Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fitnah Dimulai
Koridor rumah sakit yang tadinya ramai kini terasa seperti panggung teater, di mana Mulia Anggraeni menjadi satu-satunya pemain yang menderita. Soraya menatap Mulia dengan mata penuh kebencian, seolah Mulia adalah makhluk paling menjijikan di dunia. Ia masih menyumpahi Mulia, bahkan saat Satria menariknya perlahan untuk menjauh.
"Jangan pernah lagi kamu dekati anakku, Mulia! Kalau tidak, aku akan pastikan hidupmu hancur!" ancam Soraya.
"Ma, sudah! Jangan begitu!" Satria memohon, suaranya dipenuhi frustrasi. Ia membawa ibunya pergi, meninggalkan Mulia yang masih terduduk di lantai, menangis dalam diam.
Mulia merasa hancur. Bukan hanya karena tamparan Soraya, tapi karena ia melihat betapa besar kebencian yang Soraya miliki untuknya. Ia merasa, ia tidak hanya merusak hidupnya sendiri, tapi juga hidup Satria.
Di tengah tangisnya, sebuah tangan terulur di depannya. Mulia mendongak. Di sana, Ikhsan berdiri, tatapan matanya dipenuhi rasa iba.
"Mulia... kamu tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya lembut.
Mulia menggeleng. Ia tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menangis. Ikhsan berlutut, membantu Mulia berdiri. Ia mengusap air mata Mulia dengan ibu jarinya. "Sudah, jangan menangis. Kamu tidak salah."
"Aku... aku tidak kuat, Ikhsan," Mulia berbisik, suaranya parau. "Aku tidak bisa lagi. Aku hanya ingin semua ini berakhir."
"Aku tahu. Tapi kamu harus kuat," kata Ikhsan. Ia membantu Mulia berjalan menuju ruangan ibunya.
Di sepanjang jalan, bisik-bisik dan tatapan-tatapan sinis masih mengiringi mereka. Mulia menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya. Ia merasa malu. Ia merasa, ia sudah tidak punya harga diri lagi.
Saat mereka tiba di depan pintu kamar Dewi, Ikhsan berhenti. "Mulia, aku akan mengambil obat ibumu. Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi."
Mulia mengangguk. Ia masuk ke dalam ruangan, menutup pintu di belakangnya. Ia menemukan Dewi sudah terbangun, menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran.
"Mulia... apa yang terjadi?" tanya Dewi.
Mulia tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia memeluk ibunya erat. "Bu... mereka menamparku. Mereka bilang aku wanita menjijikan. Mereka bilang aku perusak rumah tangga orang," ia berbisik di sela isak tangisnya.
Dewi membalas pelukan putrinya. "Sudah, Nak. Jangan menangis. Ibu di sini."
Setelah Mulia merasa lebih tenang, Dewi melepaskan pelukan putrinya. Ia menatap Mulia dengan mata penuh tekad. "Mulia, kamu harus berjuang. Kamu tidak boleh menyerah."
"Aku tidak bisa, Bu. Aku sudah lelah," jawab Mulia.
****
Setelah beberapa saat, Mulia keluar dari ruangan. Ia menemukan Ikhsan masih menunggu di sana. Mulia menatapnya. Wajahnya yang semula sedih, kini dipenuhi dengan tekad.
"Ikhsan," Mulia memulai. "Aku sudah memikirkan semuanya. Aku... aku setuju."
"Setuju apa, Mulia?" tanya Ikhsan, bingung.
"Aku setuju untuk menikah dengan kamu," jawab Mulia.
Ikhsan terkejut. Ia tidak menyangka Mulia akan menjawab secepat itu. Wajahnya berseri-seri. Ia tersenyum. "Mulia, kamu serius?"
Mulia mengangguk. "Ya. Aku serius. Tapi, ada satu syarat."
"Apa pun, Mulia," jawab Ikhsan, "apa pun untukmu."
"Aku ingin kamu membantuku membuktikan bahwa aku tidak bersalah. Aku ingin kamu membantuku mendapatkan keadilan," Mulia berbisik, matanya berkaca-kaca. "Aku ingin kamu membantuku membongkar kejahatan mereka."
Ikhsan tersenyum. "Itu bukan syarat, Mulia. Itu janjiku padamu. Aku akan melindungimu. Aku akan membantumu. Aku akan pastikan, mereka yang sudah menyakitimu, akan mendapatkan balasan yang setimpal."
Mulia menatap Ikhsan. Hatinya terasa hangat. Ia tidak tahu, apakah ia sudah jatuh cinta pada Ikhsan atau belum. Tapi, ia tahu satu hal. Ia percaya pada Ikhsan. Ia tahu, Ikhsan akan selalu ada di sisinya. Dan itu sudah cukup baginya.
****
Fitnah yang disebarkan Bu Hanim bagaikan racun yang menyebar perlahan, merusak reputasi Rumah Sakit Medika Sejahtera yang dipimpin Ikhsan. Awalnya hanya bisik-bisik, lalu menjadi berita daring dan viral di media sosial. Fitnah itu menuduh para dokter di sana melakukan malpraktik, bahkan ada tuduhan bahwa rumah sakit menerima suap dari pejabat untuk menutup kasus kematian pasien.
Dampak dari fitnah itu terasa begitu cepat dan brutal. Telepon rumah sakit terus berdering, dibanjiri oleh pasien yang marah dan khawatir. Mereka membatalkan janji, meminta pengembalian dana, dan memindahkan anggota keluarga yang sedang dirawat. Koridor rumah sakit yang biasanya ramai, kini sepi. Para perawat dan staf medis terlihat murung. Mereka merasa tidak adil, karena mereka tahu tuduhan itu tidak berdasar.
Ikhsan duduk di ruangannya. Wajahnya tegang. Ia menatap layar monitornya, membaca komentar-komentar negatif yang membanjiri akun media sosial rumah sakit. Ia merasa marah, bukan hanya karena reputasi rumah sakitnya yang tercemar, tetapi juga karena ia tahu siapa dalang di balik semua ini.
"Ikhsan, kita harus melakukan sesuatu," ucap Mulia yang menemaninya. Mulia melihat betapa lelahnya Ikhsan. Ia tahu, Ikhsan sedang menanggung beban yang berat.
"Aku tahu, Mulia. Tapi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Ikhsan, suaranya parau. "Mereka menyerang kita dari segala sisi. Kita tidak punya bukti."
"Kita bisa membuat pernyataan resmi," kata Mulia. "Kita bisa membantah semua tuduhan itu."
"Aku sudah mencobanya, Mulia. Tapi tidak ada yang percaya," jawab Ikhsan. "Mereka sudah termakan hasutan."
"Lalu, apa yang akan kita lakukan?"
Ikhsan terdiam. Ia memejamkan mata, mencoba berpikir jernih. Ia tahu, ia tidak bisa menyerah. Ia harus melindungi rumah sakitnya, ia harus melindungi semua orang yang bekerja di sana.
"Kita akan melawan," kata Ikhsan, matanya terbuka. "Kita akan membuktikan bahwa mereka salah. Kita akan membuktikan bahwa kita tidak bersalah."
****
"Bagaimana caranya?" tanya Mulia.
"Kita akan mencari bukti," jawab Ikhsan. "Bukti yang tidak bisa mereka bantah. Bukti yang akan membongkar kejahatan mereka."
Mulia menatap Ikhsan, matanya berkaca-kaca. Ia tahu, Ikhsan melakukan ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Mulia. Ia tahu, Ikhsan ingin membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
"Aku akan membantumu, Ikhsan," kata Mulia. "Kita akan menghadapi ini bersama-sama."
Ikhsan tersenyum. Senyum yang penuh harapan. Ia tahu, dengan Mulia di sisinya, ia bisa melewati semua ini. Ia tidak tahu, bagaimana mereka akan melawan. Tapi, ia tahu satu hal. Ia tidak akan pernah menyerah. Ia akan berjuang, ia akan membuktikan pada Bu Hanim dan Dinda, bahwa mereka tidak bisa menghancurkannya. Dan ia akan pastikan, mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Ikhsan segera memanggil kepala bagian IT dan humas. "Saya ingin kalian segera lacak semua akun yang menyebarkan fitnah ini. Cari tahu siapa di balik akun-akun itu. Jika perlu, kita akan menggunakan cara lain untuk menemukan dalangnya."
Kepala bagian IT mengangguk. "Baik, Direktur. Kami akan segera melakukannya."
Ikhsan menoleh ke arah Mulia. "Kamu bisa membantuku?"
"Tentu," Mulia mengangguk.
Mereka berdua bekerja keras, mencari bukti, mencari saksi, dan mencari petunjuk. Mereka tidak tidur, mereka tidak makan. Mereka hanya ingin membongkar kebenaran.