Apa yang kalian percaya tentang takdir? Bahwa sesuatu hal yang tidak akan pernah bisa kita hindari bukan? Takdir adalah hal yang mungkin saja tidak bisa diterima karena berbeda dengan apa yang kita harapkan. Tapi percayalah, rencana Allah itu jauh lebih indah meski kadang hati kita sangat sulit menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RJ Moms, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perempuan dengan harga diri
Waktu terus berjalan, hari berganti dan bulan berlalu. Amelia kini sudah lulus dari sekolah smp. Gadis itu resmi menjadi siswa sma. Sergam birunya sudah berganti menjadi putih abu-abu.
Dengan tatapan kesal, Amelia berdiri di depan pintu kelas melihat kedatangan sosok yang selama ini terus dia hindari.
“Kenapa mesti satu kelas, sih. Oke, gak apa-apa kita satu sekolahan, gue gak bisa melarang orang untuk tidak bersekolah di sini. Tapi … kok bisa? Kok bisa kira satu kelas?”
“Berisik, sayang. Ini yang dinamakan jodoh mungkin. Ayo kita masuk.” Gunawan merangkul leher Amelia dan mengajaknya masuk ke dalam kelas.
Mungkin ada yang tidak tahu karena berbeda sekolah sebelumnya, tapi ada juga yang sudah tahu siapa Amelia dan Gunawan karena kebetulan mereka satu sekolah di sekolah sebelumnya.
“Duduk sini.”
“Ogah!”
Gunawan menarik tangan Amelia untuk duduk satu meja dengannya.
“Apaan sih, Gun? Lo mah maksa banget.”
“Kalau gak mau dipaksa, ya sukarela dong. Duduk sama pacar sendiri kok gak mau.”
“Sssttttt. Awas aja kalau lo menyebar fitnah lagi di sini. Gue gak mau kita digosipkan pacaran kayak dulu.”
“Ada syaratnya.”
“Apa? Ngomong.”
“Jangan abaikan chat dari aku, oke sayang?”
“Oke, tapi gue juga punya syarat buat lo. Jangan panggil gue sayang di depan umum.”
“Berarti kalau lagi berdua, boleh?”
“Kapan kita berdua! Gue gak akan ngasih kesempatan buat kita berduaan.”
“Kita lihat saja nanti, sayang.” Ucap Gunawan seraya berbisik.
“Jauh sana. Jangan deket-deket, gue bilangin ya sama Bang Rehan.” Amelia mendorong kuat tubuh tinggi milik Gunawan. Laki-laki itu tidak bergerak sama sekali, membuat Amelia semakin kesal.
“Kenapa sih ada manusia setinggi dia. Manusia apa patung Pancoran,?” Gumamnya. Gunawan hanya tersenyum puas melihat kekesalan di wajah Amelia.
Bagi Gunawan, saat Amelia merasa kesal, saat itulah dia terlihat sangat cantik dan imut. Dia merasa gemas pada Amelia saat sedang cemberut.
Amelia yang memiliki suara lembut dan kecil, akan terdengar seperi berbicara orang pada umumnya meski dia dalam keadaan marah dan berteriak. Hal itu yang membuat Gunawan begitu terpikat pada sosok Amelia.
Dia bahkan menyimpan foto Amelia yang terlihat sangat menggemaskan.
Setelah dua pekan melewati masa orientasi siswa, ini adalah pelajaran pertama yang akan mereka lalui. Pelajaran bahasa Indonesia.
Bagi sebagian orang, pelajaran ini adalah mapel yang sangat membosankan. Tapi tidak bagi Amelia. Dia begitu mencintai semua mapel. Tidak heran, jika akan menjadi satu-satunya orang yang akan mengangkat tangan saat guru meminta siswanya bertanya.
Bel istirahat berbunyi. Suara riuh dari kelas dan dari siswa lainnya terdengar seperti lebah yang keluar dari sarang. Bising dan tidak jelas.
“Ke kantin yuk,” ajak Gunawan.
“Males ah. Lagian aku bawa bekal.”
“Bagi lah.”
“Ogah.”
Meski sudah dilarang. Gunawan memaksa. Dia mengambil tepak makan Amelia, lalu mengambil makanan yang sudah disiapkan Ira dari rumah.
“Ihhhh, jangan diabisin.” Amelia berusaha mengambil kembali kotak bekalnya.
“Nggak, nih. Mangap buruan.” Gunawan menyuapkan anggur pada mulut Amelia. Gadis itu membuka mulutnya, lalu menggigit serta jari Gunawan.
“Awww, sakit tau!”
Amelia nampak tidak peduli. Dia kembali mengambil beberapa makanannya untuk segera dia lahap sebelum Gunawan mengambil dan menghabiskannya.
Meski pada akhirnya mereka berdua makan bersama. Meski sering bertengkar, nyatanya Amelia dan Gunawan jika sudah saling bercerita, hebohnya melebihi ibu-ibu arisan. Terlebih Gunawan jika sedang menceritakan suatu kejadian, dia akan memperagakan nya. Dan itu membuat Amelia tertawa terpingkal-pingkal.
Setelah semua pelajaran usai, tibalah mereka untuk pulang kembali ke rumah masing-masing. Berhubung arah sekolah Amelia dan tempat kerja Alex berbeda arah. Amelia terpaksa naik kendaraan umum meski dia tidak yakin jika dia bisa.
“Nunggu abang ya, neng?” Goda Gunawan saat Amelia tengah berdiri di pinggir jalan menunggu mobil angkot lewat.
“Pede banget.”
“Aku anterin. Tapi kali ini jangan ngajak ke kafe, kapok dimarahin Bang Rehan.”
“Hahaha. Takut lo sama Bang Rehan?”
“Banget. Lo gak tau sih gimana dia di club.”
“Oke, kali ini gue ikut. Pegel banget dari tadi nunggu angkot tapi gak datang-datang.”
Saat motor melaju menuju rumah Amelia, Gunawan berhenti di depan pedagang rujak buah. Dia membeli rujak campur lalu diberikannya pada Amelia.
“Buat gue?”
“Bukan, minta tolong pegangin doang.”
“Owalah, pede banget gue ya Allah.”
Gunawan tertawa.
Sepanjang perjalanan mereka ngobrol banyak hal. Banyak kadang mereka bergosip tentang teman masa smp nya dulu. Hingga tak terasa mereka sudah berada di depan rumah Amelia.
“Nih.” Amelia menyodorkan rujak buah pada Gunawan. Dan ternyata benar. Gunawan hanya meminta Amelia memegangnya saja.
Amelia kembali cemberut.
“Buat kamu yang ini.” Gunawan memberikan sebatang cokelat berwarna ungu.
“Takut kamu sakit perut kalau makan rujak. Kalau ini akan membantu kamu semangat belajarnya.”
Amelia mengambil cokelat itu,” terus itu rujak buat siapa? kamu suka makan rujak?”
“Buat bibi di rumah. Udah ya, aku balik. Besok mau aku jemput nggak?”
“Jangan, Papa ada di rumah kalau pagi. Dia kan masih marah sama kamu.”
“Oh jadi kita backstreet, nih.”
“Apaan sih.” Amelia memukul lengan Gunawan. Laki-laki itu sedikit menghindar meski sebenarnya dia suka diperlakukan Amelia seperi itu.
“Hati-hati lo di jalan.”
“Kenapa? Khawatir ya?”
“Gue takut dimarahin bokap lo, kalau lo celaka habis nganterin gue.”
“Gak apa-apa sih, paling diminta pertanggung jawaban. Semisal aku cedera, ya kamu harus ngurusin aku seumur hidup. Jadi istri gitu lah.”
“Ngarep! Buruan balik sana.”
Gunawan tersenyum manis sebelum dia kembali memakai helm. Amelia mengantar Gunawan dengan seuntai doa agar laki-laki yang selalu mengganggunya selamat sampai tujuan.
“Siapa?” Tanya Ira. Dia sejak tadi memerhatikan dari dalam lewat jendela.
“Itu Gunawan, Ma.”
“Yang dulu ke kafe sama kamu?”
“Iya, adek tadi nunggu angkot gak datang-datang, terus dia ngajakin bareng. Ya udah, adek ikut.”
“Dek, ganti baju. Nanti kita makan siang sambil mama mau ngobrol. Oh iya, papa hari ini gak pulang. Katanya mau ke toko yang dikelola Om Herman.”
“Iya, Ma.”
Setelah mandi dan solat, Amelia duduk sebentar. Membuka ponsel untuk melihat chat.
Tidak ada chat dari harlan. Dia sedang sibuk nyusun skripsi, hingga jarang memberikan kabar pada Amelia.
[Masih nyusun ya, kak? Jangan lupa makan ya, Kak.]
Amelia menyimpan ponselnya di atas meja belajar. Lalu turun untuk menemui Ira yang sudah menunggu di bawah.
Entah hanya perasaan Amelia atau memang suasananya yang terasa sangat tegang.
“Mama tidak suka kamu deket sama dia.”
“Kenapa, Ma? Lagian cuma kebetulan aja kok kami bareng.”
“Kalau status kamu masih pacaran sama Harlan, seharusnya kamu bisa menjaga jarak sama laki-laki lain.”
“Mama kenapa ih? Kak Harlan aja gak ngelarang.”
“Gak ngelarang karena dia gak tau. Dek, jadi perempuan itu harus punya harga diri. Harus bisa menjaga kehormatan. Bagaimana bisa kamu menjalin hubungan sama Harlan tapi kamu juga jalan sama pria lain?”
“Ma—“
“Mama punya mata. Mama juga perempuan. Mama bisa melihat bagaimana kamu menatap anak tadi.”
“Mama berlebihan, Ma.”
“Kita lihat saja nanti. Tebakan mama tidak salah.”
Ira bangkit, lalu meninggalkan Amelia yang tengah makan sendirian.