Sean Montgomery Anak tunggal dan pewaris satu-satunya dari pasangan Florence Montgomery dan mendiang James Montgomery yang terpaksa menikahi Ariana atas perintah ayahnya. Tiga tahun membina rumah tangga tidak juga menumbuhkan benih-benih cinta di hati Sean ditambah Florence yang semakin menunjukkan ketidak sukaannya pada Ariana setelah kematian suaminya. Kehadiran sosok Clarissa dalam keluarga Montgomery semakin menguatkan tekat Florence untuk menyingkirkan Ariana yang dianggap tidak setara dan tidak layak menjadi anggota keluarga Montgomery. Bagaimana Ariana akan menemukan dirinya kembali setelah Sean sudah bulat menceraikannya? Di tengah badai itu Ariana menemukan dirinya sedang mengandung, namun bayi dalam kandungannya juga tidak membuat Sean menahannya untuk tidak pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ariana Di Sini
Pagi itu udara di halaman rumah kecil yang baru dibeli Ariana masih segar. Embun belum sepenuhnya mengering di atas rumput. Di tangan Ariana ada seember kain basah yang baru selesai ia cuci. Satu per satu ia angkat dan jemur di tali yang terbentang dari pohon mangga ke dinding belakang rumah. Rumah itu sederhana: dua kamar tidur, ruang tamu kecil, dapur mungil yang langsung menyatu dengan halaman luas di belakang. Tidak ada marmer, tidak ada chandelier, tidak ada pelayan. Tapi ada ketenangan yang tidak pernah ia dapatkan selama menjadi Nyonya Montgomery. Napas Ariana jauh lebih lega setelah pindah kesini, jauh dari hiruk pikuk kota. Ariana tinggal di sebuah desa pelosok Kalimantan. Udaranya sejuk dan penuh pepohonan.
Ariana membeli rumah ini secara cash menggunakan setengah dari deposito miliknya. Jumlahnya cukup besar, setengah lagi masih bisa ia gunakan untuk biaya lahiran dan membuka usaha. Tadinya ia tidak ingin mencairkan uang itu, tapi melihat dua orang pria mengikutinya tempo hari ke bank membuatnya berubah pikiran. Setelah berpikir panjang, sore hari itu juga ia kembali ke bank untuk mengurus pencairan deposito sekaligus menutup akun banknya. Rumah lamanya di Jakarta sengaja dibiarkan. Semua barang masih tertinggal di sana, termasuk tabungan hasil berjualan kue. Tidak sengaja ditinggalkan, Ariana lupa karna terlalu terburu-buru.
Tidak apa-apa kalau Ariana harus mengulang dari nol satu kali, dua kali, tiga kali bahkan seribu kali. Yang terpenting adalah bayinya selamat. Sesekali Ariana berhenti, mengelus pinggang yang mulai terasa panas dan pegal. Ia mengelus perutnya pelan, ini sudah ia rasakan sejak tengah malam. Firasatnya mengatakan sebentar lagi bayinya akan lahir.
Selama di rumah Ariana menghabiskan waktu untuk membaca step by step pregnancy dan perawatan bayi baru lahir. Ariana menyentuh perutnya yang semakin membesar. Bayinya bergerak pelan, seolah menjawab keresahan ibunya.
“Maafkan Mama, Nak,” bisiknya lirih. “Kita harus sembunyi. Bukan karena Mama pengecut, tapi karena Mama ingin kamu lahir dengan selamat.”
Suara langkah kaki di halaman depan membuatnya menoleh. Bryan muncul dengan baju dinasnya, lengan bajunya digulung memperlihatkan ototnya yang besar, keringat membasahi pelipisnya. Di tangannya ada sebuah kotak besar.
“Aku bawa ini,” katanya sambil tersenyum lebar. “Box bayi, aku akan merakitnya sendiri.”
Ariana menatap kotak itu lama, lalu menatap Bryan. Ada rasa haru yang tak bisa ia sembunyikan. “Bryan… kau sudah melakukan terlalu banyak hal untukku. Aku tidak tahu bagaimana caranya membalas semua ini.”
Bryan meletakkan kotak itu di teras, lalu menepuk-nepuk tangannya. “Jangan terus-terusan bilang terima kasih. Aku senang melakukannya.”
“Tapi aku sungguh tidak akan bisa membalasmu.” Ariana menatap Bryan lembut. “Kau mempertaruhkan segalanya demi aku dan bayiku.”
Bryan hanya menggeleng. “Aku tidak butuh balasan. Kau aman saja, itu sudah cukup.”
Ariana tersenyum tipis, mengingat pengorbanan Bryan untuk membawanya sampai ke tempat ini.
Ruang tunggu klinik kecil itu penuh ketegangan. Di hadapan Ariana berdiri Bryan dan Pak Faisal. Bu Ajeng membawa Risa keluar, pembicaraan ini sangat serius.
“Kalau aku tetap di sini,” suara Ariana serak, “aku tidak yakin bayiku akan selamat.”
Bryan menatap Ariana lama. Ada ketakutan yang dalam di mata wanita itu.
“Apa kamu mengenal mereka? Maksudku apa kamu punya orang yang dicurigai?”
Ariana terdiam sejenak. “Kalian tau Sean Montgomery?”
Pak Faisal menyahut, “Siapa yang tidak mengenalnya di kota ini? Apa hubunganmu dengan penguasa itu, Nak?”
Ariana menunduk, “Di-dia adalah ayah dari bayiku.”
Bryan dan Pak Faisal tersentak,
“Jadi kamu istri Sean Montgomery?” tanya Bryan.
Ariana menggeleng, “Lebih tepatnya mantan istri. Dia tidak mencintaiku dan juga tidak menginginkan bayi ini. Kami dijodohkan oleh almarhum papa mertuaku. Ibunya Sean tidak menyukaiku, ia ingin menantu yang setara sehingga menjodohkan Sean dengan Clarissa. Setelah bercerai aku pikir hidupku aman, ternyata tidak. Florence dan Clarissa datang mengganggu, ingat tempo hari waktu aku perdarahan?”
Bryan mengangguk, “Ya, Florence yang melakukannya.”
Cerita Ariana membuat Pak Faisal dan Bryan terenyuh, wanita di depannya ini pasti sangat menderita. Bryan menatap Ariana lama, apa yang akan terjadi dengannya jika mereka pergi dan ia sendirian?
Bryan menoleh ke ayahnya. Pak Faisal langsung paham arti tatapan itu. “Bryan…” suaranya berat, menekan. “Kau tahu resikonya. Ini bukan main-main. Kalau kau melakukan ini, kau bisa kehilangan kariermu. Mereka orang berkuasa, Montgomery bisa menghancurkan hidupmu hanya dengan satu perintah.”
Bryan menarik napas panjang. Ia menatap Ariana lagi. “Aku yakin, Yah.”
Pak Faisal terdiam. Ada rasa khawatir yang dalam di wajahnya, tapi juga kebanggaan. Ia menepuk bahu anaknya perlahan. “Kalau begitu… lakukan dengan hati-hati.”
Saat itu juga Bryan membawa Ariana ke pelabuhan. Pak Faisal, Bu Ajeng dan Risa berangkat ke Kalimantan menggunakan pesawat.
Kondisi saat ini tidak memungkinkan Ariana untuk bepergian dengan transportasi umum. Nama dan identitasnya pasti akan tercatat. Montgomery mampu mengambil semua data itu sengan sekali tepuk.
Tidak ada pilihan lain, Bryan memilih jalur lain: laut. Ia adalah seorang Letnan, dan di tangannya ada cara untuk menyeberangkan seseorang tanpa identitas. Jalur ini berbahaya dan ilegal, tapi hanya itu satu-satunya cara.
Malam itu Ariana mengenakan kerudung besar, Bryan mengatur agar ia bisa menyelinap di antara kargo kapal laut. Bryan sendiri yang memastikan mereka masuk tanpa meninggalkan jejak.
Dua hari dua malam mereka di kapal itu. Gelombang menghantam, aroma asin laut memenuhi udara, bunyi mesin berderak setiap jam. Ariana lebih banyak duduk dan berbaring, tangannya melingkari perut. Bayinya tetap kuat dan tenang, meski ibunya diguncang gelombang.
Ariana sempat muntah beberapa kali, tapi Bryan tetap setia di sisinya. “Aku nggak apa-apa.” Ucap Ariana berkali-kali melihat raut kekhawatiran di wajah Bryan.
Setiap kali Ariana memandang Bryan samar dalam keheningan malam. Selalu muncul rasa syukur sekaligus rasa bersalah. Bagaimana mungkin ia bisa seberuntung ini, dikelilingi orang-orang yang rela mempertaruhkan nyawa untuknya? Ia tahu betul lelaki itu mempertaruhkan lebih dari sekadar karier. Ia mempertaruhkan hidupnya.
Bryan tak banyak bicara selama perjalanan. Ia hanya berjaga, berdiri di dek, memeriksa sekeliling, sesekali masuk untuk memastikan Ariana sudah makan roti atau minum air.
Hari ketiga, fajar baru saja merekah ketika kapal merapat di pelabuhan kecil yang nyaris sepi. Pak Faisal sudah menunggu di area tersembunyi, mobil tuanya diparkir di balik gudang.
Begitu Ariana turun dari kapal, Pak Faisal segera menghampiri, menahan bahunya agar ia tidak jatuh. “Syukurlah kau selamat, Nak.”
Ariana menunduk, air mata menetes. “Terima kasih, Pak… aku tidak tahu harus berkata apa selain terimakasih banyak.”
Pak Faisal hanya menggeleng. “Sudah, jangan banyak bicara di sini. Kita harus cepat pergi.”
Mereka masuk ke mobil, meninggalkan pelabuhan tanpa ada jejak administrasi, tanpa ada catatan. Seolah Ariana tidak pernah ada di kapal itu.
Kini Bryan di sampingnya membuka kotak besar, mulai merakit box bayi dengan alat seadanya dengan cekatan.
Ariana berdiri di dekatnya, menatapnya lama. “Aku benar-benar tidak tahu bagaimana membalas semua ini.”
Bryan menoleh, matanya jernih. “Kau tidak perlu membalas apa pun. Selama kau aman, itu sudah cukup untukku.”
Ariana menunduk, menyeka matanya yang basah.
clarissa jangan bersaing dengan upik abu, carilah saingan yang seimbang /CoolGuy/