Seorang pendekar tua membawa salah satu dari Lima Harta Suci sebuah benda yang kekuatannya bisa mengubah langit dan bumi.
Dikejar oleh puluhan pendekar dari sekte-sekte sesat yang mengincar harta itu, ia memilih bertarung demi mencegah benda suci itu jatuh ke tangan yang salah.
Pertarungan berlangsung tiga hari tiga malam. Darah tumpah, nyawa melayang, dan pada akhirnya sang pendekar pun gugur.
Namun saat dunia mengira kisahnya telah berakhir, seberkas cahaya emas, menembus tubuhnya yang tak bernyawa dan membawanya kembali ke masa lalu ke tubuhnya yang masih muda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biru merah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 8. Membunuh Pemuda Arogan
Tak berselang lama setelah kepergian pemuda arogan yang tangannya ditebas, ia muncul kembali. Kali ini ia tidak sendiri. Di belakangnya berdiri beberapa prajurit bersenjata lengkap dan seorang pria paruh baya yang membawa aura angkuh dan tekanan kuat—ayahnya.
"Itu dia, Ayah! Anak itu yang memotong tanganku!" serunya, menunjuk langsung ke arah Lin Yan dengan sorot dendam di matanya.
Pria itu, yang ternyata adalah salah satu tokoh penting dari Klan Api Timur, menatap Lin Yan dengan mata menyipit. Tanpa basa-basi, ia langsung memberi perintah, "Bunuh dia."
Dua orang prajurit segera melangkah maju. Mereka mencabut pedang dan langsung menerjang ke arah Lin Yan dan Guru Bai tanpa memperdulikan keramaian di sekitar mereka.
Namun sebelum pedang mereka sempat menyentuh tubuh siapa pun, tubuh mereka justru tumbang—masing-masing kehilangan kepala. Darah muncrat tinggi ke udara dan seketika ruangan menjadi hening.
Semua mata membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. Bahkan Guru Bai sendiri sempat terdiam, tidak menyangka bahwa muridnya bisa membunuh dengan begitu dingin dan tanpa ragu sedikit pun.
"Beraninya kau membunuh prajuritku!" teriak ayah dari pemuda itu, wajahnya merah padam karena marah.
Dengan kemarahan membuncah, pria itu langsung menerjang ke arah Lin Yan, pedang telah terhunus di tangannya. Namun sebelum serangan itu bisa dilancarkan, Lin Yan mengangkat kakinya dan menendang perut pria itu dengan keras.
Bugh!
Tubuhnya terpental jauh, menabrak dinding restoran dan jatuh berguling keluar. Pemuda arogan yang berdiri tak jauh dari situ langsung pucat pasi, lututnya mulai gemetar.
Lin Yan melangkah pelan ke luar restoran, mendekati pria itu yang tengah berusaha bangkit dengan wajah meringis kesakitan.
"Dengan kekuatan seperti ini, kau pikir bisa membunuhku?" ucap Lin Yan datar.
Meski secara tingkat resmi pria itu berada di level ahli menengah, jauh di atas Lin Yan yang hanya terlihat sebagai anak muda, namun perbedaan kualitas tubuh, tulang, dan pengalaman tempur membuat hasilnya sangat jauh berbeda.
"Ugh… sial... Tendangannya... membuat tulang dadaku retak..." gumam pria itu dalam hati sambil memaksakan diri berdiri.
Dengan tangan kanan menggenggam erat pedangnya, ia mengumpulkan tenaga dan meneriakkan jurus andalannya, "Rasakan ini! Teknik Pedang Awan Merah!"
Cahaya merah meledak dari tubuhnya saat ia berlari dan menebaskan pedang ke arah Lin Yan. Gerakannya cepat dan kuat, cukup untuk menakuti para pendekar muda biasa. Namun bagi Lin Yan, ini hanya gerakan lambat yang mudah dibaca.
Lin Yan mengangkat pedangnya dan menahan setiap serangan dengan tenang. Semakin lama, serangan pria itu mulai melambat. Napasnya memburu, keringat bercucuran. Staminanya cepat menurun, berbanding terbalik dengan Lin Yan yang masih terlihat santai.
Melihat celah terbuka, Lin Yan mengayunkan pedangnya—Srak!—sebelah tangan pria itu tertebas, jatuh ke tanah.
"Arrghh!" teriaknya sambil mundur dengan wajah pucat dan ketakutan.
Lin Yan terus mendekat, tatapannya datar dan tanpa belas kasih. Ketika hanya berjarak beberapa langkah, pria itu jatuh bersujud sambil memohon.
"T-Tolong… Jangan bunuh aku! Apa pun yang kau mau, akan kuberikan! Emas? Perak? Aku punya banyak! Bahkan harta keluarga!"
Lin Yan mengangkat alis, menatapnya penuh rasa jijik. "Yang kubutuhkan bukan hartamu," ucapnya pelan namun tajam. "Yang kuinginkan hanyalah kepalamu... dan kepala anakmu yang sudah menyinggungku."
Pria itu langsung panik, menoleh ke belakang sambil berteriak, "Cepat! Cepat kemari dan minta maaf!"
Pemuda arogan yang sejak tadi bersembunyi di balik tiang rumah makan kini keluar sambil gemetaran. Ia jatuh berlutut di hadapan Lin Yan, wajahnya basah oleh air mata dan keringat dingin.
"A-aku salah… a-ampuni aku… aku mohon…"
Lin Yan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia mengayunkan pedangnya, dan dalam sekejap, dua kepala menggelinding di tanah, meninggalkan jejak darah yang perlahan mengalir ke sisi jalan.
Orang-orang yang sejak tadi menyaksikan semuanya dari kejauhan kini terdiam. Namun di balik keheningan itu, beberapa orang justru menatap Lin Yan dengan rasa lega dan kekaguman.
Kedua ayah dan anak itu memang dikenal sering berbuat semena-mena, menindas rakyat kecil, dan menjarah seenaknya. Banyak warga kota yang menderita karena ulah mereka, tapi tak satu pun berani melawan.
Kini, dua sumber ketakutan itu telah tiada. Dan mereka semua tahu, kota ini baru saja terbebas dari belenggu yang mencekik selama bertahun-tahun.
"Angkut jasad mereka. Kembalikan ke klan mereka," ucap Lin Yan singkat kepada beberapa pria yang berdiri di sekitar.
Tanpa berkata-kata, beberapa orang segera mengangkat tubuh kedua orang itu. Lin Yan dan Guru Bai pun segera melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan kota yang kini sunyi namun penuh bisikan rasa syukur.
Di tengah perjalanan, saat langit mulai memerah karena senja, Guru Bai akhirnya membuka suara.
"Yan'er... Kenapa kau bisa membunuh tanpa ragu sedikit pun?"
Lin Yan menoleh, lalu menjawab lirih, "Mungkin karena masa kecilku, Guru. Hidup yang keras mengajarkanku untuk tak lagi mengenal belas kasih."
Tentu saja itu hanya sebagian dari kebenaran. Dalam hati, Lin Yan tahu bahwa sikapnya yang dingin adalah hasil dari kehidupan sebelumnya. Sebelum kembali ke masa lalu, ia sudah menumpuk mayat dari ratusan musuhnya. Perasaan kasihan dan ragu sudah lama ia kubur dalam-dalam.
Perjalanan mereka tidak semulus sebelumnya. Menjelang malam, mereka dicegat oleh sekelompok perampok bertopeng.
"Tunggu sebentar!" teriak salah satu dari mereka sambil mengacungkan senjata. "Serahkan semua barang kalian!"
Lin Yan menyeringai. "Dan kalau kami menolak?"
"Kami akan membunuh kalian!" jawab pemimpin mereka lantang.
Dalam sekejap, perampok-perampok itu mengepung Lin Yan dan Guru Bai dari segala arah.
Pertarungan pun pecah.
Jumlah mereka cukup banyak, dan kekuatan beberapa dari mereka berada di tingkat pendekar yang tidak bisa diremehkan. Namun Lin Yan tidak gentar. Ia menghunus pedangnya dan mulai menari di antara kerumunan musuh.
Teknik Tarian Pedang Laut dikerahkannya—gerakan anggun yang mematikan, satu per satu tubuh musuhnya tumbang, meninggalkan bau darah yang menyengat.
Melihat teman-temannya tewas dalam waktu singkat, perampok yang tersisa memilih melarikan diri.
Guru Bai menatap Lin Yan dengan sedikit heran, namun tetap diam. Ia tahu, muridnya ini bukan anak biasa.
Langit semakin gelap. Mereka memutuskan untuk tidak mengejar para perampok dan terus berjalan hingga malam tiba. Namun karena tidak sempat mencapai kota berikutnya, mereka akhirnya bermalam di dalam hutan.
"Yan'er, kau tidur dulu. Biar aku yang berjaga malam ini," ucap Guru Bai sambil duduk bersila di atas batu.
Lin Yan mengangguk pelan. Ia merebahkan tubuh di bawah pohon besar dan memejamkan mata. Tidurnya tenang, tanpa mimpi, tanpa rasa takut.
Keesokan harinya, mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Menjelang siang, akhirnya mereka tiba di sebuah kota yang memiliki gerbang besar bertuliskan:
Kota Harimau Hitam
Antrian untuk masuk kota cukup panjang. Ketika tiba giliran mereka, penjaga gerbang berkata, "Tiga keping perak untuk satu orang."
Guru Bai mengeluarkan enam keping perak dan menyerahkannya tanpa banyak bicara. Setelah itu, mereka pun memasuki kota dengan langkah ringan, siap menghadapi lembaran baru dari perjalanan panjang menuju Sekte Pedang Suci.
Dan masih banyak kata yg di ulang.
kayaknya sudah kehabisan ide uthor !