Aryani Faizah yang sedang hamil tua mengalami kecelakaan tertabrak mobil hingga bayi yang ia kandung tidak bisa diselamatkan.
Sang suami yang bernama Ahsan bukan menghibur justru menceraikan Aryani Faizah karena dianggap tidak bisa menjaga bayinya. Aryani ditinggalkan begitu saja padahal tidak mempunyai uang untuk membayar rumah sakit.
Datang pria kaya yang bernama Barra bersedia menanggung biaya rumah sakit, bahkan memberi gaji setiap bulan, asalkan Aryani bersedia menjadi ibu susu bagi kedua bayinya yang kembar.
Apakah Aryani akan menerima tawaran tuan Bara? Jika mau, bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Pertengkaran mulut antara ibu tiri, dan anak tiri itu pun kembali terjadi. Abdullah yang hanya bengong menyaksikan kejadian itu segera sadar, kemudian berbicara baik-baik kepada Chana.
"Tante sebaiknya pulang dulu" Abdullah menuntun Chana ke luar rumah, sambil mengajaknya bicara untuk menenangkan situasi.
Begitu Chana pergi dengan taksi, Abdullah kembali masuk. Ia menatap Barra dari kejauhan, kakak sepupunya itu nampak lelah. Tentu lelah hati tiap kali bertengkar dengan Chana.
"Sebaiknya Abang istirahat" kata Abdullah sembari meletakkan bokongnya di sofa empuk.
Barra yang awalnya bersandar di sofa dengan mata terpejam pun membuka mata, lalu membetulkan posisi duduknya.
"Dari mana Chana bisa tahu kalau aku akan menikahi Faiz, Dul?" Barra yang bersandar tadi rupanya sedang berpikir, padahal ia belum berbicara kepada orang luar selain ibu panti.
"Aku nggak tahu Bang" Abdullah menoleh Barra di sebelahnya.
"Jangan-jangan kamu yang menceritakan sama Mak Lampir itu" ujar Barra menyelidik.
"Si Abang ini main nuduh, kapan aku bertemu Chana coba, sejak pagi hingga sore di kantor. Ketika sampai rumah kadang masih menyelesaikan pekerjaan. Kalau tidak ada kerjaan, selesai makan hiburannya hanya main game itupun tidak lama terus tidur kan, Bang." papar Abdullah panjang lebar. Padahal tanpa cerita pun Barra sudah tahu kesibukan Abdullah.
"Kamu itu pria, tapi kok bicaranya nerocos seperti burung beo, Dul" Barra heran, adiknya itu bicara sampai tidak menahan napas.
"Lagian, Abang asal tuduh. Sudahlah, aku mau buat kopi" Abdullah pun akhirnya meninggalkan Barra hendak ke dapur membuat kopi, agar pusing kepalanya hilang.
"Sekalian buat aku, terus bawa ke gazebo ya, Dul" titah Barra mengikuti Abdullah. Abdullah hanya mengacungkan jempol, lantas mereka berpisah. Abdullah hendak membuat kopi, sedangkan Barra ke belakang rumah.
Sore berganti malam, setelah si kembar tidur, Barra mengumpulkan seisi rumah. Faiz, Abdullah, Dilla dan bibi, saat ini sudah duduk melingkar di depan televisi. Namun, bukan mau menonton acara televisi tersebut, tapi ada hal penting yang ingin Barra tanyakan.
"Sekarang kalian harus ngaku, siapa yang menyimpan nomor hape Chana" Barra memutari mereka.
Hening, tidak ada yang menjawab. Setelah beberapa detik, Faiz berbicara. "Untuk apa saya menyimpan nomor hape Chana Tuan" Faiz musuh bebuyutan Chana, jangankan berbagi nomor handphone, setiap bertemu Faiz, Chana selalu memaki-maki, menghina dan berujung pertengkaran.
"Saya juga tidak menyimpan nomor hape Nyonya Chana Tuan" Dilla pun sering dimarahi Chana, tidak sudi menyimpan nomor hape seandainya ada yang memberi.
"Bibi?" Barra menatap bibi yang duduk bersimpuh di lantai, tidak mau bergabung bersama yang lain.
"Saya tidak punya hape Tuan" jujur bibi.
"Saya memang menyimpan nomor Tante Chana Bang, tapi selama ini tidak pernah menghubungi" Abdullah pun ikut menjawab.
"Saya curiga, jika di rumah ini ada mata-mata Chana, apapun yang saya lakukan kenapa bisa sampai ke telinga Chana, tanpa menunggu hari." tutur Barra curiga.
Semua yang berada di tempat itu saling pandang, seolah saling tanya.
"Jika saya sampai tahu, di antara kalian yang bersekongkol dengan Chana, saya tidak segan-segan memecat kalian" tegas Barra, sambil berlalu ke kamar.
Abdullah, bibi dan juga Dilla pun meninggalkan ruang televisi, sementara Faiz memberanikan diri mengetuk pintu kamar Barra.
"Ada apa Faiz?" Tanya Barra, lalu kembali keluar kamar. "Kamu mau bobo sama aku?" Kelakar Barra, sembari terkekeh.
"Jika Tuan saja tidak mempercayai saya, untuk apa mengajak saya menikah?" Faiz menatap Barra kesal. Kenapa juga ia dituduh bersekongkol dengan Chana, padahal Barra tahu sendiri. Jika puncak persoalan di rumah ini terjadi, karena Chana tidak menyukainya.
"Faiz, jelas bukan kamu yang bersekongkol dengan Chana, aku tahu itu. Jika Abdullah tadi memanggil kamu juga, mungkin dia khawatir yang lain iri. Aku juga tadi kaget kok melihat kamu di situ, tapi aku pikir, ya sudahlah, toh aku sama sekali tidak berpikir buruk tentang kamu." Barra tahu yang Faiz pikirkan, lalu menjelaskan panjang lebar.
"Ya sudah kalau gitu" Faiz hendak kembali ke kamar, tapi Barra menahan punggung tangannya.
"Kamu tidak mau bobo di kamar aku saja" Barra tersenyum.
"Dih, nggaklah ya" Faiz melepas tangan Barra lalu pergi, menyembunyikan wajahnya yang merah, dan dentum dadanya. Ia ke kamar menatap Dilla sudah tidur pulas.
Faiz pun akhirnya merebahkan diri di kasur, tapi tidak langsung tidur. Ia masih memikirkan siapa yang telah menjadi mata-mata di rumah ini.
"Supir. Mungkinkah Dia?" Tanya Faiz dalam hati. Tetapi Faiz segera menepis pikiran sendiri. Supir hanya masuk ke rumah sekali-kali saja, jarang bicara jika tidak perlu dan tidak ditanya. Faiz pun lebih baik menarik selelimut, kemudian tidur. Menyusun tenagannya yang pecah untuk kembali aktivitas esok hari.
Semilir ngin pagi begitu sejuk, matahari sudah bersinar hangat. Faiz sudah berada di taman depan rumah menjemur si kembar.
"Abi berangkat..." Barra yang sudah berpakaian lengkap hendak berangkat. Supir berjalan di belakang membawakan tas Barra.
"Dada Abi..." Faiz berbicara menirukan suara anak kecil, tatapan nya tertuju ke wajah supir lebih intens. Mencari jawaban pikiran Faiz tadi malam.
"Matanya dijaga" Barra meraup wajah Faiz lalu berangkat.
Barra yang biasanya duduk di jok tengah, entah mengapa pagi ini memilih duduk di depan bersama supir.
Mobil pun berjalan, tidak sengaja tatapan Barra tertuju pada benda yang tidak asing tergeletak di antara dia dan supir.
...~Bersambung~...
Lilis emaknya Faizah? atau emaknya kembar?