Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lebih Akrab
"Iya kamu sekarang gak apa-apa kan? Suara kamu gemeter Ri."
"Emang kedengeran ya?"
"Ya kedengeran atuh. Kamu gak nangis kan?"
"Enggak kok. Sekarang udah baik-baik aja, cuman emang masih ngatur napas,"
"Ri,"
"Iya?"
"Kalau kamu gak ada tempat cerita, terus mau cerita tentang hal apapun. Kamu bisa cerita sama Aa,"
"Emangnya gak apa-apa ya kalau cerita sama Aa?"
Laki-laki itu terkekeh mendengarnya.
"Ya gak apa-apa atuh Ri. Aa justru seneng kalau kamu bisa akrab cerita sama Aa,"
"Kok bisa seneng? Emang gak risih?"
(ya mana mungkin risih, orang gw suka sama lo)
(Ah elah!!! cewek ini gak peka banget)
"A?"
"Ya enggaklah Ri. Masa Aa risih sih, justru Aa seneng kalau kamu mau coba cerita hal yang bisa kamu ceritain. Lagian gak baik juga kalau dipendam Ri,"
"Iya kapan-kapan aku cerita,"
"Sekarang mending kamu istirahat aja. Kan sekarang udah malem,"
"Nanti aja A sebentar lagi. Tanggung juga buat minum obat nanti jam 10,"
"Ri ini baru jam 8-an, kamu bisa tidur dulu nanti Aa bangunin kalau kamu ketiduran,"
"Ah gak mau nanti Aa keganggu istirahatnya,"
"Aa gak bakal dulu tidur,"
"Kenapa?"
"Masih ada kerjaan, tadi belum selesai di rumah sakit,"
"Kenapa gak di selesain di rumah sakit aja? Sama temen-temen aa?"
"Maunya sama kamu ditemeninnya,"
"HAH?"
Terdengar kekehan hanif dibalik telepon.
"enggak, gak usah ditanggapin,"
"Ya udah aku temenin kerjanya. Sambil nunggu waktu minum obat,"
"Yakin kamu gak bakal tidur?"
"Ya tidur pun tinggal dibangunin sama Aa. Kan barusan bilangnya nyuruh istirahat terus gak lama malah minta ditemenin. Jadi maunya yang mana Aa?"
"Gimana kamu aja, yang penting teleponnya jangan dimatiin ya?"
"Ya udah iya, neng gak matiin teleponnya. Aa kerjain kerjaan yang fokus aja, nanti salah lagi bisa berabe,"
Hanif kembali terkekeh.
"Kamu diinget aja terus. Kan tadi Aa udah bilang kalau itu cuman gak sengaja gak ke ketik, bahkan kalaupun gak teleponan sama kamu kalau emang fokusnya gak ke situ ya tetep bakal salah,"
"Iya juga sih. Ya udah buruan kerjain kerjaannya,"
Sembari menemaninya mengerjakan kerjaan, aku juga membuka laptop untuk mengetik tulisan. Sengaja, karena memang masih belum cukup mengantuk juga. Apalagi rasanya perutku terasa mulai perih.
Aku membuka beberapa biskuit yang memang ada di kamar untuk mengganjal perut atau sekedar cemilan pengganti buah. Memang tidak banyak, apalagi aku juga tidak memakan banyak biskuit yang bermacam-macam setelah diet.
Hanif sesekali terkekeh mendengar suaraku yang sedang melahap makanan dengan pelan karena orangtua dan juga abang masih mengobrol di ruang tengah.
"Kayak lagi ditemenin tikus ya!"
Aku terkekeh mendengarnya.
"Habisnya lapar aku. Tadi makan malamnya cuman sedikit,"
"Kenapa emangnya?"
Aku sempat terdiam mendengarnya.
"Keburu mual,"
"Ya ampun!! Gak apa-apa. Tapi kalau misalnya lagi semangat ngunyah kayak sekarang, usahain makan aja. Kayak nasi tim atau misalnya buah atau biskuit yang gampang lembek di mulut,"
"Iya ini juga lagi makan biskuit,"
"Pasti sari gandum,"
"Kok tau?"
"Andalan orang diet itu,"
Aku terkekeh mendengarnya. Memang betul juga, kebanyakan orang mengandalkan roma sari gandum untuk pengganjal perut atau sekedar cemilan. Tapi bukan dimakan sebungkus besar sekaligus, aku juga hanya memakan 4 biskuit paling banyak.
Aku menghela napas sembari memandang layar laptop yang sudah cukup penuh dengan tulisan.
"Kenapa?"
"Enggak A. Cuman rasanya aneh aja, kok aku malah jadi gak akur sama abang sama istrinya juga,"
"Kalau boleh aa tau emangnya kenapa?"
"Aa tau sendiri barusan aku marah karena apa. Kadang abang tuh kalau bercanda suka berlebihan, terus dia juga ngungkit masalah nikah dan segala macem. Habis itu istrinya malah selalu nyindir aku pengangguran dan segala macem,"
Hanif hanya terdiam mendengarnya. Sebenarnya, ia bukan hanya sekedar mendengarkan tapi juga mencerna apa yang aku ceritakan.
"Aa masih dengerin aku?"
"Masih dong Ri. Emangnya udah selesai ceritanya?"
"Udah, Aa juga jadi tau kan kalau aku ini pengangguran. Aku udah kesel banget, apalagi sama istrinya. Mana abang selalu belain dia,"
"Ya wajar, kan dia istrinya. Terus Aa juga seneng akhirnya kamu mau coba cerita sama Aa. Lagian emangnya kenapa kalau cewek pengangguran? Kan gak wajib juga cari uang kalau orangtuanya masih sanggup,"
"Iya tapi dia tuh kayak menghina aku, A. Seolah jadi pengangguran itu bakal nyusahin dia, pas aku nginep di rumah dia juga aku dibilang numpang. Walaupun ia numpang sih, tapi kan kalau dia lagi pengen ditemenin di rumah karena abang gak ada ke aku,"
"hmmmm itu sih teteh ipar kamu cari gara-gara,"
"Ya kan?"
(ini kalau misalnya gw salah ngomong bisa-bisa langsung dimatiin teleponnya)
"Tadinya aku mau minta bantuan sama abang, tapi malah ada kejadian kayak begini. Jadi males bahkan buat ngobrol sama dia juga,"
"Pelan-pelan aja Ri. Gak baik juga sama saudara kandung sendiri kayak begitu? Ya walaupun emang pasti bakal ada aja masalah, tapi gak baik kalau dibuat berlarut-larut,"
"Iya, besok aku mau coba bicara sama Aa. Apalagi aku juga ngerasa bersalah karena udah semarah itu sama dia tadi,"
"Iyaa pinter!! Kayak gitu dong,"
Aku tersenyum mendengarnya.
(Bisa aja nih cowok muji aku)
(Bahaya!!)
Saking asiknya mengobrol dengan Hanif, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam lebih saja. Padahal rasanya baru saja mengobrolkan tentang masalah dengan abang dan teteh ipar.
Aku menghela napas setelah selesai dengan tulisanku juga. Lalu mengambil biskuit sebelum meminum beberapa obat yang diresepkan.
"Aa udah selesai belum itu kerjaannya?"
"Udah, tadi juga udah selesai,"
"Kok gak bilang?"
"Iseng aja, biar kamu gak nyuruh tidur duluan juga,"
"Ya ampun Aa,"
"Kan daritadi siang juga begitu. Kayak yang gak mau teleponan sama aku,"
"Bukan gitu ihhh!!"
Hanif terkekeh pelan.
"Kamu udah minum obatnya?"
"Udah barusan makan dulu biskuit, soalnya males kalau harus ngambil nasi lagi udah dingin,"
"Ya udah gak apa-apa, asal makan dulu sesuatu aja. Sekarang mending istirahat, kan minum obatnya udah,"
"Iya Aa juga,"
Baru saja teleponnya akan ditutup, aku bertanya dengan cepat agar tidak terlalu terdengar olehnya, "aksjsjkaankajakak gak?"
"Boleh kok. Aa luang besok,"
"HAH kedengeran emangnya?"
"Kedengeran lah, ngajak makan siang kan?"
(Kok dia bisa tau kalau aku ngajak makan siang?)
(Jangan-jangan dia bisa baca hati walaupun lagi teleponan begini)
"Ri?"
"Iya?"
"Beneran mau ngajak makan siang?"
"Iya kalau mau,"
"Mau dong. Besok gimana? Kamu ada rencana gak?"
"Gak ada sih. Tapi tempat makannya Aa yang atur aja ya? Soalnya aku gak tau banyak tempat makan,"
"Boleh, nanti Aa kasih tau ya. Sekarang istirahat dulu,"
"Iya."
Di hari berikutnya, rencana makan siang itu dibatalkan oleh Hanif begitu saja dengan banyak permintaan maaf.
Aku menghela napas sembari berjalan menuju arah tempat angkutan umum.
"HAH!!!! Bukannya itu Hanif? Jadi dia batalin rencana sama aku karena itu?"