Ketika Maya, pelukis muda yang karyanya mulai dilirik kolektor seni, terpaksa menandatangani kontrak pernikahan pura-pura demi melunasi hutang keluarganya, ia tak pernah menyangka “suami kontrak” itu adalah Rayza, bos mafia internasional yang dingin, karismatik, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Tahun terakhirku di kampus lebih banyak diisi dengan tugas-tugas kuliah dan proyek akhir yang harus dikumpulkan atau dipajang di galeri seni fakultas.
Yang paling bikin nyesek, dari semua hal yang terjadi belakangan ini utang orang tuaku yang baru ketahuan, serangan mafia yang bahkan sempat menculikku, batalnya pernikahanku sama Rayza, nenek yang dirawat di rumah sakit... dan masih banyak lagi aku bahkan belum sempat mikirin tema untuk proyek seni utamaku.
Sebenarnya ada beberapa karya yang sedang kukerjakan, tapi satu lukisan ini harus selesai dulu karena tenggat waktunya sudah mepet banget.
Jadi... harus gambar apa, ya? Dari mana aku bisa dapet inspirasi yang bagus?
Aku duduk bersila di atas kasur empuk sambil mikir keras. Kamarku sekarang lumayan luas, bahkan lebih besar dari rumah kecil tempat aku tinggal bareng nenek dulu. Tapi anehnya, ngelihat sekeliling kamar ini nggak ngasih inspirasi apa-apa. Mungkin aku harus keluar, cari angin dan cari ide sekalian…
Aku ambil buku sketsa dan beberapa pensil, lalu berjalan ke arah pintu. Begitu pintu terbuka, langsung disambut tiga orang pria berpakaian serba hitam berdiri di depan. Sempurna.
“Mau ke mana, Nona Maya?” tanya salah satu dari mereka kelihatannya sih dia yang mimpin.
“Aku… mau ke taman, atau ke tempat yang bisa ngasih inspirasi buat tugas seni,” jawabku sambil mengangkat buku sketsa yang masih kosong ke arahnya.
“Begitu ya. Kami akan menemani,” katanya dengan nada datar.
Menemani? Lebih tepatnya ngawasin aku supaya nggak kabur. Ya sudahlah…
“Bagus. Mau nganterin aku?” tanyaku. Hidup ini toh udah cukup absurd.
“Dengan senang hati. Silakan ikut saya,” jawabnya sambil memberi isyarat.
Sekarang aku udah duduk di taman, tapi aku sendiri nggak yakin kenapa aku ke sini. Maksudnya, iya, buat cari inspirasi. Tapi aku nggak tahu pasti apa yang sebenarnya aku harapkan. Cuacanya cukup enak nggak panas, angin sepoi-sepoi. Banyak orang lewat. Ibu-ibu sama anaknya. Pasangan muda yang pacaran. Orang-orang jalan-jalan bawa anjing mereka.
Aku duduk di bangku taman dari kayu, memperhatikan orang-orang yang lewat. Nggak akan ada yang berani nyapa, pikirku, apalagi setelah kulirik ke belakang dan lihat tiga pria berpakaian hitam berdiri seperti bodyguard mafia. Duh, kenapa sih mereka nggak bisa pakai baju biasa aja?
Mengabaikan mereka, aku buka buku sketsaku dan mulai menggambar apa aja yang kulihat. Seekor anjing kecil. Dua anak kecil yang main kejar-kejaran. Kakek-nenek yang saling menggandeng. Pohon besar. Terakhir, aku gambar tiga bunga mawar.
Bunga sih mungkin bukan ide utama buat lukisanku nanti, tapi nggak dosa juga kan gambar cuma karena pengen?
Belum ada ide yang bikin aku merasa “klik” sih. Tapi siapa tahu, sketsa-sketsa ini nanti bisa jadi inspirasiku. Aku terlalu tenggelam dalam gambar sampai nggak sadar HP-ku bunyi dari dalam tas. Tapi ya… siapa juga yang nelpon? Dan jujur aja, aku juga lagi nggak pengen ngobrol sama siapa-siapa sekarang.
Memang berat, tapi aku tahu aku harus tetap menjaga hubungan dengan orang-orang di hidupku, supaya semuanya bisa kembali normal saat aku akhirnya bisa menjalani hidup seperti biasa. Mungkin aku harus mulai membalas pesan dari teman-teman. Anak-anak dari kampus sudah beberapa kali kirim pesan di grup buat ngajak kumpul makan malam. Aku lihat pesannya, tapi belum sempat bales.
“Udah cukup untuk hari ini. Yuk, pulang,” kataku sambil menutup buku sketsa.
Aku memang belum nemu ide yang pas buat lukisanku, tapi aku nggak bisa bilang kunjungan ke taman ini sia-sia. Lihat orang-orang jalan santai sambil tertawa-tawa bikin aku merasa sedikit lebih optimis. Segalanya pasti akan membaik. Aku percaya itu.
…
Waktu aku sampai di apartemen penthouse, Rayza belum pulang. Aku merasa lega. Aku memang nggak pengen ketemu dia. Jujur aja, aku sendiri nggak tahu harus bersikap gimana kalau ketemu, dan aku curiga dia cuma bakal nambah masalah buat aku. Bibi udah nunggu di ruang makan, dengan meja penuh makanan. Banyak banget sampai aku merasa bersalah ingat orang-orang di luar sana yang mungkin nggak punya cukup buat makan malam.
“Rayza nggak bakal pulang makan malam, kan?” tanyaku pelan.
“Eh… Bibi nggak yakin, Nak. Tapi kalau kamu telepon, mungkin dia bakal usahain pulang,” jawab Bibi dengan senyum tipis.
Sepertinya Bibi salah paham. Aku nanya soal Rayza bukan karena pengen dia ada di meja makan. Justru sebaliknya. Aku pengen tahu supaya bisa ngindar. Kalau dia pulang, lebih baik aku langsung ke kamar aja.
Tapi sepertinya dia nggak bakal pulang. Jadi, malam ini aku bisa makan dengan tenang, sendirian, dan bersyukur.
“Telepon dia? Nomornya aja aku nggak punya. Dan… aku juga nggak pengen punya. Serius deh… justru seneng kalau dia nggak pulang malam ini. Jadi, Bibi nggak usah khawatir,” jawabku sambil senyum kecil.
Aku mulai menyantap makanan lezat itu sementara Bibi memperhatikanku, lalu menghela napas keras. Kudengar dia menggumam pelan entah apa sebelum meninggalkanku sendirian di ruang makan. Saat aku selesai, Rayza belum juga pulang. Walaupun makanannya enak, entah kenapa aku tetap nggak berselera dan akhirnya cuma makan sedikit.
Waktu aku bangkit dari kursi makan, aku baru sadar kalau aku belum menunaikan bagianku dari perjanjian hari ini. Aku belum melakukan apa pun untuk Rayza, dan jelas dia pun belum mengajukan permintaan karena aku belum ketemu atau ngobrol dengannya hari ini. Aku manyun, mikirin apa yang bisa aku kasih atau lakuin buat dia.
Pandangan mataku lalu jatuh ke buku sketsa yang tergeletak di meja makan. Saat itulah ide muncul. Aku ambil buku itu, bolak-balik halamannya, sampai nemu yang selama ini aku cari. Tanpa ragu, aku sobek pelan halaman itu dan menaruhnya di atas meja. Soalnya, aku nggak bakal pakai gambar itu lagi buat proyekku...
Ini buat kamu... Rayza.
Aku langsung masuk ke kamar, mandi, terus mulai baca chat yang belum sempat kubalas. Teman-temanku kaget karena aku sempat "menghilang" meskipun baru sebentar.
Setelah ngobrol sebentar di grup, akhirnya kami sepakat buat makan malam bareng. Kurasa aku bisa ikut, meskipun berarti tiga cowok berbaju hitam itu bakal nempel terus. Tapi karena belum ada larangan buat keluar atau ketemu orang, ya kupikir nggak apa-apa. Aku bakal beneran jadi tahanan kalau sampai nggak boleh ke mana-mana dan ketemu siapa pun.
Setelah sempat lanjut sedikit ngerjain buku sketsaku, malam makin larut, dan karena nggak ada yang lebih penting buat dilakukan, aku mutusin tidur lebih awal.
…
Suara di luar rame banget...
Aku nggak tahu sekarang jam berapa, tapi sudah lewat tengah malam waktu aku kebangun gara-gara suara ribut. Kedengarannya kayak segerombolan orang masuk ke Rumah, dengan teriakan dan obrolan keras.
Nggak perlu jadi detektif buat tahu siapa itu. Sudah pasti Rayza dan teman-temannya. Para pacar, sepertinya dari suara-suara cempreng yang kedengeran dari luar. Kenapa sih mereka nggak bisa tenang sedikit aja?