Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. kau tetap istriku.
Aroma harum kopi dan roti panggang kembali memenuhi ruang makan besar keluarga Biantara. Hanum sibuk menyiapkan beberapa sarapan lainnya, sementara Siska membaca koran dengan tenang. Abraham sudah duduk di kursi utama, kemeja putihnya rapi, dasi tergantung longgar di leher, menunggu sarapan yang baru saja diletakkan Hanum di hadapannya.
“Silakan, Tuan Abraham,” ucap Hanum lembut, lalu buru-buru menunduk. Abraham hanya mengangguk, mengambil sendok dan mulai makan tanpa banyak kata. Namun, di sudut matanya, ia sempat menangkap bayangan Hanum yang sedang mengusap dagu Kevin agar tidak belepotan dengan botol asi. Ada senyum kecil yang nyaris tak terlihat muncul di wajahnya, namun cepat ia sembunyikan. Suasana pagi itu terasa damai, hingga suara bel pintu besar mengisi ruangan.
Seorang pelayan masuk dengan sopan. “Nyonya, ada tamu bernama Rania. Dia mengatakan ingin bertemu Tuan Abraham.”
Hanum sontak menoleh, keningnya berkerut samar. Abraham menghentikan gerakan sendoknya, menegakkan tubuhnya, tatapannya dingin menatap pelayan. “Rania?” ulangnya lirih, seolah nama itu menyeretnya ke masa lalu. Tak lama, seorang wanita anggun masuk. Rambut hitamnya terurai sebahu, gaun sederhana tapi elegan membalut tubuhnya. Wajahnya cantik, dewasa, dengan senyum yang ramah namun ada kesedihan yang membayang.
“Bibi…” suara Rania bergetar pelan. “Aku baru saja kembali dari luar negeri. Baru semalam aku tahu kabar Alma … aku sungguh tidak menyangka. Aku datang untuk menyampaikan belasungkawa.”
Suasana meja makan sontak membeku. Hanum menunduk, menahan rasa asing yang menjalari dadanya. Nama Alma, wanita yang tak pernah ia kenal langsung, tapi begitu sering terdengar dalam rumah ini, kembali hadir di hadapannya. Alma, istri pertama Abraham.
Siska meletakkan korannya, tersenyum sopan. “Silakan duduk, Rania. Sudah lama sekali kau tidak datang ke rumah ini.”
Rania mengangguk, lalu menatap Abraham dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku benar-benar menyesal, Bian. Aku tahu, Alma sangat mencintaimu. Aku terlambat mendengar kabar duka ini. Andai saja aku ada di sini, mungkin aku bisa sedikit menghiburmu.”
Hanum merasakan sesak yang aneh di dadanya. Kata-kata itu, tentang cinta Alma pada Abraham, berputar di kepalanya. Dia berusaha tetap sibuk dengan Kevin, meski tangannya sedikit gemetar. Abraham menatap Rania tajam, dingin, tapi ada sesuatu yang berbeda di balik sorot matanya. “Belasungkawamu kuterima. Tapi Alma sudah tenang sekarang. Tidak ada yang bisa mengubah itu.” Suaranya mantap, meski dalam hatinya jelas masih ada luka lama yang menganga.
Rania menunduk, lalu menatap ke arah Hanum, seolah baru menyadari keberadaannya. “Oh … siapa dia?” tanyanya polos. Hanum spontan mendongak, tatapannya berpapasan dengan Rania. Bibirnya sempat terkatup, tak tahu harus menjawab apa. Siska yang mengambil alih, dengan senyum penuh arti.
“Dia Hanum, menantuku. Istri Abraham.”
Rania terperanjat. “Istri…?!” Ia menoleh cepat pada Abraham, matanya membesar tak percaya. “Bian, kau … sudah menikah lagi?”
Keheningan menelan ruang makan. Hanum merasakan jantungnya berdetak kencang. Abraham menegakkan tubuhnya, lalu meletakkan sendok dengan tenang.
“Ya,” jawabnya singkat, tapi tegas. “Hanum adalah istriku.”
Rania terdiam, wajahnya berubah antara kaget dan tak rela. Sementara Hanum hanya bisa menunduk, menahan segala perasaan yang bercampur aduk dalam dadanya.
Rania masih menatap Abraham dengan wajah yang sulit ditebak, seolah berita pernikahan itu menamparnya begitu keras. Dia menarik napas panjang, mencoba menyembunyikan keterkejutannya, namun getaran di suaranya tetap terdengar jelas.
“Cepat sekali, Bian…” gumamnya pelan. “Alma bahkan belum lama … pergi. Aku pikir, kau akan lebih lama sendiri.”
Hanum menunduk, seakan kata-kata itu ditujukan padanya. Siska mengamati suasana yang kian tegang, namun ia memilih diam, memberi ruang bagi Abraham untuk menjawab. Abraham menatap Rania, wajahnya dingin. “Aku tidak perlu menjelaskan pilihanku padamu, Ran. Semua sudah terjadi.”
Rania tersenyum getir. “Aku hanya terkejut. Kau tahu, dulu Alma sering bercerita tentangmu … betapa ia bangga memiliki suami sepertimu. Dia percaya kau adalah cinta seumur hidupnya. Aku tidak menyangka … tempat itu sudah diisi orang lain sekarang.”
Hanum merasakan perih menusuk dadanya, meski ia berusaha tegar. Jari-jarinya mengepal di bawah meja, tapi wajahnya tetap tertunduk sopan. Dia tahu dirinya bukan siapa-siapa dibanding Alma di mata orang-orang yang mengenalnya.
Kevin tiba-tiba membuang botol asi di tangannya. Hanum segera mendekat, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan sesaknya. Namun, Rania sempat melirik bayi itu, lalu kembali menatap Abraham dengan pandangan yang tak kalah menusuk.
“Bahkan … kau sudah punya anak lagi?” suara Rania terdengar setengah tidak percaya.
“Kevin anakku,” jawab Abraham datar, namun penuh penekanan. Rania terdiam, seolah menahan banyak hal di tenggorokannya. Dia memalingkan wajah, matanya berkaca-kaca. “Aku hanya ingin mengucapkan belasungkawa, Bian. Itu saja, mungkin … aku harus pergi sekarang.”
Siska akhirnya bersuara, mencoba menengahi. “Ran, tidak perlu terburu-buru. Setidaknya minumlah teh dulu. Kau datang jauh-jauh, jangan langsung pulang.”
Namun Rania menggeleng cepat. “Tidak, Tante Siska. Terima kasih. Aku … aku tidak sanggup berlama-lama di sini.”
Dia menatap Abraham sekali lagi, tatapannya dalam, penuh arti, lalu beranjak pergi. Langkahnya meninggalkan ruang makan terdengar berat, seperti menyimpan beban yang tak tersampaikan. Hanum masih menunduk, menahan segala perasaan yang bercampur aduk. Baru setelah pintu tertutup, ia menghela napas panjang tanpa suara.
Abraham duduk tegak, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Tapi sorot matanya berbeda, ada bayangan masa lalu yang kembali menghantui. Hanum tahu, Alma belum sepenuhnya pergi dari rumah ini.
"Kau fokus aja sama anak kita. tidak perlu memikirkan apapun itu ucapan orang lain. Apa yang orang lain katakan kadang tidak sama dengan apa yang aku pikirkan," kata Abraham, lalu pergi meninggalkan meja makan. Hanum menoleh lalu tersenyum singkat setelah mendengar ucapan Abraham barusan.
Hanum.bisa loh nakhlukin ranio
waspada Abraham
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏