Arzhel hanyalah pemuda miskin dari kampung yang harus berjuang dengan hidupnya di kota besar. Ia terus mengejar mimpinya yang sulit digapai.nyaris tak
Namun takdir berubah ketika sebuah E-Market Ilahi muncul di hadapannya. Sebuah pasar misterius yang menghubungkan dunia fana dengan ranah para dewa. Di sana, ia dapat menjual benda-benda remeh yang tak bernilai di mata orang lain—dan sebagai gantinya memperoleh Koin Ilahi. Dengan koin itu, ia bisa membeli barang-barang dewa, teknik langka, hingga artefak terlarang yang tak seorang pun bisa miliki.
Bermodalkan keberanian dan ketekunan, Arzhel perlahan mengubah hidupnya. Dari seorang pemuda miskin yang diremehkan, ia melangkah menuju jalan yang hanya bisa ditapaki oleh segelintir orang—jalan menuju kekuatan yang menyaingi para dewa itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18 Lily
Ia melanjutkan langkah. Suara sepatunya menggema di lorong, semakin masuk ke dalam, suasana semakin berat. Lampu gantung tua berayun pelan, seolah ada sesuatu yang tak terlihat menyentuhnya. Bayangan di dinding terlihat memanjang, meski ia berdiri tegak.
Suara samar terdengar dari lantai atas.
Tap… tap… tap…
Langkah kaki ringan, tapi jelas, padahal ia tahu rumah ini sudah kosong sejak lama.
Arzhel menelan ludah. “Jangan bercanda… baru masuk sudah begini?”
Ketika melewati sebuah ruangan, ia sekilas melihat sosok bayangan melintas di dalam. Begitu ia menoleh cepat—ruangan itu kosong. Jantungnya semakin kacau.
Tiba-tiba, terdengar bisikan halus di telinganya.
“Pergi…”
Arzhel terhuyung mundur, napasnya memburu. Ruangan semakin dingin, seolah ada es yang menyelimuti kulitnya.
Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari!
Lorong panjang itu terasa tak berujung, suara langkahnya bergema bercampur dengan tawa tipis yang tak jelas asalnya.
Brak!
Pintu depan akhirnya terbuka begitu saja, dan Arzhel menerobos keluar.
"Cih... Membuatku ketakutan saja," ucapnya berusaha terlihat senormal mungkin, walaupun keringat bercucuran dan jantungnya berdegup kencang.
“Tentu saja, kalau ada dewa, maka hantu pasti ada juga."
Ia mengepalkan tangan, mencoba menenangkan diri. “Yosh… kalau begitu, aku butuh senjata.”
Arzhel segera membuka market ilahi di ponselnya. Jemarinya mengetik kata kunci: jimat pengusir hantu. Puluhan barang muncul, tapi ada satu menarik perhatiannya.
🧧Jimat Pemusnah Roh — dijual oleh Dewa Kematian ☠️ seharga 50 Koin ilahi.
Deskripsi: Hanya jimat tingkat rendah, namun memiliki kekuatan mutlak terhadap roh kelas bawah. Mampu memusnahkan segala bentuk roh di dunia manusia, tapi hanya berlaku untuk roh tingkat rendah. Satu jimat hanya bisa digunakan untuk satu roh.
Arzhel mengerutkan kening. “Cuma untuk satu roh? Kalau hantunya banyak, bisa repot…”
Tanpa ragu ia langsung menekan tombol beli. Lima gulungan kertas bercahaya keemasan muncul di udara lalu jatuh ke tangannya.
💰 -250 Koin Ilahi
Saldo Anda tersisa: 💰 240 Koin Ilahi
“Kurasa ini cukup…” gumamnya.
Arzhel kembali berdiri di depan pintu rumah besarnya. Angin berhembus kencang, menggoyangkan pepohonan dan membuat atap berderit, menambah dingin suasana yang sudah mencekam.
Ia mengepalkan lima jimat pemusnah roh di tangannya. “Baiklah… mari kita buktikan siapa pemilik rumah ini yang sebenarnya.”
Pintu tua berderit saat ia mendorongnya. Lorong panjang kembali menyambutnya, tapi kali ini Arzhel melangkah dengan lebih berani.
Jemarinya meraba dinding, matanya awas ke segala arah.
Duk!
Tiba-tiba kursi tua di ruang tamu terjatuh sendiri, suaranya menggema keras. Arzhel hanya mendengus.
“Jangan main-main. Kalau mau muncul, hadapilah aku!”
Bayangan melintas cepat di belakangnya. Arzhel sontak membalikkan badan, tapi lorong kosong menatapnya kembali.
Ia naik ke tangga perlahan. Bunyi kriet… kriet… kayu tua mengiringi setiap langkahnya. Udara semakin dingin.
Brakk!
Sebuah bangku jatuh dari lantai atas, hampir menimpanya. Refleks Arzhel melompat ke samping, bangku itu menghantam lantai keras dan hancur berantakan.
Alih-alih takut, wajah Arzhel memerah karena emosi. “Cukup sudah! Kau dengar aku? Hantu, roh, arwah, siapapun kau! Keluarlah dan hadapi aku!”
Suara teriakannya menggema di seluruh mansion.
Sekilas, dari ujung mata, ia melihat sebuah siluet berlari memasuki salah satu kamar di lantai dua. Tanpa pikir panjang, Arzhel langsung menghampiri, tinjunya menghantam pintu.
Brak!
“Buka sialan! Aku akan memusnahkanmu begitu dapat!”
Pintu berguncang keras. Dengan sekali dorongan brutal, engsel pintu pun lepas, dan daun pintu terbanting ke lantai.
Di dalam sana, suasana jauh lebih dingin. Tirai jendela koyak berayun pelan. Lalu… sebuah kain putih tipis terangkat dan melayang, bergerak perlahan mendekatinya.
Arzhel mengepalkan jimat di tangannya. Senyum sinis muncul. “Akhirnya kau muncul juga, sialan!”
Dengan percaya diri ia mengangkat jimat pemusnah roh itu. Namun… tidak ada reaksi. Kain putih terus bergerak mendekat.
“Hah?” Arzhel menatap kertas itu, lalu mengetuk-ngetukkannya seperti sebuah remote TV rusak. “Hei, jangan bercanda, ini tidak mungkin Dewa Kematian menipuku?”
Tetap tidak ada yang terjadi. Ia kembali mengingat pengalaman pahitnya ketika ditipu dengan teknik gagal oleh Dewa Seribu Muka.
"Sialan kau dewa Kematian..." lirihnya kesal
Sosok itu semakin dekat, menimbulkan desisan aneh yang mengerikan.
Arzhel terkekeh pelan, mencoba menutupi kegugupannya. “Heh… tadi aku cuma bercanda soal memusnahkanmu, tidak mungkin kau marah cuma karena hal itu, kan?”
Ia melangkah mundur, tapi kakinya menginjak sebuah botol kaca kosong.
Krakk!
Tubuhnya goyah, ia terjatuh ke belakang. Botol itu terlempar, menggelinding tepat ke arah sosok berkain putih. Dan—
Duk!
Botol menabrak sosok itu.
“Aduh!!” suara nyaring yang jelas manusiawi terdengar.
Arzhel membeku. “Apa—?”
Kain putih itu tersingkap. Dari baliknya, muncul seorang gadis kecil, kira-kira berusia sepuluh tahun. Rambutnya panjang terurai, wajahnya pucat, matanya berair menahan sakit di kakinya.
Arzhel ternganga. “Anak kecil?!”
Gadis itu menatapnya dengan tatapan marah sekaligus sedih. “Kenapa kau lempar aku dengan botol?! Sakit tahu!”
Arzhel masih terduduk di lantai, mulutnya sedikit terbuka. “Hantu… bisa merasa sakit?! Tidak, kau bukan hantu...”
Arzhel akhirnya berdiri dengan wajah datarnya, menatap gadis kecil itu yang duduk meringkuk sambil memeluk kain putihnya erat-erat.
“A-aku minta maaf… aku tidak bermaksud… hanya takut kehilangan tempat ini.”
Arzhel menghela napas panjang, suara desahannya bergema di kamar yang sepi itu. “Jadi… kau ini hantu yang katanya menghuni rumah ini?”
Gadis itu tersentak, lalu buru-buru menutup wajahnya kembali dengan kain putih, kali ini sambil mengerang seperti zombie.
“Uuuuuhhh… manusiaaa… aku akan memakanmu…”
Arzhel menatap datar, lalu menepuk dahinya sendiri. “Tidak ada gunanya. Kau lebih mirip ayam pilek daripada hantu.”
“Eh?!” Gadis membuka kainnya lagi, wajahnya memerah, bibirnya cemberut. “A-aku berusaha keras, tahu!”
“Kalau begitu jangan salahkan aku kalau aku tertawa.” Arzhel menahan diri, tapi sudut bibirnya jelas-jelas terangkat.
"Jelaskan padaku, kenapa kau berpura-pura menjadi hantu dan menakuti orang-orang? Kau kira itu menyenangkan, hah?"
Wajah gadis itu makin memerah, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku hanya… tidak ingin diusir lagi. Aku sudah nyaman di sini. Aku tidak punya tempat lain untuk dituju.”
Kali ini, nada Arzhel melunak. Ia jongkok di depannya, menatap langsung ke mata gadis kecil itu. “Siapa namamu?"
"Hiks... Lily..." jawabnya sambil terisak, takut dimarahi. “Sebelumnya… aku tidur di gang sempit, dingin, lapar… sampai aku menemukan rumah ini. Di sini aku bisa tidur nyenyak, ada atap, ada tempat hangat. Aku takut… kalau ada orang membeli rumah ini, aku akan kembali ke jalanan.”
Arzhel diam sejenak, lalu menghela napas panjang sekali lagi. “Kau berhasil menakuti orang-orang, itu jelas. Tapi berkatmu juga, aku bisa membeli rumah ini dengan harga murah.”
“Eh?” Lily mengangkat wajahnya, bingung.
“Jadi.... Aku tidak terlalu marah.” Arzhel berdiri, menyilangkan tangan di dada. “Tapi, mulai sekarang… kau tidak bisa terus berpura-pura jadi hantu dan mengusir semua orang. Rumah ini sudah jadi milikku.”
Lily menunduk lesu. “Kalau begitu… aku harus pergi, ya?”
“Tidak.” Arzhel menatapnya lurus. “Aku tahu rasanya diusir. Tidak enak. Jadi kalau kau mau, tinggal saja di sini bersamaku.”