Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Di ruang bawah tanah yang remang, pantulan dari proyektor memantulkan titik-titik merah pada meja kayu. Alexandra menatap layar ponselnya sampai pesan itu terkirim. Jari- jarinya menekan tombol sempurna, tanpa ragu, hanya suara klik kecil yang nyaris tak terdengar di antara dengung lampu.
Senyum tipis terbentuk di bibirnya. Bukan kebahagiaan; senyum itu adalah pengakuan tak berdosa atas sebuah pengorbanan yang perlu dilakukan. Ia menutup matanya sebentar, lalu membiarkan kata-kata itu mengalir di kepala. suara yang hanya ia sendiri dengar, dingin dan jernih.
(Maafkan aku, Amberlyn. Kali ini aku harus menggunakan adikmu sebagai kambing hitam. Bukan karena aku ingin mengkhianati mu, aku tidak pernah menginginkan itu. tapi aku butuh pion. Aku butuh waktu. Aku ingin hidup lebih lama lagi.)
Ia membuka mata, menatap kembali ke arah Amberlyn yang duduk tak jauh darinya. Sekilas menunggu reaksi yang mungkin tidak akan datang dalam bentuk protes. Alexandra tahu taruhan ini berbahaya;
ia tahu wajah yang akan menanggung kehancuran akan terlihat sangat mirip dengan wajah yang ia peluk beberapa kali di aula. Namun kepentingan itu tidak memberi ruang sentimentalitas.
Amberlyn hanya menoleh pelan dan menatap punggung Sahabatnya . Di bibirnya terukir senyum samar. bukan persetujuan penuh, melainkan kalkulasi baru yang lahir dari permainan lama.
(Aku memang tak punya kendali penuh atas Lyora untuk membalas dendam pada Apollo saat ini. Tapi setidaknya , aku punya pion kedua.)
batin Amberlyn, dan senyumnya mengeras menjadi sesuatu yang lebih dingin lagi. Pion tak hanya untuk ditaruh; pion bisa jadi umpan, pengalih, atau batu loncatan. Kita punya lebih dari satu cara menjatuhkan seorang kaisar.
Kedua perempuan itu duduk dalam diam berirama: Alexandra dengan penyesalan yang ia bungkus rapat menjadi alasan, dan
Amberlyn dengan keyakinan dingin bahwa korban terukur adalah jalan untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Di bawah meja, wadah kecil berisi peluru perak tersimpan rapat, bukti bahwa rencana sekarang sudah melewati tahap ancang-ancang.
...****************...
Mobil hitam Apollo berhenti tepat di depan mansion Dragunov. Mesin mobil masih bergetar pelan ketika Johan dan beberapa pengawal telah menunggu di bawah tangga batu yang tinggi itu.
Begitu pintu belakang terbuka, Apollo turun sambil menggendong Lyora dalam pelukan nya. Wanita itu tertidur pulas, kepalanya bersandar di dada Apollo, napasnya teratur, wajahnya tenang seperti jauh dari seluruh badai yang sedang mengepung kehidupan mereka.
Johan refleks melangkah maju, menawarkan tangan untuk membantu seperti biasa.Namun Apollo mengangkat telapak tangan, isyarat satu gerakan tegas dan pelan.
“Tidak perlu,” suaranya rendah tetapi tak terbantahkan.
Johan terhenti di tempatnya. Ada sesuatu yang berbeda malam ini. Biasanya Apollo selalu menyerahkan Lyora ke pelayan atau pengawal untuk dipindahkan ke kamarnya setiap kali wanita itu tertidur di perjalanan atau di ruang tamu. Tapi malam ini, pria itu bahkan tidak membiarkan siapapun menyentuhnya.
Apollo berjalan melewati anak buahnya. Suara langkah sepatunya terdengar tunggal dan menembus udara dingin foyer mansion itu. Semua pengawal otomatis menunduk memberi jalan.
Lyora sedikit mengeratkan jari di jas Apollo dalam tidurnya, seakan tubuh bawah sadarnya tahu hanya tempat itu yang aman. Apollo menyesuaikan dekapannya, seolah gerakan itu bukan beban, melainkan sesuatu yang harus ia jaga agar tidak jatuh lagi dari dunia yang rapuh.
Dan untuk beberapa detik itu… tidak ada yang berani bertanya apapun. Bahkan Johan.
Karena di malam itu, untuk pertama kalinya, Apollo terlihat membawa sesuatu yang tidak ingin ia lepaskan.
Eliot melangkah berdiri di sisi Johan. Sama- sama memandang punggung Apollo yang semakin menjauh, menghilang di balik belokan koridor dengan Lyora dalam gendong annya.
Mereka tak bicara beberapa detik.
Hening… tapi berat. Eliot akhirnya mendekat sedikit, menunduk tipis, membisikkan sesuatu di telinga Johan.
Johan membeku.
Matanya langsung membesar, shock… seperti baru saja mendengar kalimat yang bisa meruntuhkan reputasi satu dinasti.
Cut.
Ruang Arsip Dragunov Mansion. Beberapa menit kemudian. Rak-rak baja tinggi dan lembaran dokumen confidential memenuhi ruangan gelap itu. Hanya satu lampu putih redup yang menyala dari tengah langit-langit.
Eliot dan Johan kini sedang mengobrak-abrik arsip dengan panik sunyi yang tertahan. Mereka mencari satu benda kecil…Flashdisk berlapis obsidian.
“Bagaimana bisa kau seceroboh itu, Eliot?” desis Johan pelan tapi tajam, sambil membuka laci kotak file satu per satu.
“Flashdisk itu bukan data biasa. Itu berisi blueprint proyek paling tinggi di kalender Dragunov tahun ini. Ratusan miliar dollar. Kalau Bos tahu…” napas Johan sedikit berat, “…kita yang mati duluan.”
Eliot mengusap wajahnya sekali , stress.
“Aku menyimpannya di brankas internal,” jawab Eliot. “Tapi brankas itu… hilang. Seperti dipindahkan. Aku berharap benda itu hanya terselip. Bukan dicuri.”
Johan akhirnya menemukan sesuatu di pojok paling bawah rak besi, terselip nyaris tertutup folder tua dan kertas audit yang sudah kekuningan.
Brankas hitam obsidian ukuran kecil itu tampak sangat biasa, seperti seseorang sengaja menaruhnya seolah-olah “jatuh sendiri.” Seolah ingin menciptakan ilusi bahwa semua baik-baik saja.
Johan menghela napas panjang, rasa lega mulai kembali ke dadanya.“Aku bilang juga kan… pasti hanya ketumpuk dokumen lama,” gerutunya, lalu jongkok mengambil brankas tersebut.
Eliot mendekat dari sisi kanan, sedikit menunduk, menunggu Johan membuka. “Cepat. Kita setidaknya bisa selamat dari ini kalau kita menemukannya sebelum Bos sadar.”
Johan meraih kedua sisi brankas, menariknya keluar. Namun detik berikutnya… seluruh oksigen seperti hilang dari paru-parunya .Dia membeku.Brankas itu terbuka. Tapi bukan robekan kasar atau dicungkil paksa.
Pinggiran logam obsidiannya ada garis potong ultra-halus, tipis dan rata… seperti seseorang menggunakan laser industrial presisi, bukan alat rumah biasa. Itu bukan pembobolan. Itu operasi surgical.
Johan hampir menjatuhkan brankas itu. Ia menatap interior bagian dalam, kosong. Total.
Tidak ada flashdisk.Tidak ada chip cadangan.
Tidak ada file backup. Hanya kekosongan saja .
“…Eliot…” suara Johan serak, hampir hilang. Ia perlahan memutar brankas itu agar Eliot juga bisa melihat.
“Ini bukan dibuka manusia biasa.”
Eliot menatap bagian potong logam itu, dan seluruh wajahnya langsung memucat. Konsep bahwa seseorang bisa masuk sampai ke ruang arsip basement tanpa melewati sensor… itu sudah di luar logika mereka sehari-hari.
“Laser segmented cutting…” Eliot berbisik. “Kelas hitam. Ini tingkat operasi yang bahkan aku tidak bisa akses.”
Johan menatap lantai, jantungnya berdetak terlalu kencang, seperti menggedor tulang rusuknya dari dalam.
“…kita bukan sedang berhadapan pencuri biasa,” ucapnya pelan, suaranya terdengar seperti seseorang yang baru menyadari dirinya sudah terlambat menyelamatkan kapal karam.
“Ini tangan organisasi…” Johan mengangkat wajahnya perlahan.“…yang bahkan Dragunov Corp. sendiri tidak bisa deteksi.”
Eliot memejamkan mata.Jika Apollo tahu bahwa flashdisk inti “Frost Core Project” sudah hilang… nyawa mereka berdua mungkin bukan hanya taruhannya.
Ini sudah masuk kategori:perang internal sebelum perang eksternal dimulai.Dan mereka baru saja sadar di momen terlambat.
Johan menggenggam brankas yang kosong itu lebih erat, tangannya sedikit bergetar. Ia mengembuskan napas panjang sekali, seolah mencoba menstabilkan adrenalin.“…kita sudah terlambat, Eliot.”
Kalimat itu turun seperti vonis hukuman mati yang baru diketuk palu.