SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”
Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.
Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 — Lift Tak Bernama
Konfrontasi di aula utama telah mengupas lapisan kebohongan yang rumit. Rasa bersalah Daren, yang tadinya terasa besar, kini tampak kecil dibandingkan dengan skema besar yang dipimpin Rhea—seorang ideolog gila yang mencoba membersihkan dosa dengan mengorbankan dirinya. Dan Aksa, sang pahlawan, ternyata adalah sang perencana jebakan yang ingin 'mengunci' adiknya sendiri di Lantai Tujuh.
Reina, Naya, dan Daren bergerak cepat. Waktu adalah ilusi, tetapi mereka harus bertindak cepat sebelum Lantai Tujuh berhasil menukar jiwa Zio secara permanen atau menyeret Naya kembali ke ingatan palsunya.
Mereka membawa Zio, yang masih dalam kondisi shock dan terus meracau tentang "loker yang tertawa," keluar dari UKS. Daren memimpin jalan, kini tanpa penyesalan, hanya fokus pada tugasnya.
"Kita harus kembali ke Lift Pertama," kata Daren. "Itu satu-satunya gerbang yang masih stabil, karena terkunci oleh kode Aksa. Lift di Gedung Lama sudah terlalu terdistorsi oleh dimensi itu."
Naya mendukung Zio, wajahnya tegang tetapi tekadnya kembali. "Aku ikut, Rei. Aku harus tahu apa yang terjadi pada adikku."
Mereka menuruni tangga beton berlumut menuju ruang bawah tanah lagi. Bau belerang dan besi berkarat menyambut mereka dengan lebih kuat, seolah Lantai Tujuh sedang menunggu kedatangan mereka.
Lift Pertama berdiri di tengah ruangan, diselimuti kegelapan yang pekat.
Reina menyinari panel tombol dengan senter ponselnya. Tombol ‘7’ yang tadinya dipaku dan kemudian bersinar merah, kini sudah benar-benar padam. Bekas paku itu terlihat seperti lubang peluru yang kecil.
Namun, panel itu telah berubah.
Di atas tombol L3, tempat seharusnya tombol '7' berada, kini terpampang sebuah tombol baru. Tombol itu tidak memiliki angka. Yang ada hanyalah simbol matematika yang familiar: \infty (Infinity/Tak Terbatas).
Simbol itu bersinar lembut, bukan merah darah seperti sebelumnya, melainkan biru kehijauan yang menenangkan—warna yang sama dengan cahaya dari kubah Mirror Room di rekaman video.
"Infinity," bisik Daren, matanya memancarkan rasa ngeri. "Aksa tidak hanya menguncinya. Dia mengubah tujuannya. Dia tidak ingin ada lagi 'Lantai Tujuh' yang terpisah. Dia ingin tempat itu menjadi 'Waktu Tak Terbatas'."
"Waktu tak terbatas?" tanya Reina.
"Lantai Tujuh tidak hanya menukar jiwa. Dia memproyeksikan dirimu ke semua rentang waktu yang relevan dengan rasa bersalahmu. Aksa mungkin berharap dengan menekan \infty, kita bisa bergerak bebas di dalam dimensi waktu itu, bukan hanya terjebak di satu ilusi," jelas Daren.
"Kita harus masuk. Kita harus menemukan Aksa dan Rhea," kata Reina, mencengkeram hard disk di tangannya.
Daren mengangguk. Ia mengangkat Zio, yang kini setengah pingsan, dan memasukkannya ke dalam kandang Lift Pertama. Naya mengikuti di belakangnya.
Saat Reina bersiap untuk melangkah masuk, Daren menarik pergelangan tangannya.
"Ingat, Reina. Rhea yang mengendalikan Lantai Tujuh. Dia akan menunjukkan padamu ilusi terburuk yang pernah kamu alami: pertengkaranmu dengan Aksa. Jangan percaya apa yang kamu lihat. Itu bukan penebusan. Itu jebakan untuk membuatmu menyerahkan jiwamu."
"Aku tahu," jawab Reina mantap. Ia tidak takut lagi. Rasa bersalahnya kini menjadi senjata yang disadarinya.
Mereka berempat—Daren, Zio yang pingsan, Naya, dan Reina—berdiri di dalam Lift Pertama yang berkarat.
Tombol \infty bersinar di tengah panel.
Zio, yang tadinya hampir tidak sadar, tiba-tiba membuka matanya. Pandangannya kosong, tetapi ada senyum lebar yang muncul di wajahnya. Itu adalah senyum Zio yang ceroboh dan hiperaktif, bukan Zio yang shock dan trauma.
Dengan kecepatan yang tidak terduga, Zio mengulurkan tangannya yang basah dan menekan tombol \infty.
KLIK!
Reina bahkan tidak sempat berteriak.
Lift itu tidak bergerak ke atas atau ke bawah. Dia bergetar, dan tiba-tiba, semua cahaya di Lift itu berubah menjadi putih menyilaukan.
Reina merasakan pusing yang luar biasa, seolah otaknya sedang ditarik dari tempurungnya. Ada bunyi berderak yang keras, bukan dari kabel, melainkan dari udara di sekitar mereka.
Lalu, semua guncangan berhenti.
Cahaya putih itu meredup, digantikan oleh penerangan neon yang stabil.
DENTING!
Pintu Lift terbuka.
Mereka semua terbatuk. Udara di luar Lift terasa kering dan bersih. Bau belerang dan karat hilang, digantikan oleh aroma pembersih lantai dan kayu lapis baru.
Mereka keluar dari Lift, yang kini terlihat jauh lebih bersih dan modern—Lift Gedung Lama yang mereka masuki pertama kali.
Mereka tiba di koridor. Tapi bukan koridor yang mereka tinggalkan.
Lantainya mengkilap, wallpaper dinding berwarna hijau pupus cerah. Pintu-pintu kelas dicat ulang. Segalanya terlihat baru, ideal, dan asing.
"Ini... ini Gedung Lama, tapi direnovasi," bisik Naya.
Daren melihat sekeliling, matanya penuh penyesalan. "Ini bukan renovasi, Naya. Ini adalah memori yang belum terdistorsi. Ini adalah Tahun Awal Lantai Tujuh."
Mereka berjalan maju. Zio yang baru saja menekan tombol, kini kembali pingsan di lantai.
Mereka mendekati papan pengumuman. Di sana, tertempel sebuah poster yang sudah sedikit usang.
Poster itu bergambar Kepala Sekolah yang tersenyum di samping sekelompok siswa berprestasi. Di bawahnya, sebuah tulisan tebal:
SELAMAT DATANG SISWA BARU ANGKATAN 2019/2020
Motto: KESEMPURNAAN REPUTASI ADHIRANA
Reina menatap poster itu. Tahun 2019.
"Zio benar," bisik Reina. "Kita kembali ke tahun 2019. Tahun saat Rhea dan Aksa memulai eksperimen mereka. Tahun yang paling berbahaya."
Tiba-tiba, dari ujung koridor, terdengar suara tawa riang. Tawa remaja yang tertekan oleh perfeksionisme, tetapi berpura-pura bahagia.
Sosok-sosok mulai muncul. Siswa-siswa berseragam lama yang Reina lihat di arsip foto, membawa tas yang berbeda model.
Dan di tengah kerumunan itu, berjalan seorang siswi berambut panjang, memimpin rombongan. Wajahnya cantik, matanya dipenuhi ambisi yang dingin.
Rhea Wijaya. Kakak Daren.
Rhea melangkah, lalu berhenti tepat di depan mereka. Matanya menatap Reina dengan senyum tipis, senyum yang sama persis dengan yang dilihat Reina di wajahnya sendiri, di balik cermin.
"Selamat datang, Reina," sapa Rhea, suaranya tenang, tapi memiliki otoritas yang mutlak. "Aku sudah menunggumu."
Di belakang Rhea, terlihat dua sosok lagi.
Seorang siswa berambut gondrong, memeluk buku tebal. Aksa Laksana, lima tahun lebih muda.
Dan di samping Aksa, berdiri Daren muda, berseragam sekolah yang rapi, dengan wajah yang penuh kecemasan.
Reina melihat Daren muda, dan menoleh ke Daren di sebelahnya, yang kini terlihat sangat terpukul.
"Aku... Aku nggak pernah melakukan itu," bisik Daren 2025. "Aku nggak pernah pergi ke lift bersamanya."
Reina sadar. Mereka tidak hanya kembali ke 2019. Mereka kembali ke Ingatan yang Diproyeksikan Daren tentang hari-hari terakhir Rhea.