NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:796
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 02 Part 2

Pertanyaan itu menggantung di udara. Bunga tidak berteriak. Ia hanya bertanya dengan suara hancur, seakan ia benar-benar tidak bisa memproses fakta bahwa pahlawannya, kakaknya, adalah orang yang sama yang kini menjebaknya.

Arga memejamkan matanya sejenak, menghela napas panjang. "Bunga, dengerin Mas."

"Bunga udah denger!" potongnya. "Bunga denger Ayah 'menyerahkan' Bunga. Bunga denger Ibu dan Tante Ratih menentukan tanggal. Bunga nggak perlu denger apa-apa lagi."

"Dengerin Mas dulu," kata Arga, kali ini sedikit lebih tegas. Ia melangkah maju, membuat Bunga refleks mundur selangkah.

"Ayahmu menelepon Ayahku dua minggu lalu," Arga memulai penjelasannya. Suaranya rendah, seakan takut ada yang mendengar. "Beliau bilang kamu lolos di universitas itu. Beliau senang, tapi beliau juga panik. Beliau nggak akan pernah mengizinkanmu pergi ke kota besar itu sendirian. Nggak akan pernah."

"Bunga bisa nge-kost," bisik Bunga, mengulang argumennya yang gagal.

"Kamu tahu Ayahmu tidak akan menerima itu," jawab Arga. "Beliau bilang ke Ayahku, pilihannya dua: kamu batal kuliah di sana dan masuk universitas swasta di kota ini, atau... beliau akan mencarikanmu jodoh. Seseorang di kota itu yang bisa 'menjagamu'."

Mata Bunga membelalak. "Ayah beneran...?"

"Ayahmu sudah menghubungi dua atau tiga kenalannya di sana. Beliau serius mau menjodohkanmu dengan... orang asing. Anak dari rekan bisnisnya. Siapapun, asal bisa menikahimu dan 'mengawasimu'."

Bunga merasakan kakinya lemas. Ia merosot, duduk di bangku kayu panjang (amben) di teras itu. Jadi, bahkan jika bukan Arga, ia tetap akan dinikahkan?

Arga ikut duduk di sebelahnya, tapi menjaga jarak satu lengan penuh.

"Ayahku," lanjut Arga, "jelas tidak setuju dengan ide 'jodoh kilat' itu. Beliau tahu risikonya. Menikahkanmu dengan orang yang sama sekali tidak kamu kenal? Itu gila. Jadi... Ayahku mengusulkan namaku."

Bunga menatap Arga. "Dan Mas Arga... langsung setuju?"

"Mas menolak. Tentu saja Mas menolak," kata Arga cepat. "Mas bilang ke Ayah, itu ide konyol. Kamu itu adik Mas. Kamu masih 18 tahun. Kamu punya mimpi. Mas berdebat hebat dengan Ayah."

Hati Bunga sedikit menghangat. Jadi dia sempat menolak.

"Lalu kenapa...?"

"Karena Ayahmu keras kepala," kata Arga, frustrasi dalam suaranya terdengar jelas. "Ayahmu bilang, 'Kalau Arga tidak mau, saya akan pakai rencana awal saya. Saya akan terima tawaran dari Pak Handoko itu.' Ayahmu tidak main-main, Bunga."

Arga menoleh, menatap Bunga lurus-lurus. Intensitas tatapannya membuat Bunga menahan napas.

"Mas dihadapkan pada dua pilihan," jelas Arga. "Satu, Mas mundur dan membiarkanmu dinikahkan dengan orang asing pilihan Ayahmu. Entah orangnya seperti apa. Entah dia akan mengizinkanmu kuliah atau malah mengurungmu di rumah seperti yang kamu takutkan."

Ia berhenti sejenak, membiarkan skenario buruk itu meresap ke dalam pikiran Bunga.

"Dua," lanjutnya, "Mas maju. Mas yang menikahimu."

"Itu sama aja!" seru Bunga pelan. "Bunga tetap menikah!"

"Beda," kata Arga tegas. "Sangat beda. Kalau kamu menikah dengan orang lain, mimpimu selesai. Tapi kalau kamu menikah dengan Mas..."

Arga mencondongkan tubuhnya sedikit. "Bunga, Mas tahu kamu tidak punya perasaan apa-apa ke Mas selain sebagai adik. Mas juga... Mas juga menghormatimu seperti adik Mas sendiri. Mas tidak tertarik merusak itu."

"Terus... ini apa, Mas? Pernikahan main-main?"

"Bukan main-main," kata Arga. "Ini... anggap saja ini sebuah 'perjanjian'. Sebuah strategi."

Bunga mengernyit. "Strategi?"

"Ya. Kita akan menikah. Sah secara agama dan hukum. Itu akan menenangkan Ayahmu dan Ayahku. Itu akan memberimu 'izin' untuk berangkat ke kota dan tinggal di sana. Karena kamu akan tinggal 'bersama suamimu'."

Bunga masih tidak mengerti. "Tinggal bersama...?"

"Mas punya apartemen di sana. Ada dua kamar tidur," jelas Arga. "Kamu ambil satu kamar, Mas ambil satu kamar. Anggap saja Mas adalah 'teman kost' laki-lakimu. Atau anggap saja Mas adalah 'wali' resmi yang dititipkan Ayahmu."

"Tapi status kita... suami-istri?" bisik Bunga ngeri.

"Di atas kertas," tandas Arga. "Dengar, Bunga, Mas berjanji. Mas bersumpah. Di kota nanti, kamu bebas menjalani hidupmu. Kamu bebas kuliah, kamu mau ikut organisasi, kamu mau pulang malam karena kerja kelompok, Mas tidak akan melarang. Mas tidak akan ikut campur urusanmu. Dan Mas... Mas tidak akan pernah menyentuhmu. Tidak akan pernah menuntut hak Mas sebagai suami. Kamu tetap Bunga, dan Mas tetap Mas Arga."

Dunia Bunga berhenti berputar. Ia menatap Arga, mencari kebohongan di matanya. Tapi yang ia temukan hanya keseriusan.

"Itu... itu gila," desis Bunga. "Menikah tapi... tidak menikah?"

"Ini satu-satunya jalan agar kamu tetap bisa kuliah di universitas impianmu," kata Arga. "Satu-satunya. Ayahmu tidak akan membiarkanmu pergi dengan cara lain. Percaya sama Mas."

"Kenapa... kenapa Mas Arga mau melakukan ini?" tanya Bunga, pertanyaan yang paling penting. "Apa untungnya buat Mas? Mas Arga mengorbankan diri Mas sendiri. Mas Arga kan bisa menikah dengan perempuan yang Mas Arga cintai."

Arga terdiam lama. Pandangannya melembut. Ia mengalihkan pandangannya ke taman kecil di belakang rumah.

"Anggap saja... Mas sedang membayar hutang," katanya pelan.

"Hutang?"

"Ayahmu dulu sangat membantu keluarga Mas saat usaha Ayah hampir bangkrut. Kamu mungkin masih terlalu kecil untuk ingat," kata Arga. "Dan... Mas tidak bisa diam saja melihat mimpimu yang sudah di depan mata itu hancur hanya karena kekeraskepalaan orang tua kita."

Ia menoleh kembali pada Bunga. "Mas melakukan ini untukmu, Bunga. Untuk impianmu. Mas hanya 'meminjam' statusmu sementara."

"Sementara?"

"Sampai kamu lulus. Sampai kamu bisa mandiri," kata Arga. "Setelah itu... kita bisa bicarakan lagi. Mungkin kita bisa berpisah baik-baik. Yang penting, tujuan utamamu tercapai: kamu jadi sarjana arsitektur."

Bunga terdiam. Otaknya bekerja keras, memproses proposal yang luar biasa aneh ini.

Menikah dengan Mas Arga.

Tinggal serumah, tapi beda kamar.

Tetap kuliah seperti biasa.

Hidup seperti kakak-adik.

Lalu berpisah setelah lulus.

Ini adalah sebuah transaksi. Transaksi gila.

"Ini... ini persekongkolan yang lebih rumit lagi," bisik Bunga.

Arga tersenyum tipis. Senyum Mas Arga yang biasa. "Lebih tepatnya, ini 'jalan tengah'. Jalan tengah yang menyakitkan, tapi satu-satunya yang kita punya."

Bunga menatap cincin di jarinya. Benda itu kini terasa berbeda. Bukan lagi jangkar yang menenggelamkan. Tapi... borgol? Kunci? Ia tidak tahu.

"Jadi... Bunga nggak punya pilihan, kan?" tanyanya pasrah.

"Kamu punya pilihan," koreksi Arga. "Pilihan pertama: menolak ini semua, bertengkar hebat dengan Ayahmu, dan kehilangan universitas impianmu. Kamu akan kuliah di sini, di bawah pengawasan penuh."

"Pilihan kedua," lanjutnya, "kamu terima 'perjanjian' ini. Kamu menikah dengan Mas. Kamu dapat ijazahmu, kamu dapat gelar sarjanamu. Kamu bisa mengejar impianmu. Tapi... kamu harus terikat dengan Mas selama empat tahun ke depan."

Arga bangkit berdiri. "Pikirkan baik-baik. Mas nggak akan maksa kamu."

"Tapi Ayah akan maksa," kata Bunga pahit.

"Mas akan bicara pada mereka. Mas akan bilang... kamu butuh waktu untuk berpikir. Tapi kita tidak punya banyak waktu. Mereka ingin akadnya dua minggu lagi."

Arga berbalik, hendak kembali ke ruang tamu.

"Mas," panggil Bunga.

Arga berhenti.

"Apa... apa ini... benar-benar satu-satunya cara?"

Arga menatapnya lekat. "Menurutmu, apa ada cara lain untuk meluluhkan hati Ayahmu?"

Bunga terdiam. Ia tahu jawabannya. Tidak ada.

"Mas kembali ke depan. Mereka pasti mencari kita," kata Arga. Ia berjalan beberapa langkah, lalu berhenti lagi tanpa berbalik. "Bunga... maafkan Mas. Mas tahu ini tidak adil. Tapi Mas janji, Mas akan menjagamu. Termasuk... menjaga jarak darimu."

Arga pun menghilang di balik pintu dapur.

Bunga ditinggal sendirian di teras belakang. Ia kembali menatap cincin di jarinya. Benda itu berkilau di bawah cahaya lampu teras.

Ia tidak lagi merasa dikhianati oleh Arga. Ia merasa... mereka berdua baru saja dijebak dalam sebuah permainan rumit oleh orang tua mereka sendiri. Dan Arga baru saja menawarinya sebuah aliansi. Sebuah persekongkolan tandingan.

Ia menarik napas panjang. Pilihan yang mengerikan. Kehilangan mimpinya, atau menikah pura-pura dengan laki-laki yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri.

Ia tahu, jauh di lubuk hatinya, ia sudah membuat keputusan.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!