"Itu hukuman buat kamu! Jangan sampai kau melanggar lagi aturan sudah yang aku buat. Kalau tidak …." Kalimatnya menggantung.
"Kalau tidak apa, Kak?" tanya Lyana mulai berani.
"Sesuatu yang lebih buruk dari ini akan terjadi." Anggara berlalu dari hadapan Lyana. Aliran darahnya mulai memanas.
"Hah, sesuatu yang buruk? Bahkan kakak sudah mencuri ciuman pertamaku, menyebalkan." Kini giliran Lyana yang marah. Dia membuka dan menutup pintu kamar dengan keras. Sirkuasi udara di dalam kamar seolah berhenti seketika.
"Ciuman Pertama? Hah, pandai sekali dia berbohong."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon My Starlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Lyana
Jantung Anggara berdetak semakin keras saat mendekati perempuan itu. Belum apa-apa lutut Anggara sudah kehilangan masa ototnya, lemas tak berdaya. Dering ponsel di tanganya membuat Anggara terperanjat melihat benda pipih itu. Nama Popy muncul dilayar bebarengan dengan suara tangis perempuan di hadapanya mengeras.
“Bukan suara Lyana, lalu siapa?” batin Anggara. Walaupun sudah bisa bernafas lega, namun dia masih harus menemukan Lyana. Kobaran api sudah hampir melahap separuh badan mobil. Dering ponsel di tanganya terabaikan.
“Mari saya bantu.” ucap Anggara sambil membantu perempuan berambut mirip Lyana itu bangun. Anggara bisa melihat tepat di lengan dan kaki kanannya terdapat luka memar dan berdarah, tanda bekas hantaman yang menimpanya cukup keras. Beruntung tidak mengenai bagian kepala.
"Benar, bukan Lyana." gumam Anggara yang sudah bisa melihat jelas wajah perempuan itu.
“Terimakasih pak.” Perempuan itu mengulurkan tanganya, namun dia nampak kesusahan untuk berdiri dengan tegak. Anggara memapahnya pelan ke sisi yang aman, khawatir mobilnya akan meledak.
Suara sirine mobil ambulance dan polisi mulai mendekat. Salah seorang polisi mengusap wajahnya kasar. Sial mobilnya terbakar ! dengan segera polisi berwajah blasteran china itu menghubungi pihak pemadam kebakaran.
Suasana semakin tegang tatkala polisi itu mendengar suara tangisan bayi yang entah di mana keberadaanya. Kepulan asap mulai terlihat menghitam. Para polisi itu saling membantu, ada yang mengatur lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan, ada yang menghampiri tim medis untuk memeriksa keselamatan korban, ada juga yang memeriksa para saksi bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi.
Di tengah keramaian itu, perempuan yang belum diketahui identitasnya menarik tangan Anggara.
“Tolong selamatkan anaku pak.” lirih perempuan itu berkata, air matanya mengalir deras.
“Anak? Di mana bu?” Anggara menghentikan langkahnya. Salah satu tim medis terlihat mendekat membawa kotak putih.
“Dok, nggak apa-apa?” tanya Rini yang ternyata di tugaskan ke Lokasi. Anggara menggeleng, dia menoleh ke arah Perempuan di sampingnya.
“Tolong urus dia sus, saya masih ada urusan.” Anggara yang hendak berlalu di cegah Perempuan itu.
“Tolongin anak saya dulu pak, saya mohon.” Perempuan itu memelas meraih tangan Anggara lagi tapi di tepis dengan segera.
“Maaf bu, saya masih ada urusan. Nanti biar saya sampaikan kepada polisi. Permisi.” Anggara melanjutkan langkahnya. Tak lupa mengampiri polisi berwajah chindo itu , ternyata benar semakin mendekat semakin terdengar suara tangisan bayi.
“Bayinya di mana pak?” tanya Anggara.
“Belum ketemu Dok.” jawab petugas polisi itu singkat.
“Tolong cari ya pak, Ibunya akan menuggu di Rumah Sakit, dia korban kecelakaan tadi.”
“Baik pak,” polisi itu menganggukan kepalanya.
"Oh iya, laki-laki baju hitam itu tadi mengemudi dengan ugal-ugalan. Tolong cek urinya juga ya pak, takutnya dia sedang mabuk atau mengkonsumi narkoba."
"Siap dok, terimakasih." Polisi itu menganggukan kepalanya lagi.
Anggara melihat sekeliling, suara tangisan bayi itu memenuhi telinga. Namun mata Anggara justru melihat pangkalan ojeg yang berada tidak juh dari tempatnya bediri.
“Apa jangan-jangan Lyana pergi naik ojek ya?” gumam Anggara, dia baru ingat tadi Popy menghubunginya. Ada apa ya, Anggara meraih ponselnya dan beberapa pesan masuk melalui aplikasi hijau itu.
“Tuan, nona Lyana sedang menuju ke rumah saya. Saya harus bagaimana tuan?” pesan pertama yang Anggara buka dari Popy. Hah, akhirnya. Aku menemukanmu Ly.
"Jaga dia untuku." Anggara membalasnya singkat, yang di sana sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Menjaga Lyana dari siapapun yang menganggunya sekalipun itu orang suruhan Tuan besar.
Anggara berjalan cepat menyusuri jalanan yang kini mulai ramai, kembali ke tempat parkir rumah sakit. Anggara harus menjemput Lyana, di sana para wartawan itu sudah tidak terlihat lagi, tapi ekor mata Anggara justru melihat sesosok yang dia kenali. Niko, manajernya di SJ entertaiment tempat Anggara memulai karirnya sebagai publik figur sampai sekarang. Pipinya tampak lebam, bibir bawahnya juga terluka. Tak ada yang tahu bahwa Niko adalah tangan kanan Hardianto untuk mengawasi Anggara.
Hardianto yang saat itu dengan amat terpaksa menandatangani kontrak dengan tuan besar, sudah memikirkan bagaimana dia bisa menjaga putrinya dari jauh. Rencara Hardianto adalah menjerat Anggara ke dunia entertaiment, agar apapun yang dilakukan dokter muda itu Hardianto bisa tahu. Termasuk, postingan pribadi Anggara yang terakhir dua tangan yang saling menggenggam.
Memikirkan apa rencana Anggara yang sebenarnya saat itu membuat Hardianto geram. Takut jika menantunya itu hanya menjadikan putri semata wayangnya tawanan untuk selamanya. Hardianto tidak bisa membayangkan penderitaan Lyana, terlebih anak seumuran dia harus menjadi Ibu sambung Reno.
Saat itu, Niko memang sudah lama bergelut di bidang manajemen artis ibu kota. Ternyata Tuhan punya rencana lain di balik bencana yang menimpa keluarga Niko. Saat itulah dia dipertemukan dengan Hardianto yang saat itu masih menjadi dokter aktif di UGD. Bahkan Niko merasa keluarganya berhutang budi banyak kepada Hardianto yang sudah membantu biaya pengobatan kelauarganya. Hardianto juga memberinya modal untuk memperbesar SJ entertainment . Sehingga sekarang dia mempunyai kehidupan yang layak pasca kebakaran yang terjadi di rumahnya sepuluh tahun lalu.
Niko menerima dua pukulan di wajah tirusnya. Rahang kecil itu kalah kuat dengan tangan anak buah Hardianto yang lain. Klarifikasi itu adalah sumber masalahnya. Harusnya katakan saja kebenaran tentang KDRT itu agar karir Anggara redup, agar dia bisa melepaskan Lyana dari jeratan laki-laki keras kepala itu.
“Kenapa wajahmu? Apa wartawan itu yang mengeroyok wajah ini.” Anggara duduk di sebelah Niko.
“Sial ! ini demi 50 juta darimu Gar.” sanggah Niko yang mengusap rambutnya kasar. Kaki kananya dia angkat keatas kemudian melihat lebam yang di pipi Anggara.
“Cih ! apa mereka juga melakukanya padamu?” kini tangan Niko menyentuh pipi Anggara tapi setika langsung di tepis.
"Enggak." jawab Anggara singkat.
"Terus kenapa? pakai ini. " Niko menyerahkan salep berukuran kecil itu ke tangan Anggara.
"Nggak apa-apa kok. " pungkas Anggara. Tanganya menolak untuk menerima salep itu.
"Jangan gitu, hadap sini. " Niko dengan keberanian yang cukup tinggi itu meraih pipi Anggara. Perlahan dengan sangat hati-hati Niko mengoleskanya. Anggara terdiam menerima perlakuan manager yang sudah dia anggap seperti saudara sendiri.
Pemandangan apa ini? Babak belur aja barengan, ternyata semesta sedang menertawakan mereka. Keduanya bahkan tidak tahu bahwa luka itu berasal dari orang yang sama. Niko sendiri masih merahasiakan hubunganya dengan Hardianto kepada Anggara. Sementara Anggara sudah enggan membahasnya lagi.
Seandainya waktu bisa di putar, Anggara ingin sekali kembali ke masa-masa dia bisa memilih menerima perjodohan dengan hati lapang, berkenalan dengan Lyana, jatuh cinta kemudian menikah.
Anggara menatap nanar foto dirinya yang sedang memeluk Reno di meja dokternya. Harusnya ada foto Lyana bukan di sini? Anggara mengusap bingkai foto itu. Hatinya gelisah menunggu informasi dari Popy. Apa dia langsung jemput aja sekarang? Jari Anggara sudah bertengger di atas kunci mobil yang berada tidak jauh dari foto itu, kemudian menggenggamya.
"Apa Lyana masih mau bertemu denganku? tadi saja dia menghindar, berarti benar Lyana mendengar semuanya.
"Huh, tahu gitu tadi aku kunci aja ruanganya." Anggara jadi kesal sendiri .
Sekarang, bunga saja sudah tidak percaya lagi pada tangkainya. Apa lagi Lyana.
.
.
.
.