Setelah kemenangannya melawan keluarga Ashcroft, Xander menyadari bahwa kejayaan hanyalah gerbang menuju badai yang lebih besar.
Musuh-musuh lama bangkit dengan kekuatan baru, sekutu berpotensi menjadi pengkhianat, dan ancaman dari masa lalu muncul lewat nama misterius: Evan Krest, prajurit rahasia dari negara Vistoria yang memegang kunci pelatihan paling mematikan.
Di saat Xander berlomba dengan waktu untuk memperkuat diri demi melindungi keluarganya, para musuh juga membentuk aliansi gelap. Caesar, pemimpin keluarga Graham, turun langsung ke medan pertempuran demi membalas kehinaan anaknya, Edward.
Di sisi lain, Ruby membawa rahasia yang bisa mengguncang keseimbangan dua dinasti.
Antara dendam, cinta, dan takdir pewaris… siapa yang benar-benar akan bertahan di puncak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
"Aku mengerti, Tuan Evan."
Xander bisa bernapas lega untuk sekarang. Dengan ini, proses pencarian Evan Krest dan pengangkatan dirinya sebagai murid selesai dilakukan. Akan tetapi, alih-alih merasa senang ia justru merasa tegang karena penasaran dengan latihan yang akan dirinya jalani. Mendengar kata "neraka", ia harus bersiap untuk segala kemungkinan.
Xander menduga jika pelatihan ini akan membawanya pada keadaan hidup dan mati. Melihat keadaan pulau yang dipenuhi hutan, laut, dan beberapa batu curam serta latar belakang Evan Krest yang berasal dari militer, ia bisa sedikit menebak latihan apa yang akan dilaluinya.
Selama ini, Xander berlatih sangat keras dalam bimbingan para pengawal terbaik. Tak jarang, ia dihadapkan pada situasi berbahaya yang mengancam nyawanya. Akan tetapi, sepertinya latihan ini akan berbeda.
"Kau akan berlatih selama lima bulan dalam bimbinganku. Bernard dan Darren juga akan membantumu berlatih." Evan Krest bangkit dari kursi. "Sementara itu, aku ingin Kelly berlatih di bawah pasukanmu yang memiliki kemampuan dalam bidang teknologi. Kami tidak ingin jika hal seperti ini terjadi pada kami lagi. Kekalahan ini membuatku berpikir jika pengamanan yang kami lakukan selama ini belum ada apa-apanya. Apa kau setuju dengan hal itu, Alexander?"
"Aku sangat setuju, Tuan. Selain Kelly mendapatkan bimbingan dari pengawal terbaikku, kau juga berhak memperoleh teknologi dan kendaraan canggih dan memiliki keamanan tingkat tinggi untuk kau gunakan. Bila perlu, aku bisa memerintahkan pasukanku untuk berada di pulau ini," kata Xander.
Evan Krest tertawa. "Kau memiliki uang yang menjadi salah satu senjata mematikan di masa sekarang, Alexander. Kau lebih menyebalkan dari pria rua bernama Noah Blair. Aku membencimu, tapi di saat yang sama aku ingin semakin mengenalmu."
Evan Krest terdiam sesaat, melirik Miguel dan Govin bergantian. “Selain uang, kau juga memiliki orang-orang hebat yang kau percaya dan percaya padamu, Alexander. Apa mereka berdua juga melatihmu?"
Xander melirik Govin dan Miguel. “Mereka berdua adalah rekan kepercayaanku sekaligus pelatihku selama ini."
"Baiklah, aku akan menjelaskan semua detailnya besok pagi padamu. Sekarang, aku akan beristirahat. Kalian bisa mengobrol untuk mengakrabkan diri." Evan Krest menguap, berjalan menuju pintu yang berada di samping Kelly. “Pastikan kejadian malam ini tidak diketahui oleh orang-orang di pulau ini."
"Semuanya akan kami tangani, Tuan Evan." Xander memperhatikan Evan Krest yang menghilang diterkam jarak. la menoleh pada Govin. "Govin, bagaimana dengan pasukan kita?"
"Para pengawal yang terluka sudah semuanya diobati, Tuan. Mereka bisa kembali bertugas secepatnya. Selain itu, kejadian malam ini sudah ditangani oleh para pengawal."
Bernard mendekat pada Xander. "Aku harus mengaku jika aku kalah karena kecerdasanmu, Alexander. Tidak, maksudku kami kalah karena kecerdasanmu. Aku juga harus mengakui kalau kau sosok yang menarik. Kau berhasil membuat ayahku mau menerimamu sebagai muridnya, sesuatu yang sangat mustahil kudengar. Aku tidak sabar untuk melatihmu besok. Aku tidak berhenti meski kau menangis darah sekalipun. Aku akan tunjukkan bagaimana cara ayahku dalam melatihku dan Darren."
"Aku mohon kerja samamu, Tuan Bernard." Xander mengepalkan tangan erat-erat, menjadi lebih gugup dan senang di saat bersamaan.
Bernard menoleh pada Miguel. "Aku harap kita bisa bertarung dengan adil nanti. Aku senang karena kau muncul sehingga aku memiliki alasan untuk berlatih lebih keras lagi."
Miguel tidak membalas apa pun.
Darren ikut mendekat, menggaruk rambut yang tidak gatal. "Semua ini terjadi karena kesalahanku. Kalau saja aku tidak menargetkanmu dan lebih berhati hati dari serangan yang muncul, malam ini pasti akan berbeda. Aku sangat kesal karena kekalahan ini. Aku juga kesal karena ayah dan kakekku pasti akan menghukumku dengan berat, tapi aku sangat menantikan pelatihanmu, Alexander."
"Lain kali aku ingin mencicipi makananmu tanpa racun, Darren." Xander tertawa pelan.
Kelly ikut mendekat, berusaha bersikap biasa saat melihat Xander. “Aku juga sepertinya akan mendapat hukuman dari ayah dan kakek."
"Kita semua akan mendapatkan hukuman." Bernard memukul kepala Darren dan Kelly bersamaan. "Beristiharatlah, Alexander. Kau dan pasukanmu bisa menggunakan rumah di atas bukit yang kau tempati untuk beristirahat.”
Bernard, Darren, dan Kelly berjalan meninggalkan Xander ke arah Evan Krest pergi.
Beberapa menit kemudian, Xander memasuki rumah di mana ia dijebak tadi. Ia berbaring di atas ranjang, menatap langit-langit ruangan. Pertarungan tadi ternyata cukup singkat meski saat terjadi terasa sangat lama dan menegangkan.
Xander beranjak menuju jendela, mengamati pemandangan pemukiman warga dan laut. Angin berhembus cukup kencang ke arahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Xander menimbang antara menghubungi Lizzy atau tidak. Saat baru memutuskan untuk menelepon, Lizzy justru lebih dulu menghubunginya.
Xander tersenyum, dengan cepat menggeser tombol hijau. "Aku baru saja akan menghubungimu. Kenapa kau belum tidur?"
"Aku sejujurnya khawatir dengan keadaanmu, tapi syukurlah misimu berhasil."
"Itu misi yang sangat menegangkan. Aku senang karena semuanya sesuai dengan perhitungan dan rencanaku. Aku akan memulai pelatihan besok. Tuan Evan juga akan menjelaskan semua detail pelatihanku besok. Aku sejujurnya cukup tegang. Aku merasa kalau pelatihan ini akan berbeda dengan pelatihan yang biasa aku jalani. Aku juga tidak akan bertemu denganmu dan anak kita selama lima bulan ke depan."
"Kau bisa menjalaninya. Kau harus mengingat bagaimana kau berusaha sangat keras untuk menemukan Evan Krest. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Aku dan calon putra kita akan menunggumu dan mendoakan yang terbaik untukmu. Anakmu pasti bangga jika ayahnya pulang setelah menjadi kuat.”
Xander tersenyum. "Aku menjadi lebih tenang sekarang. Baiklah, segeralah beristirahat. Kau dan putra kita harus siap menungguku kembali."
Xander menatap layar ponsel ketika panggilan terputus. Seperti yang dikatakannya, ia memang menjadi lebih tenang sekarang.
Xander menghembus napas panjang, memejamkan mata sambil membiarkan angin berhembus ke arahnya. "Aku harus mempersiapkan diri untuk besok."
Xander kembali membaringkan tubuh di ranjang, memejamkan mata, dan tak lama setelahnya terlelap.
Sementara itu, di waktu yang sama, Edward, Troy, dan Tyler tengah berjalan mengikuti beberapa orang melewati sebuah lorong cukup gelap. Salah satu dari orang itu lalu membuka pintu dan berbicara sesaat dengan seseorang di dalam ruangan.
"Kalian bertiga boleh masuk," ujar orang itu.
Edward, Troy, dan Tyler memasuki ruangan. Ketiganya melihat seorang pria paruh baya sedang bercumbu dengan empat gadis muda di sebuah kursi. Banyak botol minuman, gelas panjang, dan kulit kacang yang berserakan di meja dan lantai. Televisi menyala tanpa ditonton siapa pun.
Pria paruh baya berambut gondrong itu tiba-tiba menoleh pada Edward, Troy, dan Tyler. Ia memberi tanda pada keempat gadis di dekatnya untuk pergi ke luar ruangan. "Sialan! Anak muda zaman sekarang benar-benar mengganggu, padahal aku sedang menikmati kesenangan."
Edward, Troy, dan Tyler merasakan aura yang sangat kelam dari pria gondrong yang kini menyalakan cerutu. Ketiganya masih sama-sama diam.
"Siapa kalian dan apa yang kalian inginkan dariku?" Pria yang tidak lain adalah Franklin menghembuskan asap rokok ke arah Edward, Troy, dan Tyler.
"Kami menemui Anda atas perintah tuan Caesar," ujar Troy.
Franklin tiba-tiba melotot tajam, melompat ke meja, lalu meloncat tinggi ke arah Edward, Troy, dan Tyler. Sebelum ketiga pria itu berhasil menguasai keterkejutan, Franklin sudah lebih dahulu menendang mereka hingga terlempar ke belakang.
Edward, Troy, dan Tyler seketika bertumbangan di lantai.
Franklin kembali mengisap cerutunya, tertawa. "Aku sudah lama tidak bertemu dengan Caesar. Aku dengar dia menjadi pembunuh bayaran nomor satu di Havreland. Kalian memiliki satu kali kesempatan untuk berbicara padaku. Katakan, apa yang dia inginkan dariku?”
#✌️✌️✌️
cepat² di up nya min
#makan2