Sejak kematian ayahnya yang misterius, Elina diam-diam menyimpan dendam. Saat Evan—teman lama sang ayah—mengungkapkan bahwa pelakunya berasal dari kepolisian, Elina memutuskan menjadi polisi. Di balik ketenangannya, ia menjalankan misi berbahaya untuk mencari kebenaran, hingga menyadari bahwa pengkhianat ada di lingkungan terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Elite beracun
"Dek, anak sekolah dilarang masuk ke sini," ledek Bayu begitu Valencia melangkah masuk ke ruangan dengan seragam SMA-nya yang rapi.
Valencia memutar bola matanya malas. Ia sudah bisa menebak bakal diledek seperti ini.
"Sumpah, Val, lo masih cocok banget jadi anak SMA," sahut Cakra menimpali dengan senyum jahil.
"Please deh, jangan ledekin gue mulu," gerutu Valencia sambil duduk di kursinya. "Pak Andra udah datang belum?"
"Sudah," jawab Bayu santai. "Katanya lagi ngurus sesuatu sama senior."
Valencia hanya mengangguk sebagai respons.
Krek!
Suara pintu terbuka. Alaric muncul dengan wajah datar, menatap sekilas ke arah Valencia. Namun di balik pandangan singkat itu, ada rasa panas yang tiba-tiba menyelinap ke dadanya—terbayang lagi momen Valencia berpelukan dengan seseorang. Entah kenapa hal itu mengusik hatinya. Seketika suasana ruangan menjadi hening.
"Valencia, ikut ke ruangan saya," ucap Pak Andra singkat, berdiri di depan pintu ruangannya sebelum berbalik masuk.
Valencia segera berdiri, menegakkan tubuh, lalu mengikuti langkah seniornya itu.
Di dalam ruangan, Andra duduk di balik meja penuh berkas. Tatapannya sempat naik ke arah Valencia sebelum bibirnya melengkung tipis.
"Saya tidak salah pilih orang," ujarnya tenang.
Valencia hanya membalas dengan senyum tipis tanpa banyak bicara.
"Hari ini kamu resmi masuk ke sekolah Sakura Academy sebagai murid baru," jelas Andra sambil menyerahkan map berisi dokumen. "Identitas kamu di sana adalah Liliana, biasa dipanggil Lili.”
Valencia menerima berkas itu dengan ekspresi serius.
“Saya sudah urus semuanya. Tugasmu sederhana—selesaikan misi ini dengan cepat dan bersih.”
“Siap, Komandan,” jawab Valencia mantap.
Andra menatapnya lekat, lalu menambahkan dengan nada lebih berat, “Dan kamu harus…”
•●•
Di depan gerbang besar yang bergaya klasik-modern, Valencia turun dari mobilnya. Tatapannya tajam menyapu bangunan megah di hadapannya.
Sekolah elit... tapi kenapa barang haram bisa beredar di tempat seperti ini? gumamnya dalam hati.
Langkahnya baru beberapa meter ketika seorang satpam menghampiri.
“Kamu murid baru, ya?” tanyanya ramah.
Valencia mengangguk ringan. “Iya, Pak,” jawabnya sopan. Dalam hati, ia hampir mendesah — bersikap manis begini bukan gayanya, tapi ucapan Andra terngiang jelas di kepalanya:
‘Kamu harus ramah. Jangan tunjukkan wajah datarmu, Valencia.’
“Pantas saya baru lihat kamu,” kata satpam itu lagi, menatapnya dari ujung kepala sampai sepatu.
“Kalau begitu, saya duluan, Pak.”
“Iya, silakan.”
Valencia melangkah masuk ke halaman sekolah. Bangunan-bangunan di dalamnya berdiri anggun, berlapis kaca dan bata abu modern, namun suasana sunyi — sepertinya jam pelajaran sudah dimulai. Ia menatap ke sekeliling, mencari petunjuk arah ke ruang kepala sekolah.
Baru beberapa langkah, suara berat memanggilnya,
“Hey, kamu… berhenti sebentar.”
Valencia menoleh. Seorang laki-laki dengan almamater biru khas sekolah dan kacamata berbingkai tipis menghampirinya. Tatapannya menyapu Valencia dari atas ke bawah sebelum akhirnya bertanya,
“Lo murid baru?"
“Iya,” jawab Valencia singkat, matanya sekilas menangkap nama di dada seragam laki-laki itu: Elvano Bagaskara.
“Kamu cari ruang kepala sekolah, ya?”
Valencia mengangguk.
“Lo salah arah. Harusnya belok kanan, terus kiri sedikit. Di sana lo bakal lihat papan nama ruang kepala sekolah,” jelas Elvano ramah.
Valencia mengangguk pelan. “Makasih. Gue ke sana dulu, ya.”
Elvano membalas dengan anggukan sopan, sementara Valencia berbalik, melangkah ke arah yang ditunjukkan — tanpa sadar, Elvano masih menatap punggungnya sampai ia menghilang di tikungan.
•●•
Sesampainya di depan ruangan kepala sekolah, Valencia mengetuk pintu pelan.
Tak lama kemudian, seorang pria berwibawa dengan jas abu tua membukakan pintu.
“Detektif Valencia,” ucapnya dengan suara berat namun tenang.
Valencia mengangguk singkat. Kepala sekolah itu—Pak Dimas—mempersilakannya masuk. Ruangan itu terasa rapi dan beraroma kopi, penuh tumpukan berkas di atas meja kayu besar.
“Saya sudah diberi kabar oleh Pak Andra,” ucap Dimas sambil duduk. “Beliau mengatakan Anda akan menyamar di sekolah ini untuk menyelidiki kasus yang belum terselesaikan. Saya rasa Anda sudah tahu kasus apa yang saya maksud.”
Valencia menatapnya dengan ekspresi datar. “Iya, Pak. Tentang peredaran narkoba di kalangan siswa.”
Dimas mengangguk perlahan. “Kasus ini sempat saya hentikan seminggu lalu atas saran Pak Andra—agar pelakunya merasa aman dan tidak curiga. Anda paham maksudnya, bukan?”
“Sangat paham.”
“Baik.” Dimas bangkit dari kursinya. “Sekarang, saya akan antar Anda ke kelas XII A. Kelas itu dikenal paling berprestasi… tapi juga paling ambisius.”
Ia berhenti sejenak, menatap Valencia. “Dan nama samaran Anda—Lili, bukan?”
Valencia mengangguk lagi. “Iya, Pak.”
“Semoga Anda bisa menuntaskan kasus ini secepatnya,” ujar Dimas dengan nada berat. “Saya tidak ingin nama Sakura Academy tercoreng lebih dalam lagi.”
Valencia menatap lurus ke depan. “Saya akan lakukan yang terbaik, Pak.”