Di tengah hiruk pikuk kota modern Silverhaven, Jay Valerius menjalani hidupnya sebagai seorang menantu yang dipandang sebelah mata. Bagi keluarga Tremaine, ia adalah suami tak berguna bagi putri mereka Elara. Seorang pria tanpa pekerjaan dan ambisi yang nasibnya hanya menumpang hidup.
Namun, di balik penampilannya yang biasa, Jay menyimpan rahasia warisan keluarganya yang telah berusia ribuan tahun: Cincin Valerius. Artefak misterius ini bukanlah benda sihir, melainkan sebuah arsip kuno yang memberinya akses instan ke seluruh pengetahuan dan keahlian para leluhurnya mulai dari tabib jenius, ahli strategi perang, hingga pakar keuangan ulung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Serangan Balik dari Menara Gading
Kantor Pusat Logistik Raksasa Pasifik
Di lantai 50 sebuah gedung pencakar langit yang berkilauan, Hartono berdiri dengan kepala tertunduk di atas karpet Persia yang lebih mahal dari harga mobilnya. Di hadapannya, di balik meja kayu eboni raksasa, duduklah Suryo Wijoyo, CEO Logistik Raksasa Pasifik. Pria itu tidak berteriak. Ia hanya memutar-mutar pena emas di antara jari-jarinya, tatapannya dingin menusuk.
"...dan kemudian, Pak," Hartono menyelesaikan laporannya dengan suara gemetar, "truk itu masuk begitu saja ke dalam hutan. Seolah ditelan bumi."
Suryo berhenti memutar penanya. Keheningan di ruangan itu terasa mematikan. "Sebuah jalur rahasia," desisnya, lebih pada dirinya sendiri. "Selama ini, tepat di bawah hidung kita. Si bodoh Bastian Tremaine itu berhasil mengelabui kita semua."
"Bukan dia, Pak," potong Hartono cepat. "Ada... ada menantunya. Seorang pemuda. Semua orang di sana memanggilnya 'Bos Jay'. Dia yang memberi perintah."
Suryo Wijoyo mendengus, sebuah suara yang penuh dengan penghinaan. "Aku tidak peduli siapa otaknya. Yang aku tahu, sebuah perusahaan gurem baru saja mencuri proyek puluhan miliar dari kita. Ini memalukan."
Ia meletakkan penanya dengan keras, suaranya kini berubah menjadi baja. "Aku tidak mau dengar alasan. Aku mau solusi. Aku tidak mau tahu bagaimana caranya, hentikan proyek mereka. Sekarang."
Kediaman Keluarga Tremaine, Malam Hari
Suasana di meja makan keluarga Tremaine belum pernah sebahagia ini. Kemenangan tender, ditambah dengan keberhasilan uji coba pertama, telah mengangkat beban berat dari pundak mereka. Lyra bahkan memasak rendang, hidangan istimewa yang biasanya hanya ia buat di hari raya, dan ia terus-menerus menambahkan nasi ke piring Jay.
"Kerja keras butuh tenaga," katanya dengan senyum lebar yang masih terlihat sedikit canggung.
Bastian mengangkat gelasnya yang berisi teh hangat. "Aku mau bersulang," katanya, suaranya terdengar tulus. "Untuk putraku, Jay. Otak di balik semua ini."
Semua orang mengangkat gelas mereka, termasuk Jay yang hanya tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti bagian dari sebuah keluarga.
Di tengah suasana santai itu, Elara menyentuh lengan suaminya. "Jay," bisiknya. "Apa kau tidak khawatir? Hartono melihat semuanya. Raksasa Pasifik tidak akan tinggal diam."
Jay menelan makanannya dengan tenang sebelum menjawab. "Orang seperti Suryo Wijoyo tidak akan menerima kekalahan," katanya. Suasana meja makan menjadi sedikit lebih serius. "Dia tidak akan menyerang truk kita di jalan, itu terlalu kasar dan meninggalkan jejak. Dia akan menyerang kita dari atas, menggunakan jalur hukum dan birokrasi."
Wajah Bastian langsung menegang. "Dia punya koneksi kuat di pemerintahan. Dia bisa membuat masalah besar untuk kita."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Lyra cemas.
Jay menatap mereka satu per satu, lalu tersenyum menenangkan. "Tidak perlu melakukan apa-apa," katanya. "Karena aku sudah mengurusnya."
Pernyataannya yang penuh percaya diri itu menggantung di udara, misterius dan meyakinkan. Sebelum ada yang sempat bertanya lebih lanjut, ia sudah mengalihkan pembicaraan, meninggalkan mereka dengan rasa aman yang aneh.
Keesokan Harinya, Base Camp Gunung Hantu
Hari baru dimulai dengan semangat baru. Konvoi pertama yang membawa material konstruksi asli—rangka baja dan semen—sedang bersiap-siap untuk berangkat. Semua berjalan seperti mesin yang diminyaki dengan baik.
Tiba-tiba, dua mobil sedan hitam berpelat merah memasuki area base camp. Pintu terbuka dan beberapa pria berpenampilan serius dalam seragam safari keluar. Mereka berasal dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi.
"Siapa yang bertanggung jawab di sini?" tanya pria yang memimpin, wajahnya kaku dan tanpa senyum.
Bastian melangkah maju. "Saya Bastian Tremaine, direktur."
Pria itu menyerahkan sebuah amplop cokelat tebal yang disegel resmi. "Kami menerima laporan adanya aktivitas ilegal di kawasan hutan lindung untuk proyek ini," katanya dengan suara tegas. "Ini adalah Surat Perintah Penghentian Kerja Sementara."
Kata-kata itu menghantam Bastian seperti sambaran petir. Ia merobek amplop itu dan membaca isinya. Benar saja. Laporan anonim—yang ia yakini 100% berasal dari Suryo Wijoyo—menuduh mereka telah membabat hutan dan membuat jalan baru tanpa izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
"Semua aktivitas proyek harus dihentikan segera," lanjut pria itu, "sampai tim investigasi kami selesai melakukan peninjauan, yang bisa memakan waktu beberapa minggu."
Beberapa minggu. Penundaan selama itu akan membunuh mereka. Penalti keterlambatan proyek akan menghapus semua keuntungan mereka dan membuat mereka berutang lebih banyak lagi. Para pekerja berhenti, saling berbisik dengan cemas. Mesin-mesin yang tadinya menderu, kini mati satu per satu. Keheningan yang tidak menyenangkan menyelimuti base camp.
Serangan balik dari Suryo Wijoyo datang lebih cepat dan lebih mematikan dari yang mereka duga. Perangkap birokrasi itu telah terpasang dengan sempurna.
Di tengah kepanikan yang mulai menyebar, Jay melangkah maju dari belakang kerumunan. Ia mengambil surat perintah itu dari tangan ayah mertuanya yang gemetar. Ia membacanya dengan tenang, ekspresinya tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun.
Ia lalu menatap pria dari dinas kehutanan itu dengan tatapan yang sopan namun tajam.
"Terima kasih sudah datang, Pak," kata Jay. "Kami sudah menunggu Anda."