(Based on True Story)
Lima belas tahun pernikahan yang tampak sempurna berubah menjadi neraka bagi Inara.
Suaminya, Hendra, pria yang dulu bersumpah takkan pernah menyakiti, justru berselingkuh dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur demi cinta murahan mereka.
Dunia Inara runtuh, tapi air matanya kering terlalu cepat. Ia sadar, pernikahan bukan sekadar tentang siapa yang paling cinta, tapi siapa yang paling kuat menanggung luka.
Bertahan atau pergi?
Dua-duanya sama-sama menyakitkan.
Namun di balik semua penderitaan itu, Inara perlahan menemukan satu hal yang bahkan pengkhianatan tak bisa hancurkan: harga dirinya.
Kisah ini bukan tentang siapa yang salah. Tapi siapa yang masih mampu bertahan setelah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Doa dan Amarah
Sama seperti sebelumnya, suasana rumah malam itu terasa berbeda. Atmosfirnya, suasananya...
Bahkan saat aku mencoba menutup mata, samar-samar terdengar banyak suara di rumah ini. Seperti orang yang berbincang-bincang, teriakan, perkelahian, dan sebagainya. Tapi, tak sedikitpun aku bisa mendengar 'apa' yang kiranya dibahas oleh suara-suara aneh itu.
Hanya seperti itu saja sebenarnya. Karena meski ada banyak kejanggalan yang terjadi di rumah, kami baik-baik saja. Bahkan besok harinya, suasana rumah sudah membaik dengan sendirinya. Tentu aku bersyukur akan hal ini, aku memutuskan untuk tetap kembali menemui Ustadz kemarin. Lebih baik berjaga-jaga daripada kecolongan, kan?
Ustadz tersebut melakukan yang sama seperti minggu kemarin. Dia memberi sebotol air dan menyuruhku berdzikir setiap sehabis sholat. Aku pun menuruti apa yang dia perintahkan tanpa bertanya, karena dia sepertinya tidak ingin menjelaskan lebih rinci mengenai siapa sang pengirim itu.
Lagi, suasana di rumah kembali tenang. Aku benar-benar merasa bersyukur akan hal itu. Karena meski tak terjadi apapun pada kami, tetap saja tidak nyaman saat mengetahui rumah kami dimasuki oleh entitas lain karena dikirim oleh si Dewi Durjana itu.
Tapi sayangnya, hal yang sama terjadi lagi seminggu kemudian.
Suara ledakan kembali terdengar, namun sumbernya tetap tak ditemukan. Kami semua tentu kebingungan. Gita bahkan sampai bersembunyi di belakang tubuhku dengan gemetaran.
"Takut, Bunda..."
Aku menepuk-nepuk lembut kepala putriku.
Ya Allah... apa harus terus begini? Kami harus terus dan terus minta tolong setiap seminggu sekali?
Aku sampai menghela napas panjang.
Karena sepertinya pertahanan yang Ustadz itu pasang selalu jebol setiap seminggu sekali. Haruskah aku minta tolong pada orang lain?
Tapi, Ustadz yang biasa berurusan dengan hal itu di desa kami hanya dia. Aku harus mencari tolong kemana?
Karena belum tahu harus mencari kemana lagi, besoknya aku tetap datang ke rumah Ustadz yang kemarin. Tapi, sayangnya... dia tak ada di rumah.
"Bapak lagi pergi ke Kota, tiga hari lagi baru pulang."
"Ti-tiga hari lagi?"
Aku terkejut mendengar itu. Tiga hari lagi? Apa kami akan baik-baik saja jika harus menunggu tiga hari lagi?
"Makasih ya, Mas. Kalau begitu saya pulang dulu."
Aku segera keluar dari rumah itu, lalu membawa motor kesayanganku melaju kembali menuju rumah. Tiga hari lagi. Allah... semoga tidak terjadi apapun pada kami.
Sehabis sholat Maghrib, aku duduk lama di atas sajadah. Berdzikir. Karena hanya Allah lah satu-satunya tempat bagiku memohon pertolongan. Aku tak bisa meminta pertolongan lewat perantara sang Ustadz saat ini, jadi aku hanya bisa mengadu pada sang Pencipta secara langsung dan meminta agar diberikan perlindungan.
"Ya Allah, tolong lindungi kami dari setiap kejahatan yang ada di bumi ini."
Setelah selesai dzikir yang kemudian dilanjut dengan shalat Isya, aku memilih berbaring di ranjang. Tanganku menekan-nekan layar ponsel saat mengetik pesan untuk putriku yang jauh di kota sana.
[Mei, Bunda Mau cerita.]
[Ada ledakan itu lagi di rumah, Mei. Tapi Ustadz yang kemarin sedang tidak ada di rumah.]
[Mei, menurut kamu Bunda harus gimana?]
Aku menunggu agak lama. Sepertinya Meira sedang sibuk, jadi pesanku tak kunjung di balasnya. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam dan aku hampir terlelap sebenarnya, barulah dia membalas pesan itu.
[Bunda berdoa aja banyak-banyak. Insyaa Allah enggak akan kenapa-napa.]
Aku membaca pesan dari Meira sambil tersenyum lembut. Meira... putriku itu berusaha menenangkanku.
[Tapi kan jadi enggak ada pelindung lagi di rumah ini, Mei. Sedang Bunda minta bantuan Pak Ustadz saja, minggu depannya sudah ada suara ledakan itu lagi. Apalagi kalau tidak ada perlindungan sama sekali.]
[Iya, Bunda. Tapi kekuatan doa itu luar biasa. Apalagi doa dari orang yang terdzolimi. Jadi, kenapa enggak Bunda kencangkan saja doa-doa Bunda agar Allah mendengarnya?]
Itu... benar juga.
Lagipula sejak semalam, selain suara-suara yang sempat muncul dan mengganggu itu, tidak ada lagi yang terjadi. Bahkan suara-suara itu pun tidak terdengar lagi sekarang.
Mungkinkah itu karena kekuatan dzikir?
Ya Allah... terimakasih atas pertolonganmu ini. Maafkan hamba yang tidak menyadari hal ini lebih cepat, Ya Allah.
Dan Meira, terimakasih, Nak. Karena kamu satu-satunya yang membuat hati Bunda merasa tenang.
Sebab Aldo dan Gita cukup penakut. Mereka saja sudah ketakutan dengan gangguan-gangguan ini. Mengajak mereka berunding sangatlah tidak mungkin.
[Terimakasih, Mei. Bunda janji akan lebih semangat berdo'a nya. Mei juga berdoa ya, semoga kita sekeluarga dilindungi dari kejahatan.]
[Iya, Bunda. Tentu Mei do'akan. Bunda yang tenang, ya.]
Aku tersenyum membaca pesan dari putriku.
Tepat saat itu, Mas Hendra masuk ke kamar. Melihatnya yang tampak biasa-biasa saja setelah kekacauan yang dia sebabkan ini, emosiku sedikit naik. Apalagi dia tampak tidak merasa bersalah sama sekali. Coba lihatlah. Bukankah karena dia kami jadi mendapatkan kiriman aneh-aneh seperti ini? Tapi dia bahkan masih bisa kumpul dan bermain bersama teman-temannya, bahkan untuk shalat memohon ampun pun tidak dia lakukan.
"Mas, Mas. Mbok ya kalau sudah tahu pernah melakukan kesalahan tuh berubah. Jangan kebanyakan keluyuran, shalatnya diperbaiki. Ini enggak. Main nomor satu, shalat dua kali setahun waktu lebaran pun belum tentu. Bagaimana enggak banyak setan di rumah ini." Sindirku.
Mas Hendra menoleh padaku, lalu mendudukkan bokongnya diatas ranjang.
"Apa lagi sih, Dik? Bukannya masalah yang kemarin udah selesai? Kenapa masih diungkit-ungkit lagi?"
Aku mendesah panjang.
"Ya kamu lihat dong kondisi kita sekarang bagaimana. Rumah kemasukan hal-hal aneh begini, kok bisa-bisanya kamu santai."
"Ya kan bukan salah Mas, Dik. Mas udah lepas dari dia. Kalau dia aneh-aneh, bukan salah Mas."
Aku mendengus, membuang wajah darinya. Susah sekali bicara dengannya.
Namun rupanya tanggapanku ini menyentil sisi kelaki-lakiannya. Dia pun kesal.
"Inilah makanya Mas cari kesenangan diluar, Dik. Karena kamu itu banyak ngatur, banyak sewot sama apapun yang Mas lakukan. Sedang Dewi selalu ngertiin Mas. Dia enggak ngelarang-larang Mas kalau Mas mau melakukan apapun, enggak nuntut, dan selalu kasih semangat buat Mas."
Mataku mendelik mendengar ucapannya. Aku pun menoleh ke arahnya.
"Kamu banding-bandingin istri kamu sama dia, Mas? Mas enggak salah?"
"Bukan bandingkan," Dia mendesah kasar, "Tapi coba kamu bisa sedikit jadi seperti dia. Mungkin Mas enggak akan neko-neko."
Aku tertawa sarkas.
"Mas, Mas. Mau secantik, sepengertian, dan sebaik apapun seorang istri, semuanya enggak akan terlihat dimata suami yang enggak tahu cara menghargai."
Mas Hendra membuang wajah, jelas kesal. Bukankah harusnya aku yang kesal disini? Tapi dia malah bertingkah seolah aku yang salah.
Jika dia bicara baik-baik, aku mau kok memperbaiki kesalahanku. Misalnya jika menurutnya aku kurang perhatian, aku enggak apa-apa dikasih masukan. Aku akan mencoba berubah pelan-pelan sesuai dengan apa yang dia inginkan. Tapi, dia justru membawa Dewi untuk dibanding-bandingkan denganku. Sakit lah hatiku!
Padahal aku berharap bisa bertukar pemikiran dengannya mengenai masalah kiriman-kiriman aneh di rumah kami, tapi...
Aku menoleh ke arahnya yang masih membuang wajah dariku. Allah... berikan aku kesabaran lebih agar tak tiba-tiba menabok wajah suamiku ini.
Sekali lagi, aku menghela napas panjang.
"Kamu bilang aku selalu larang-larang kamu, kan? Aku kurang perhatian?"
Suaraku menarik perhatiannya. Dia menoleh.
"Kalau begitu, bawa aku main. Aku ingin tahu, seperti apa dunia kalian itu."
***
Suami kayak Mas Hendra bagusnya diapain, ya?
Yuk komen, biar Author gak kesel sendirian liat laki-laki modelan begini 😂
Jangan lupa likenya juga ya, hehehe.
See you tomorrow 🥰
Semangat berkarya ya Thor