cuma perempuan mandul yang nekat kawin sama anak saya! Kalau dari awal kau jujur, kau tidak mungkin jadi istrinya Alex. Kau dan anakmu itu akan tetap hidup pas-pasan. Dasar wanita rendah, tidak tahu diri. Penipu!"
Ishana tersenyum miring, sinis. "Sayangnya, saya sudah telanjur menjadi istrinya. Dan Ibu akan terus menyesalinya seumur hidup."
Plak!
Wulan menamparnya. Keras. Semua orang di sekitar mereka sontak menoleh.
"Dasar kurang ajar!" Wulan menjerit. "Sudah merepotkan, bikin malu, sekarang mau seret anak saya ke penjara? Demi apa? Harga diri?! Harga dirimu tuh udah habis sejak kau bohongin Alex soal rahimmu!"
Ishana menahan napas. Pipinya memerah, bukan
Karena sakit tapi karena amarah yang dia tahan selama ini.
"Saya diam selama ini bukan karena takut. Tapi karena saya masih punya rasa hormat. Tapi ternyata... saya salah. Ibu memang tidak layak dihormati."
Wulan mencengkeram lengan Ishana lagi, tapi Ishana menepisnya kasar.
"Jangan sentuh saya lagi."
"Aurel bisa hancur! Dia seorang ibu dari anak-anaknya yang masih kecil! Apa kau nggak punya hati?!"
"Saya pernah hampir mati di lantai karena dia, Bu. Dia pergi ninggalin saya seolah nyawa saya nggak berharga.
Sekarang giliran dia nangis, saya harus iba?!"
Ishana menatap sinis ibu mertuanya.
"Itu buah dari kelakuannya yang tak punya hati. Jadi untuk apa saya kasihan sama dia. Malah saya berharap, dia bisa dihukum seberat-beratnya."
Wulan mengertakkan gigi. "Kau perempuan jahat!"
"Kalau membela diri dari orang yang nyaris membunuh saya membuat saya jahat, maka saya terima. Tapi saya tidak akan cabut laporan itu. Tidak sekarang.
Tidak besok. Tidak akan pernah!"
Ishana berbalik dan melangkah pergi. Kali ini lebih cepat. Tegas. Tak ada lagi yang bisa menahannya.
Wulan berdiri membeku, menggenggam udara kosong. Rahangnya mengeras, matanya membara.
"Dasar pelac*r mutahan! Siap-siap aja kau jadi gembel lagi! Kita lihat nanti. Siapa yang akan tertawa belakangan?"
Tapi suara itu hanya menggema di udara. Ishana tak menoleh lagi. Dia tahu setelah ini akan seperti apa nasib dia dan anaknya. Akan kembali hidup sederhana seperti dulu yang hanya mengandalkan hidup dari gaji seorang guru TK. Tapi tak akan ada lagi kekhawatiran dan rasa takut. Mungkin setelah ini hidupnya bahkan akan lebih tenang.
Ruangan itu sunyi. Aroma kopi yang mulai dingin memenuhi udara. Aurel duduk kaku di hadapan penyidik.
Tangannya saling menggenggam di atas meja, tapi matanya tidak bisa menatap langsung lawan bicaranya.
Penyidik membuka berkas, lalu menatap Aurel tajam.
"Baik, Saudari Aurel. Kami sudah menerima laporan dari korban, Saudari Ishana. Tolong jelaskan, apa yang sebenarnya terjadi hari Minggu siang itu di rumah Saudara Alex?"
Aurel menarik napas pendek. "Saya datang ke rumah itu, mencari kakak saya. Tapi yang ada hanya Ishana. Dia terlihat mencurigakan. Seperti menyembunyikan sesuatu."
"Lalu?"
"Saya dekati, saya tanya, tapi dia malah makin mundur. Akhirnya saya coba rebut benda itu dari belakang punggungnya. Kami tarik-tarikan, dan... dia jatuh. Saya tidak sengaja. Saya tidak mendorong. Dia kehilangan keseimbangan sendiri."
"Setelah dia jatuh, apa yang Saudari lakukan?"
Aurel terdiam sejenak. "Dia tidak sadarkan diri. Saya... panik. Saya takut. Saya langsung pergi."
"Pergi?"
Aurel mengangguk pelan, nyaris tak terdengar. "Saya tidak tahu harus apa. Saya takut dituduh macam-macam."
Penyidik menggeleng perlahan. "Saudari Aurel, korban mengalami gegar otak ringan dan luka memar. Dalam keterangannya, korban mengatakan sempat melihat Saudari berdiri di atasnya sebelum akhirnya hilang kesadaran. Lalu saat sadar di rumah sakit, tidak ada siapa-siapa. Kami menduga, Saudari meninggalkan korban dalam kondisi tidak berdaya."
Aurel membuka mulutnya, tapi tak ada suara keluar.
"Saat ini, Saudari kami tetapkan sebagai terlapor dalam dugaan tindak pidana Pasal 360 ayat 1 KUHP, dan juga kami pertimbangkan unsur kelalaian dalam memberikan pertolongan."
"Jadi saya bisa dipenjara?"
"Jika terbukti bersalah, hukumannya bisa sampai 5 tahun penjara. Tapi proses masih berjalan. Kami masih akan memeriksa saksi, bukti forensik, dan rekaman lain dari lingkungan sekitar."
Aurel memejamkan mata. Dadanya bergemuruh. Dia ingin membela diri, ingin menjelaskan bahwa dia tidak pernah berniat menyakiti siapa pun. Tapi siapa yang akan percaya?
Ishana kembali ke rumah Alex. Bukan untuk
meneruskan tinggal di sana, tapi untukengambil barang-barang pribadinya dan pergi lagi dari situ. Tak ada lagi ruang yang bisa menerimanya di sini. Selama beberapa hari dia kembali dari rumah sakit, Alex sudah tak pernah pulang dan tak pernah menghubunginya. Dia harus tahu diri. Meski berat jika harus kembali ke rumah lamanya yang sangat sederhana.
Tas-tas itu sudah rapi. Koper besar di dekat pintu.
Ishana berdiri diam, memandang sekeliling ruang tamu yang dulu dia bersihkan setiap hari. Dan mulai besok, tak akan lagi.
"Mama, kita mau ke mana?" tanya Keysha, berdiri sambil memeluk bonekanya.
Ishana berjongkok, menggenggam tangan mungil itu.
"Kita pulang, sayang. Ke rumah kita yang dulu. Tempat yang sempit, tapi nggak pernah bikin Mama merasa asing."
"Apa Papa ikut?"
Ishana menggeleng pelan. "Nggak. Papa nggak akan
Ikut. Tapi nggak apa-apa. Kita tetap bisa bahagia berdua, tanpa orang yang sudah tak menginginkan kita."
Suara mesin mobil terdengar dari luar pagar. Ishana bangkit, menarik koper besar dan menggendong tas lainnya.
Di teras, supir dari aplikasi daring sudah menunggu. Laki-laki itu turun, membukakan pintu bagasi.
"Permisi, Bu. Di antar sesuai yang tertera di aplikasi??"
Ishana menjawab tenang. "Iya, pak."
"Siap."
Tanpa banyak kata, ia memasukkan koper. Ishana menggandeng Keysha yang masih menatap rumah itu.
"Kita nggak pamit sama papa, Ma?" bisik Keysha.
"Nggak usah. Kalau papa Alex perduli sama kita, dia pasti sudah datang dari tadi."
Keysha mengangguk kecil, lalu naik ke mobil bersama ibunya. Pintu ditutup. Mesin menyala. Mobil mulai bergerak pelan menjauhi rumah megah yang semakin lama semakin mengecil di kaca belakang.
Lampu neon di teras rumah kecil itu berkelip sebentar sebelum akhirnya menyala remang. Cat tembok mengelupas. Genteng bocor di sudut kanan.
Ishana membuka pintu dengan anak kunci tua yang ia simpan sejak dulu. Tangannya gemetar, bukan karena lelah, tapi karena kenyataan sudah kembali menamparnya tanpa peringatan.
Karpet ruang tamu masih sama seperti dulu, tipis, penuh kenangan tentang air mata dan kesulitan hidup yang pernah dilaluinya.
Keysha masuk lebih dulu. "Rumahnya kecil lagi deh, Ma..."
Ishana memaksakan senyum. "Tapi hangat. Dan tidak ada yang membenci kita di sini."
Ia menyalakan lampu satu per satu. Kamar sempit itu pengap, tapi bukan itu yang membuat Ishana nyaris menangis. Yang menyakitkan adalah... dulu dia sudah meninggalkan semua ini, berharap jadi 'orang baru' bersama Alex. Tapi sekarang, dia kembali ke titik nol.
Tanpa suami. Dan... tanpa kemewahan lagi.
Kemenangan palsu yang dulu ia nikmati saat merebut Alex dari Livia, kini dibayar lunas.
Bahkan lebih mahal daripada yang ia kira.
Tangannya meraba perut. Kosong.
Dia ingat bagaimana Livia dulu dikata-katai mandul oleh semua orang, termasuk dirinya sendiri secara halus.
Tapi sekarang, kenyataan sudah berbalik padanya. Orang lain kini sudah tahu rahasia besar yang selama ini disembunyikannya. Wanita tanpa rahim! Tanpa sadar.
Ishana sudah masuk ke dalam jurang yang ia ciptakan sendiri.
Livia, sudah kembali menjadi konsultan senior di perusahaan suaminya. Dan kali ini dia sedang menjalin kerjasama dengan sebuah butik ekslusif untuk fashion yang akan mereka luncurkan. Dia memberikan saran dan panduan ahli mengenai berbagai aspek fashion, termasuk pengembangan merek, tren, desain, dan pembelian.
Kliennya mengangguk-angguk, tampak puas.
"Saya sangat puas untuk semua yang anda katakan
barusan. Terima kasih atas segala saran dan bantuan anda. Senang sudah bekerjasama dengan anda." Kata kliennya sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Livia.
"Sama-sama, terimakasih untuk kepercayaan anda pada kami."
Livia pun tersenyum puas. Dia lega, setelah 2 tahun vakum, ternyata ide-ide segarnya masih bisa diterima oleh kliennya.
Klien Livia pun bersiap pergi setelah berpamitan.
Tapi tiba-tiba, suara bernada tinggi memecah, menyela diantara merek.
"Wohooo... lihat siapa ini? Si Nyonya Sempurna!"