Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
Sebuah mobil terparkir apik di pelataran rumah, menimbulkan suara decit lembut saat rem tangan ditarik.
Pintu sisi pengemudi terbuka perlahan, menampakkan sosok Hendra yang segera turun dengan langkah mantap namun wajahnya tampak sedikit letih. Ia merapikan kemeja yang sedikit kusut karena perjalanan panjang, lalu menghela napas dalam-dalam sebelum menutup pintu mobil dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi keras.
Suasana sore itu terasa hangat, angin berembus pelan membawa aroma bunga melati dari taman kecil di samping teras. Hendra sempat melirik ke arah pintu rumah yang setengah terbuka. Tak butuh waktu lama, seorang wanita muncul dari balik pintu—Hilda, istrinya.
"Assalamu'alaikum, Ma." Kata Hendra sambil melangkah masuk ke dalam rumah saat pintu dibuka lebih lebar. "Angga, mana?"
"Waalaikumsalam, Pa. Angga katanya hari ini pulang sedikit terlambat."
"Selalu beralasan pulang terlambat. Sedikit!" Nada Hendra pelan, namun penuh penekanan.
Hilda menghembuskan napas pelan sambil meraih jas Hendra yang masih melekat di bahunya. Dengan gerakan lembut, ia melampirkannya di lengannya sendiri, seolah sudah menjadi kebiasaan kecil yang selalu ia lakukan setiap kali suaminya pulang.
Tanpa banyak kata, keduanya menerobos masuk ke ruang tamu yang tenang. Cahaya sore menembus tirai tipis, memantulkan warna keemasan di permukaan lantai marmer.
Mereka kemudian duduk berdampingan di badan sofa berwarna krem yang empuk. Hendra sedikit menyandarkan punggungnya, sementara Hilda menatapnya sesaat, mencoba membaca raut wajah sang suami.
"Pa, Airlangga itu butuh waktu buat refreshing."
Hendra menggeleng. "Itu alasan kenapa dia tidak pernah dewasa. Sebab, Mama selalu manjain dia."
Hilda setengah tertunduk. Ia membenam bibirnya sendiri seolah menyesali apa yang baru saja tadi ia katakan.
"Di usianya sekarang, Angga seharusnya mulai memikirkan langkah panjang untuk masa depannya!" Sambung Hendra. Matanya berpaling menatap langit-langit ruang tamu dengan sorot mata kosong. "Papa berhasil menemukan Amira."
Hilda berpaling. Mendengar nama itu disebut, wajahnya seketika beku nyaris tanpa ekspresi, seakan menyimpan sesuatu yang sulit diketahui. "Lalu?"
"Amira Papa temukan dalam kondisi yang sehat. Dia cantik."
"Bukan itu, Pa." Geleng Hilda. "Papa masih dengan pendirian Papa buat ajak dia tinggal bersama kita?"
Hendra menoleh, menatap Hilda dengan tatapan yang sulit dibaca—dan tepat di saat itu, Hilda berpaling, menghindari sorot matanya. "Ma, Renaldi itu orang yang sudah menyelamatkan kehidupan kita. Dia bahkan rela berkorban nyawa hanya demi membuat kehidupan kita tetap stabil. Dia kehilangan segalanya. Harta, istri, bahkan dirinya sendiri. Itu semua untuk apa? Dan, perusahaan-perusahaan yang Papa pegang sekarang berhasil kalau bukan karena dia, Ma." Bebernya. "Dan, Papa sangat ... sangat berhutang budi padanya. Amira, sudah Papa anggap sebagai anak Papa yang selama ini hilang."
Hilda hanya mengangguk, jemarinya menyibak poni gelombang yang sempat jatuh menutupi wajahnya. "Alasannya selalu sama." Katanya sambil beranjak dari sofa. "Mama sudah bosan mendengarnya."
Hendra ikut beranjak. "Tapi itu kenyataannya, Ma. Dan, keputusan Papa tidak akan pernah berubah!"
Hilda berpaling lagi sesaat sorot tajam mata Hendra menguncinya.
"Papa akan bawa Amira kemari dan tinggal bersama kita menjadi bagian dari keluarga kita apapun caranya!" Ucap HEndra tegas, suaranya sedikit meninggi.
Hilda menggeleng pelan, seolah ingin mengelak. Tatapannya berpaling, menolak menanggapi kata-kata suaminya, namun sorot matanya tak mampu menyembunyikan kegelisahan yang mulai menguasai hatinya.
"Papa harap, Mama setuju dengan keputusan Papa." Lanjut Hendra selangkah lebih dekat ke istrinya.
Sementara, Hilda tetap diam, hanya menunduk menatap lantai marmer yang hangat, kini seakan dingin membeku. Hendra berdiri tegak di hadapannya, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar dari bibirnya.
****
"Ayah…” Lirih Amira, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan kamar. Pandangannya tertuju pada figura foto yang terpajang di atas meja kecil di sudut ruangan—foto dirinya bersama Ayah dan Ibu.
Rindu pada sang Ibu perlahan menyusup di dadanya, namun matanya berhenti pada wajah Ayah di dalam foto itu. Tatapannya terdiam, seolah sedang berbicara pada sosok yang tak lagi bisa ia sentuh.
Pikirannya kini tak lagi dipenuhi bayangan tentang Satria. Ia ingat saat-saat kebersamaannya dengan Ayah—masa kecil yang terasa hangat dan sederhana. Bayangan itu muncul begitu jelas di kepalanya.
Ia masih bisa mengingat suara tawa Ayah yang renyah, juga cara Ayah menepuk lembut pundaknya setiap kali ia menangis karena lututnya tergores saat belajar bersepeda. Semua itu terasa begitu dekat, seolah waktu tidak pernah benar-benar memisahkan mereka.
Kini. Tak ada seorangpun yang mengusap air matanya, melenyapkan kesedihan tentang luka arti sebuah kehilangan. Kenangan itu seakan datang bagai potongan gambar yang berkelebat, membawa rasa hangat sekaligus perih yang menyelinap di dadanya.
"Aku rindu Ayah."
****