NovelToon NovelToon
MENIKAHI ANAK BOS ANEH

MENIKAHI ANAK BOS ANEH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:828
Nilai: 5
Nama Author: Tri 2001

Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keputusan yang Tak Terduga

Pagi itu, rumah Pak Samingan terasa agak beda. Udara masih sama sejuknya, tapi entah kenapa suasananya seperti ada sesuatu yang “akan terjadi”.

Bu Wiji mondar-mandir dari ruang tamu ke dapur, wajahnya serius tapi sesekali senyum sendiri.

Mbok Jum yang lagi nyapu aja sampai heran.

“Lho, Bu Wiji, kok ndelok ibu senyum-senyum koyok wong ngerencana’ne prank?”

Bu Wiji ngakak kecil. “Hehehe, yo mungkin iya, Mbok. Tapi prank yang penuh berkah, insyaAllah.”

Mbok Jum ikut nyengir, “Wah, iki mesti enek hubungane karo Mas Arifbol maneh, yo?”

Bu Wiji ngangguk pelan. “Iyo. Hari iki waktune ngomong langsung neng bocah loro kuwi — Rara lan Fitri.”

Sekitar jam sepuluh, Rara datang lebih dulu. Bajunya sederhana, cuma kemeja putih dan rok hitam. Tapi senyumnya selalu menenangkan.

“Assalamualaikum, Bu.”

“Waalaikumsalam, Ra. Mampir, disek. Ibu wis nyiapne teh manis, anget-anget.”

Beberapa menit kemudian, suara motor Fitri terdengar. “Brummm!” — khas banget, knalpotnya sedikit cempreng.

“Assalamualaikum, Bu Wiji! Maaf telat!”

“Waalaikumsalam. Ora popo, Fit. Lengkap wes saiki.”

Rara dan Fitri saling pandang, saling senyum tapi juga kaku.

Bu Wiji bisa ngerasain hawa aneh di antara mereka — bukan permusuhan, tapi semacam persaingan yang ditahan halus.

Pak Samingan muncul dari ruang kerja, duduk di kursi tamu besar, bawa map kecil warna cokelat.

“bocah loro, kowe loro tak celuk mergo enek hal penting sing kudu dibahas.”

Rara langsung duduk tegak, Fitri juga ikut serius.

Pak Samingan mulai bicara dengan suara berat tapi lembut.

“Aku sama ibumu Arifbol wis mikir matang. Kita wis ndelok kowe loro beberapa minggu terakhir ini. Jujur, aku lan ibu ora bisa milih salah siji.”

Rara langsung melirik ke Bu Wiji. “Lho, maksude, Pak?”

Fitri juga bingung. “Iya, Pak… ora bisa milih piye?”

Bu Wiji menatap mereka bergantian, matanya teduh tapi mantap.

“Rara, Fitri… kowe loro kuwi tulus. Beda, tapi sama-sama sayang karo Arifbol. Gusti ndelok ketulusanmu, ibu juga.”

Rara mulai canggung, Fitri menggigit bibir.

“Terus, Bu… njenengan pengin piye?”

Pak Samingan menarik napas panjang.

“Kami wis sepakat. Nek Gusti ngijinkan, kami pengin kalian berdua menikah dengan Arifbol.”

Hening.

Suara kipas angin terdengar jelas, bahkan suara ayam tetangga pun seakan berhenti berkokok.

Rara dan Fitri sama-sama melongo, saling pandang.

“Lho, Pak… maksudnya… berdua?!” tanya Fitri dengan nada campur kaget dan bingung.

“Iyo, Le. Berdua,” jawab Bu Wiji mantap.

Rara refleks berdiri. “Bu, Pak… tapi iku ora mungkin. Aku ora pengin rebutan lan ora pengin nyakiti sopo wae.”

Fitri langsung ikut berdiri. “Aku yo, Bu! Aku… aku pengin Mas Arifbol bahagia, tapi nek berdua, aku malah bingung.”

Pak Samingan tersenyum pelan, nada suaranya sabar.

“Denger disek ndok. Kami ora maksa. Tapi kami yakin, Arifbol butuh dua hal sing ora bisa dikasih wong siji wae.”

Rara pelan-pelan duduk lagi. “Maksudnya piye, Pak?”

“Dia butuh ketenangan — yang ada di dirimu, Rara. Tapi dia juga butuh semangat — yang ada di dirimu, Fitri. Dua-duanya penting buat kesembuhannya.”

Fitri langsung terdiam. Rara nunduk.

Bu Wiji melanjutkan dengan nada lembut.

“Aku ngerti, iki ora gampang. Tapi nek kalian bener-bener sayang sama Arifbol, pikirno dengan hati, bukan gengsi.”

Suasana jadi hening lagi.

Hanya terdengar suara detik jam dinding berdetak pelan.

Rara menggenggam ujung jilbabnya, matanya berkaca-kaca.

“Bu… Pak… aku ngerti niat njenengan apik. Tapi nikah iku sakral. Aku… aku pengin yakin nek Mas Bol bener-bener setuju.”

Fitri menimpali pelan, “Iyo, Bu. Aku juga mikir ngono. Nek Mas Bol setuju, Fitri siap nerimo apa wae, tapi… aku ora pengin maksa.”

Pak Samingan mengangguk pelan.

“Bagus. Iki sing aku harapno. Kowe loro dewasa. Ora usah jawab saiki. Tak kasih waktu sampe malam minggu iki. Pikirno tenanan.”

Selesai pembicaraan itu, suasana ruang tamu masih sunyi.

Rara dan Fitri pamit bersamaan, tapi langkah mereka terasa berat.

Begitu di luar pagar, mereka berhenti.

“Fit…” panggil Rara pelan.

“Hmm?”

“Kowe ngerti, kan? Aku ora pernah nganggep kowe musuh.”

Fitri menatap Rara dengan mata berair. “Iyo, Ra. Aku ngerti. Aku malah kaget, ternyata kita bisa senasib gini.”

Keduanya tertawa kecil — tawa yang aneh, antara sedih dan lega.

“Mungkin Gusti pengin nguji ati kita, Fit,” ucap Rara pelan.

“Iyo, Ra. Tapi nek bener Gusti milih awak dhewe, aku pengin tetep rukun karo kowe. Ora rebutan.”

Rara tersenyum. “Deal. Nek pun kudu bareng, kudu dengan niat tulus. Ora ada dendam, ora ada iri.”

Mereka saling jabat tangan, dan untuk pertama kalinya, dua perempuan yang tadinya bersaing itu justru merasa dekat sebagai saudara sesama pejuang cinta.

Sementara itu di dalam rumah, Bu Wiji duduk di kursi ruang tamu sambil elus dada.

“Sam, kowe yakin karo keputusan iki?”

“Yakin, Ji. Aku ngerti iki ora umum, tapi aku ngrasakke iki cara paling adil. Loro-lorone tulus, ora pantes salah siji disisihno.”

Bu Wiji menatap langit-langit rumah. “Semoga Gusti bener-bener nuntun semuanya. Aku ora pengin keputusan iki malah nyakitno sopo wae.”

Pak Samingan manggut. “Tenang, Ji. Gusti sing ngatur. Kita cuma niat adil.”

Sore itu, Arifbol keluar kamar, udah lebih segar.

Dia belum tahu apa yang terjadi.

“Bu, kok aku ngrasa suasanane beda ya? Rara sama Fitri barusan di sini, to?”

Bu Wiji senyum misterius.

“Iya, Le. Tadi ibu sama bapak ngomong hal penting ke mereka.”

Arifbol heran. “Hal penting opo, Bu?”

Bu Wiji tersenyum lembut. “Sabar, Le. Ibu pengin kowe denger langsung nanti pas mereka berdua datang lagi. Biar semuanya jelas bareng-bareng.”

Arifbol menatap ibunya bingung, tapi ia hanya tersenyum kecil.

“Yo wes, Bu. Aku manut. Tapi rasane kok deg-degan, yo.”

Bu Wiji tertawa pelan, “Hehehe, wong namanya hidup, Le. Kadang deg-degan itu tandane hatimu lagi diuji.”

Malamnya, Rara di kontrakan. Duduk di depan kaca, tatapannya kosong.

Andika, adiknya, nyeletuk dari dapur,

“Mbakyu, kok meneng ae? Mikir opo?”

Rara nyengir lesu. “Mikir hidup, Dik. Mikir takdir.”

Andika cengar-cengir. “Lho, mikir takdir opo mikir Mas Arifbol?”

Rara langsung nyubit pipinya. “Kowe iki yo, Dik. Lambemu koyok radio rusak!”

Andika ketawa, tapi habis itu nanya serius,

“Tapi Mbak, nek Mbak emang sayang tenanan, yo berjuang ae. Tapi lak sampean ngeroso ora kuat, ojo mbok pekso.”

Rara menatap adiknya, senyum kecil.

“Kowe pinter tenan, Dik. Kadang bocah cilik malah ngomonge ngena banget.”

Di sisi lain, Fitri di kamarnya juga termenung.

Ibunya, Mbok Jum, datang bawa susu hangat.

“Nduk, ngapain bengong?”

“Mikir, Mbok. Bu Wiji tadi ngomong aneh. Katanya aku sama Rara disuruh mikir soal nikah… tapi bareng Mas Arifbol.”

Mbok Jum kaget sampai hampir tumpahin susu.

“Haa? Bareng?! Wah, iki kok koyok sinetron kolosal.”

Fitri nyengir. “Aku yo kaget, Mbok. Tapi Bu Wiji ngomong kami berdua tulus. Aku ora ngerti kudu seneng opo bingung.”

Mbok Jum menatap anaknya dengan bijak.

“Fit, nek ati bener-bener tulus, Gusti sing bakal milih. Kadang pilihan sing ora umum iku malah paling jujur.”

Fitri diam lama, lalu berkata lirih,

“Mbok… nek Gusti milih aku, aku bakal jaga Mas Arifbol sepenuh hati. Tapi nek bukan aku, aku rela. Aku cuma pengin dia sehat.”

Mbok Jum menatap anaknya, tersenyum bangga.

“Nah, kui sing jenenge cinta sejati, ndok.”

Malam itu, di tempat berbeda, Rara, Fitri, dan Arifbol sama-sama nggak bisa tidur.

Langit Nganjuk terang banget, bintang bertaburan.

Tiga hati sedang diuji — bukan cuma oleh cinta, tapi oleh takdir yang mungkin lebih besar dari sekadar perasaan.

“Ya Allah,” bisik Rara.

“Ya Allah,” bisik Fitri.

“Ya Allah,” bisik Arifbol.

Dan entah kenapa, malam itu angin berhembus pelan, seperti membawa doa mereka ke langit yang sama.

Malam minggu tiba. Udara di halaman rumah Pak Samingan berembun tipis.

Lampu teras menyala temaram, dan kursi tamu sudah disusun rapi di ruang tengah.

Bu Wiji sibuk memastikan semuanya siap, sementara Pak Samingan duduk tenang di kursi besar, pegang tasbih, mulutnya komat-kamit pelan.

“Wiji, kabeh wis siap?”

“Wis, Sam. Tinggal nunggu anak-anak teko.”

Suara motor pelan terdengar dari depan.

“Brumm…”

Itu Fitri, datang dengan gaya khasnya — bawa tas kecil dan rambut dikuncir dua, kelihatan gugup tapi nekat.

Tak lama, motor kedua datang. Rara turun, bawa map kecil dan senyum ragu.

“Assalamualaikum,” ucap Rara pelan.

“Waalaikumsalam,” jawab Bu Wiji, menatap dua gadis itu dengan tatapan penuh kasih tapi juga tegas.

Arifbol muncul dari kamar, masih mengenakan kemeja biru muda dan celana panjang hitam.

Ia terlihat lebih sehat dari minggu sebelumnya, wajahnya mulai cerah.

Tapi saat melihat Rara dan Fitri duduk berdampingan, ekspresinya langsung bingung.

“Lho, kok rame iki, Bu? Enek opo?”

Bu Wiji tersenyum pelan. “Duduk, Le. Ibu karo bapak pengin ngomong sesuatu. Penting.”

Suasana hening beberapa detik.

Rara menunduk, Fitri menatap meja, Arifbol mengernyit, jelas merasa aneh.

Pak Samingan menatap semuanya bergantian, lalu mulai bicara dengan nada berat tapi tenang.

“Arifbol, bapak ora bakal muter-muter. Koee ngerti, Rara lan Fitri loro-lorone sayang karo awakmu. Lan kowe, meskipun ora ngomong langsung, bapak ngerti awakmu barang nduwe roso khusus kanggo mereka berdua.”

Arifbol langsung menegakkan badan. “Lho, Pak… aku…”

Tapi Bu Wiji mengangkat tangan, menyela lembut.

“Ora usah menyangkal, Le. Ibu ngerti. Kamu perhatian banget ke Rara, tapi kamu juga nggak pernah tega lihat Fitri sedih. Kami orang tuamu, ngerti bedane rasa kasihan lan rasa cinta.”

Rara dan Fitri mulai salah tingkah.

Arifbol memegang lututnya, jelas gugup.

“Terus, maksude opo, Bu?”

Pak Samingan menatapnya dalam-dalam.

“Maksudnya, kami wis mikir. Kami pengin kamu nikah — tapi bukan cuma karo siji.”

Arifbol langsung terdiam.

Rara membeku.

Fitri menutup mulut, hampir tersedak udara.

“Lho, Pak?! Maksude... dua-duane?!” seru Arifbol tak percaya.

Pak Samingan mengangguk pelan.

“Iyo. Kowe bakal dinikahno karo Rara lan Fitri. Ora mekso, tapi iki keputusan sing bapak lan ibu roso paling adil.”

Suasana langsung tegang.

Bahkan jangkrik di luar pun kayak berhenti bunyi.

Bu Wiji cuma menatap mereka semua dengan tatapan sabar, tapi jelas sudah mantap.

Rara yang pertama bicara, suaranya gemetar tapi tegas.

“Bu, Pak… aku ngerti niat njenengan apik. Tapi iki berat. Aku ora pengin dadi sebab orang lain sakit hati.”

Fitri menimpali pelan.

“Aku yo ngrasakke hal sing sama, Bu. Aku ora kepikiran bakal berbagi suami. Tapi aku ngerti… mungkin Gusti duwe maksud di balik iki.”

Arifbol akhirnya bicara.

“Bu, Pak, aku… aku ora ngerti kudu ngomong opo. Aku sayang karo Rara. Tapi aku juga ora bisa mungkir, Fitri yo selalu ada waktu aku lagi drop. Tapi nek nikah bareng…”

Ia menatap keduanya dengan mata berkaca-kaca.

“Aku takut malah nyakiti dua-duanya.”

Bu Wiji tersenyum lembut.

“Le, cinta sing bener ora selalu gampang. Tapi kadang keikhlasan malah jadi obat buat hati sing luka. Rara lan Fitri iku gadis tulus. Kami ora maksa, tapi pengin kalian bertiga mikir bareng — tenanan.”

Pak Samingan berdiri, menepuk bahu Arifbol.

“Iki keputusan besar. Tapi bapak yakin, kowe bisa njaga keadilan nek Gusti ngijinkan. Tapi nek ora siap, ojo dipaksa.”

Rara pelan-pelan berdiri. “Pak, Bu… aku boleh ngomong?”

“Monggo, Ra,” kata Pak Samingan.

Rara menatap semua dengan air mata menetes halus.

“Aku sayang Mas Arifbol. Tapi aku juga ngerti Fitri sayang dia sama tulusnya. Aku ora pengin rebutan. Aku cuma pengin Mas Bol sembuh, tenang, lan bahagia.”

Fitri menggenggam tangan Rara, ikut menangis.

“Aku juga, Ra. Aku pengin yang terbaik buat dia. Nek memang jalan ini yang harus ditempuh, aku pasrah. Tapi nek ternyata bukan, aku rela mundur.”

Semua diam.

Bu Wiji terharu, matanya berkaca-kaca.

“Iki lho, Sam… alasan kenapa aku pengin mereka berdua. Dua-duanya ngerti arti tulus.”

Pak Samingan mengangguk pelan. “Bener, Ji. Cinta sing ora egois kuwi langka.”

Arifbol akhirnya berdiri, menatap dua gadis itu.

“Aku ora pantes dibanding mereka. Tapi aku janji, aku ora bakal main-main. Aku butuh waktu mikir. Tapi satu hal: aku beruntung punya dua perempuan hebat seperti kalian.”

Rara tersenyum di sela air matanya.

Fitri juga ikut tertawa kecil.

“Mas Bol, nek njenengan ngomongnya gitu, malah tambah bingung kabeh,” goda Fitri sambil ngusap matanya.

“Hehehe, iya, Fit. Tapi ya gimana, aku juga bingung,” balas Arifbol sambil garuk kepala.

Ruang tamu yang tegang tadi pelan-pelan mencair.

Bu Wiji akhirnya berdiri, membawa nampan teh hangat.

“Wis, minum sek kabeh. Opo wae keputusanmu engko, sing penting disepakati dengan hati tenang, ora karena paksaan.”

Mereka bertiga menyeruput teh bareng.

Rara memandangi uap hangat di gelasnya, Fitri menatap lampu gantung, Arifbol menunduk lama — seakan masing-masing sedang berbicara dengan hatinya sendiri.

Beberapa jam kemudian, setelah pembicaraan selesai, Rara dan Fitri pamit pulang bareng.

Udara malam terasa damai tapi penuh tanda tanya.

Di depan pagar rumah, Rara berkata pelan,

“Fit, apa pun hasilnya nanti, aku pengin kita tetap rukun.”

“Iyo, Ra. Aku malah seneng kowe ngomong ngono. Aku wis nganggep kowe koyok dulur.”

“Aku juga, Fit.”

Mereka saling peluk sebentar — bukan karena kalah atau menang, tapi karena mereka berdua akhirnya mengerti: cinta bukan selalu tentang memiliki.

Di dalam rumah, Bu Wiji duduk di samping Pak Samingan.

“Sam, nek Gusti ngijinkan, semoga anak-anak iki bisa nemu jalan paling baik.”

“Amin, Ji. Tapi aku percaya, Gusti ora bakal ngerusak niat tulus.”

Arifbol dari kamar menatap langit lewat jendela.

“Ya Allah… nek memang ini jalan-Mu, tuntun aku supaya bisa adil. Tapi nek ora, tolong tunjukno jalan sing paling bener.”

Sementara itu, di jalanan gelap yang diterangi lampu motor mereka, Rara dan Fitri melaju pelan.

Suara angin malam berdesir lembut.

Tak ada kata lagi, hanya hati yang diam-diam berdoa.

“Semoga Mas Arifbol nemu jawabannya. Semoga semua baik-baik saja.”

Dan di langit Nganjuk malam itu, bulan bundar bersinar terang — seolah ikut menyaksikan perjalanan cinta tiga hati yang sedang diuji oleh takdir.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!