NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Aku Ingin Pulang

Gadis itu duduk bersimpuh di atas sajadah, sementara kedua tangannya menegadah ke atas langit, bermunajat memohon pada satu-satunya tempat untuk kembali dari dunia yang sangat melelahkan ini.

Cahaya lampu yang redup membentuk bayangan dirinya di dinding. Air matanya telur mengalir, menggambarkan betapa besar rasa sedihnya saat ini. 

Dengan suara lirihnya yang memilukan hati, ia pun mulai berbisik pada Sang Maha Kasih.

"Ya Allah ... apakah aku begitu hina hingga tak layak dicintai? Apakah aku begitu buruk hingga tak seorang pun ingin tinggal di sisiku? Tak banyak pintaku, Ya Allah. Aku hanya ingin seseorang yang bisa menguatkanku ... yang bisa menggenggam tanganku saat aku mulai jatuh ... yang bisa meyakinkanku untuk bertahan di dunia yang terasa semakin mencekik ini. Apakah permintaanku begitu berat, ya Rabb? Ataukah memang aku tidak pantas untuk itu?"

Ia membisu sejenak. Nyaris kehabisan napas oleh tangis dan sesak yang tak kunjung mereda. Kesunyian di dalam kamar yang mencekam, justru menjadi latar belakang dari suara tangisnya yang pilu, isakan tangis yang hanya bisa dia dengar untuk dirinya sendiri.

"Aku lelah, ya Allah. Dunia begitu kejam padaku, merenggut mereka yang aku cintai. Aku tak punya tempat untuk berkeluh kesah, aku tak punya tempat untuk pulang. Aku ingin pulang, ya Rabb. Aku ingin menyudahi semua penderitaan ini. Sampai kapan aku harus terus berjuang sendirian? Aku ingin berhenti … aku ingin menyerah. Tapi, aku tak ingin pergi, aku takut, takut Engkau akan memalingkan wajah dariku jika aku pergi tanpa izin-Mu."

Kata-kata terakhir yang keluar dari Serena terputus oleh tangisannya yang semakin lirih. Kepalanya tertunduk, mukena basah menempel di wajahnya, dingin dan lembap seperti hatinya yang kini beku dalam kesedihan.

Namun, di balik keinginannya untuk menyerah, ada ketakutan yang lebih besar yang menghantui pikirannya—ketakutan akan kehidupan setelah kematian.

Bagaimana jika Allah murka padanya? Bagaimana jika saat ia pergi, yang menunggunya bukanlah ketenangan, melainkan azab yang jauh lebih menyakitkan dari luka yang ia rasakan di dunia?

Serena bukanlah pribadi yang alim, bukan wanita shalihah yang selalu menjaga ketaatannya dengan sempurna. Ia punya banyak khilaf, banyak dosa yang entah sudah sebesar apa menumpuk. Tapi meski begitu, ia tidak ingin pergi sebelum waktunya. Ia tidak akan sanggup jika Allah sampai memalingkan wajah darinya, dan meninggalkannya sendirian dalam kegelapan yang abadi.

Air matanya kembali jatuh, membasahi sajadah yang telah penuh dengan jejak kepedihan. Dalam isak yang semakin lirih, ia berbisik, lebih kepada dirinya sendiri, lebih kepada hatinya yang masih ingin bertahan meski rasanya tak sanggup lagi, "Aku takut, ya Allah ... Aku takut Engkau tak lagi menoleh padaku ... Aku takut Engkau tak lagi mendengar namaku saat aku memanggil-Mu ..."

Serena mengusap wajahnya dengan tangan gemetar, menandai akhir dari doa panjang yang ia panjatkan sepenuh hati.

Dari sudut matanya yang sembap, air mata tak kunjung mereda, ia masih terus mengalir menciptakan anak sungai di atas permukaan wajahnya. Sampai akhirnya, kelelahan itu datang menyergap, menjelma menjadi rasa kantuk yang tak boleh ditolak. 

Dengan hati yang masih berat, ia merebahkan diri di atas sajadah, meringkuk seolah berusaha memeluk dirinya sendiri. Mukena masih membungkus tubuh gadis itu, dibiarkan begitu saja tanpa sempat melepasnya, seakan menjadi pelindung terakhir dalam keheningan yang mulai merayapi malam.

"Kemudian, setelah kamu diliputi kesedihan, Allah menurunkan rasa aman kepadamu, berupa kantuk yang meliputi segolongan dari kamu, sementara sebagian lainnya diliputi kecemasan dalam hati mereka. Mereka berprasangka buruk terhadap Allah, seperti prasangka yang pernah ada pada masa Jahiliyah...." {QS. Al-Imran ayat 154}

***

Pandangan Serena awalnya buram saat ia membuka mata. Namun, itu tidak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, penglihatannya mulai jelas, meski pencahayaan di kamarnya masih temaram.

Saat melirik ke arah jam dinding, ia mendapati waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Barulah ia menyadari, bahwa ia ketiduran,sementara mukena masih melekat di tubuhnya, dan sejadah masih tergelar—menjadi alas tidurnya.

Serena mematung sejenak, membiarkan keheningan merayap dan melingkupinya seperti kabut tebal yang enggan sirna. Sunyi itu terasa begitu pekat, seolah dunia di sekitarnya membeku, menyisakan hanya dirinya yang terjebak dalam kehampaan.

Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan, mencoba mengumpulkan kesadaran yang berserakan. Kepalanya saat ini terasa sedikit berdenyut, efek dari terlalu banyak menangis.

"Ternyata aku masih hidup?" Satu kalimat penuh keputusasaan meluncur dari bibirnya. Dia tertawa pahit pada dirinya sendiri, disusul dengan harapan gila supaya ia tak perlu bangun lagi.

Apa yang akan terjadi jika aku tak pernah bangun tadi? Apakah dunia akan peduli? Adakah yang akan menangis atau sekadar menyadari kepergianku?

Matanya menatap kosong ke jendela, menembus jendela yang membingkai gelapnya malam. Sunyi terasa begitu pekat, seakan dunia telah melupakannya.

"Bukankah lebih baik kalau aku mati saja?" Ia kembali bergumam pada dirinya sendiri, dengan suara yang terdengar lemah, seperti nyala lilin kecil yang hampir padam.

Detik berikutnya, Serena langsung tersadar dan kembali ke realitas. Ia menggeleng cepat, berusaha mengusir pikiran buruk itu.

Di saat seperti ini, terlalu banyak bisikan dan pikiran yang mengganggu kewarasannya.

"Nggak! Mati bukan solusinya. Aku nggak mau mati dengan cara yang salah." Dengan kedua tangan, ia mengusap wajah, mencoba menenangkan diri. "Ahh, pikiranku benar-benar kacau. Aku akan makan dulu. Setelah itu salat dan tidur lagi."

Setelah itu, Serena memaksakan diri untuk berdiri, meski tubuhnya terasa berat. Ia menyeret kaki menuju ke arah dapur, mencari sesuatu untuk mengganjal perutnya yang mulai keroncongan. Ternyata banyak menangis juga bisa membuat lapar.

Pandangan mata gadis itu menyapu rak dapur, lalu berhenti pada sebungkus mi instan yang tergeletak di sudut. Tanpa pikir panjang, ia mengambilnya dan segera menyalakan kompor.

Suara air mendidih mulai mengisi kesunyian, meski pikirannya tetap berputar pada luka yang tak kunjung sembuh. Serena duduk di kursi dapur, menunggu mi matang sambil menatap kosong ke dinding putih di depannya. Aroma mi yang perlahan menyebar menariknya kembali, meski hanya sesaat.

Setelah mi matang, ia menuangkannya ke dalam mangkuk dan duduk di meja kecil. Uap panas mengepul di depannya.

"Bismillah," ucapnya pelan sebelum menyuapkan sesendok mi ke dalam mulut. Namun, mi yang biasanya terasa nikmat kini hambar di lidahnya. Meski begitu, ia tetap makan hingga mangkuk itu kosong. Bukan karena lapar, melainkan karena ia tahu tubuhnya membutuhkan energi untuk tetap bertahan.

Usai makan, Serena mencuci peralatan makannya, lalu bergegas melaksanakan salat Isya sebelum kembali tidur. Kepalanya masih terasa berat, denyutan itu belum juga mereda. Ibarat benang kusut yang sulit dirapikan kembali, pikirannya terus berputar tanpa arah. 

Bersambung

Sabtu, 23 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!