NovelToon NovelToon
Tuan Muda Kami, Damien Ace

Tuan Muda Kami, Damien Ace

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Romansa / Persaingan Mafia
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.

Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.

Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.

Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.

Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.

Kunci aku dalam labirin.

Kurung aku di dalam sangkar.

Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!

Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.

Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.

- Damien Ace -

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 Tidak Akan Rela

“Kau punya gambar yang bagus. Aku rasa aku tak akan pernah bisa menggambar sebaik dirimu,” ucap Celline, tulus memuji.

Daisy tersenyum bangga melihat hasil karyanya. “Aku tahu,” jawabnya riang. “Celline, kenapa kau tidak mencobanya juga?”

“Aku tidak pandai melukis.”

“Sekali saja … aku ingin melihat gambarmu juga.”

“Kau mungkin akan menertawakannya nanti.”

“Tidak akan.” Daisy mengangkat telunjuk dan jari tengahnya bersamaan, bersumpah dengan polos.

“Baiklah. Mungkin aku bisa mencoba sedikit.” Celline tersenyum dan dengan senang hati mengambil kertas gambar miliknya.

“Kenapa Paman belum kembali? Aku ingin menunjukkan ini padanya!” seru Daisy. Ia melompat turun dari kursinya dan berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan Celline yang kini mulai serius menggambar di halaman belakang.

Namun begitu masuk ke dapur, Daisy tidak menemukan Noah di sana—padahal tadi pria itu berkata akan membuatkannya minuman segar.

Di saat yang sama, telinganya yang peka menangkap suara keributan dari salah satu kamar.

“Kenapa kau selalu menyalahkanku? Bukankah itu artinya dia sadar diri?”

Suara seorang perempuan. Daisy langsung mengenalinya—itu suara Diana, ibu Noah. Kaki kecilnya melangkah pelan, mendekati sumber suara.

“Ibu, kenapa kau mengatakan itu? Aku tidak menyalahkanmu. Aku hanya bertanya—apakah Ibu mengatakan sesuatu pada Celline, itu saja!” Terdengar suara Noah, lebih tenang, tapi jelas menahan emosi.

“Bukankah itu sama saja dengan menuduhku? Kalau dia merasa bersalah, bagus dong! Artinya dia sadar betapa besar kesalahannya. Kalau dia mau pergi, ya pergi saja! Memang sudah sepantasnya dia tidak ada di sini. Siapa yang sudi melihatnya? Matamu saja yang buta! Bahkan ibu kandungnya sendiri tidak mau melihatnya! Dia kabur dengan pria lain, dan bahkan ketika kau menghilang pun, dia tak pernah muncul, apalagi berusaha mencarimu. Tapi kau, masih saja menahannya di sini seperti orang bodoh.”

Noah memejamkan mata, wajahnya mengernyit tajam. Kata-kata yang terdengar dari balik pintu itu menyakitinya lebih dari yang bisa ia bayangkan.

“Bu, aku pikir … waktu Ibu menerimanya kembali dan memintanya menjagaku, Ibu mengatakannya dengan tulus. Bahkan kau juga yang mendorongku untuk kembali bersamanya.”

“Memang! Tapi waktu itu aku belum tahu apa-apa! Setelah aku tahu betapa kotornya dia—aku jijik melihatnya di rumah ini!” Suara Diana meninggi. “Kalau dari awal aku tahu dia sudah ditiduri lima pria jalanan, aku pasti sudah menyingkirkannya jauh-jauh. Belum lagi pria yang menolongnya itu—ternyata dia cuma menjadikan Celline sebagai pelayan. Tidak lebih dari anjing peliharaan di rumahnya!”

Noah terdiam. Dadanya terasa sesak, bukan hanya karena kata-kata itu ... tapi karena satu pertanyaan besar yang tiba-tiba muncul di benaknya: bagaimana Ibu tahu semua itu?

Diana berteriak lantang, suaranya menggema di seluruh ruangan.

“Kenapa? Kau pikir aku tidak tahu? Pengasuh Eldy—saat Eldy masih bayi dulu—yang memberitahuku semuanya! Aku bertemu dengannya, dan dia menceritakan segalanya padaku. Bahkan salah satu temannya bekerja sebagai pelayan di rumah pria itu, dan dia melihat sendiri bagaimana mereka memperlakukan Celline … serendah itu.”

Ia menatap Noah dengan mata yang berapi-api.

“Buka matamu, Noah! Tidak ada yang sudi dengan wanita yang sudah dikeroyok lima pria kotor di jalanan seperti dia! Dan itu semua karena Alex, bukan? Sekarang aku tahu kenapa Celline dengan mudah merelakan kabar bahwa Eldy memberikan jantungnya pada anak Alex. Dia menjual jantung anaknya pada mereka, demi menebus dosanya!”

Diana menepuk dadanya, suaranya pecah di udara.

“Padahal itu aku! Aku yang merawat Eldy sejak dia kecil, dengan seluruh kasih sayang yang kumiliki! Aku yang menjaganya saat dia sakit! Aku yang menemaninya ketika dia kesepian, ketika dia menangis karena rindu pada Ayah dan Ibunya. Aku yang melakukan semuanya!”

Tangisnya pecah seiring amarah yang semakin membuncah.

“Apa kalian pernah memikirkan Eldy? Sekali saja, hah?! Apa kalian pernah memikirkan perasaannya? Pernahkah kalian mencoba mencari tahu bagaimana keadaannya?! Tidak! Tidak ada satu pun dari kalian yang memikirkannya! Kau dan Celline sama saja! Kalian hanya memikirkan diri kalian sendiri! Kalian tak tahu, Eldy di sini ... setiap hari menunggu kalian pulang!”

Suara Diana makin tersendat di antara tangis dan napasnya yang tersengal. Tubuhnya bergetar hebat.

“Dan setelah semua itu … Eldy masih memberikan jantungnya untuk Damien. Demi apa pun, aku tidak rela! Aku tidak akan pernah rela! Aku ingin mencabut jantung cucuku itu dan mengembalikannya ke tubuhnya lagi! Damien—anak itu seharusnya mati! Bahkan kalau dia hidup, aku bersumpah dia tidak akan pernah bisa hidup dengan baik dengan jantung cucuku di tubuhnya!”

“Cukup, Bu!” bentak Noah, keras, membelah udara. Suaranya membuat Daisy—yang berdiri diam di depan pintu—terjingkat ketakutan.

“Di rumah sakit, Ibu bilang sudah merelakan apa yang Eldy inginkan. Ibu sendiri yang mengatakan itu. Tapi sekarang, Ibu mengingkarinya!”

“Itu karena aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian!” jerit Diana, suaranya serak dan gemetar. “Sekarang aku tahu! Aku mengerti semuanya! Jantung Eldy hanya kalian jadikan alat tukar untuk menebus dosa kalian! Selama ini kau merawat anak orang lain, tapi kenapa kau tidak bisa melakukan hal yang sama pada Eldy, hah?! Kenapa?!”

Matanya merah dan bengkak, tapi amarahnya tak berhenti di sana.

“Eldy hanya anak kecil, Noah! Anak kecil yang tidak tahu apa-apa, selain menganggapmu ayahnya. Tapi kau—kau justru berpihak pada mereka! Kau biarkan jantung Eldy berada di tubuh anak sakit-sakitan itu! Dan apa balasannya? Sebagai bayaran, Alex mengirimmu untuk operasi tanganmu yang cacat itu!”

Napasnya berat, setiap katanya menusuk seperti duri.

“Dan Celline—tak peduli seberapa kejam dia terhadap Eve—mereka tetap memaafkannya. Kenapa? Karena jantung Eldy kini berdegup di tubuh anak mereka! Alex menerimanya bukan karena belas kasih … tapi sebagai penebusan dosa kalian!”

Diana menangis lagi, tapi tangis itu tak lagi lembut. Ia seperti tercekik oleh kebencian yang terlalu dalam.

“Kalian semua yang berbuat salah … tapi cucuku yang harus mengorbankan jantungnya untuk kalian. Kalian semua keterlaluan! Aku berharap Alex suatu hari nanti tahu rasanya kehilangan anak yang ia cintai! Saat hari itu tiba, aku sendiri yang akan mengambil jantung Eldy dari tubuh anaknya!”

Ia menunjuk pintu dengan tangan gemetar, wajahnya penuh air mata dan amarah.

“Dan Celline—aku tidak sudi wanita itu menginjak rumahku lagi! Kau juga, Noah, kalau kau ingin pergi bersamanya, pergilah! Kalian semua sudah cukup menyakitiku! Tidak peduli siapa Eldy sebenarnya—dia tetap cucuku! Anak yang kubesarkan dengan seluruh kasih sayangku! Dan kalian semua ….” Suaranya pecah di akhir kalimat, “… kalian hanya mengambil manfaat dari kematiannya.”

Daisy menangis terisak mendengar semua itu. Tapi dia bukan satu-satunya yang mendengarnya.

Celline juga mendengar—setiap kata, setiap teriakan yang keluar dari mulut Diana, sampai ke dalam dadanya yang terasa sesak.

Dari tempatnya berdiri, Celline melihat Daisy di depan pintu kamar Diana. Gadis kecil itu menangis tanpa suara, bahunya berguncang hebat. Namun, Celline sendiri tak lagi sanggup menahan air matanya.

Tanpa berpikir panjang, ia berlari menaiki tangga, masuk ke kamarnya, dan menutup pintu rapat-rapat. Hanya isak tertahan yang terdengar dari balik pintu itu.

Sementara itu, Daisy berlari keluar dari rumah dengan langkah kecil yang tergesa. Ia tak tahu harus ke mana, selain mencari satu-satunya orang yang selalu membuatnya merasa aman—Edgar.

Edgar yang sedang berada di halaman depan segera menoleh saat mendengar tangisan Daisy. Wajahnya seketika panik.

“Daisy? Ada apa?” tanyanya cemas.

“Aku ... aku ingin pulang ....” Suaranya patah, nyaris tak terdengar. Matanya merah, penuh air mata yang tak berhenti mengalir.

Edgar berjongkok di hadapannya, lalu mengusap lembut kepala gadis kecil itu. “Baiklah. Ayo, kita pulang.”

Tanpa banyak tanya, ia membimbing Daisy masuk ke dalam mobil, lalu melajukan kendaraan menjauh dari rumah itu.

Sepanjang perjalanan, Daisy hanya menangis. Tangis yang panjang, terisak sampai suaranya serak dan akhirnya hilang. Mobil dipenuhi suara napasnya yang tersengal dan sesekali terputus oleh sedu yang tertahan.

Edgar menghentikan mobil di pinggir jalan, turun sebentar untuk membeli air minum. Saat kembali, ia membuka tutup botol dan menyerahkannya pada Daisy.

“Minumlah, agar kau sedikit tenang.”

Daisy menerimanya, tapi tangannya gemetar. Ia mencoba meneguk, namun air itu tak juga bisa masuk ke tenggorokannya. Dadanya sesak, napasnya tersengal.

Tanpa berkata apa-apa, Edgar menarik tubuh kecil itu ke pelukannya. Ia mengelus lembut punggung Daisy, menepuknya perlahan, menenangkan tanpa suara.

Ia tahu, kadang tidak ada kata-kata yang bisa menenangkan luka sebesar itu.

Daisy menangis lagi di pelukannya—kali ini lebih pelan, lebih dalam. Hingga akhirnya tangis itu mereda, bukan karena ia sudah tenang, tapi karena kelelahan.

Edgar kembali mengulurkan botol air. “Pelan-pelan saja,” bisiknya lembut.

Daisy meneguk sedikit demi sedikit. Tenggorokannya yang tadi kering mulai terasa lega. Tapi matanya tetap bengkak, pandangannya kosong.

“Kau mau cerita padaku?” tanya Edgar hati-hati.

Daisy hanya menggeleng pelan. Isak kecil masih membuat pundaknya naik turun.

“Baiklah,” ujar Edgar, suaranya serupa belaian. “Aku tidak akan memaksa. Kau bisa bicara kapan pun kau siap.”

Mobil kembali melaju. Kota yang mereka lewati tampak kabur oleh sisa hujan dan lampu-lampu yang berpendar samar.

Edgar sengaja tidak langsung membawanya pulang. Ia berkeliling, berharap pemandangan di luar bisa sedikit mengalihkan pikiran Daisy.

Beberapa waktu berlalu dalam diam, sampai akhirnya Daisy bersuara lirih, “Ed ….”

“Ya?” jawab Edgar, menoleh sekilas.

“Apa ... apa Ayahku sangat jahat?”

Edgar menatapnya lama, lalu menggeleng pelan. “Tidak, Daisy. Siapa yang bilang begitu? Kalau Tuan sejahat itu, aku tak akan bekerja dengannya.”

Daisy terdiam sejenak, lalu berbisik, “Apa Damien akan sembuh?”

“Ya,” jawab Edgar mantap. “Damien pasti akan sembuh. Dia hanya butuh waktu untuk pulih.”

Sunyi lagi. Daisy menatap keluar jendela, melihat cahaya lampu jalan yang berlarian seperti bintang.

“Ed ....” Suaranya nyaris tak terdengar, “… aku rindu Ibu. Aku ingin Ibu memelukku.”

Edgar tak menjawab. Ia hanya melirik gadis kecil itu lewat pantulan kaca spion.

Dan di dalam hatinya, ia tahu—rindu yang diucapkan dengan air mata seperti itu ... adalah rindu yang tak bisa segera terjawab.

***

1
Dheta Berna Dheta Dheta
😭😭😭😭
Idatul_munar
Gimana ayah nya tu..
Arbaati
hadir Thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!