Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.
Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?
Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Dua minggu setelah pertemuan besar itu, Studio Garasi resmi pindah dari ruko kecil di Rawamangun ke gedung yang lebih layak di daerah Kemang.
Gedung dua lantai dengan ruang yang jauh lebih luas, AC yang berfungsi dengan konsisten, dan bahkan ada pantry kecil dengan kulkas dan microwave yang membuat jam makan siang jadi lebih beradab.
Kael berdiri di tengah lantai satu yang masih kosong dengan kardus-kardus packing berserakan di mana-mana.
"Ini gila. Setahun lalu kita mulai di garasi yang gak lebih besar dari kamar kos. Sekarang kita punya gedung dengan ruang pertemuan yang proper, studio produksi yang lengkap, dan bahkan ruang pemutaran kecil," gumamnya sambil menatap sekeliling dengan perasaan yang kewalahan tapi juga bersyukur.
Rani masuk dengan membawa kotak berisi sketsa dan karya seni lama yang mereka ingin pajang di dinding sebagai pengingat tentang perjalanan mereka.
"Lu sentimental liat ini semua ya? Gue juga. Tapi ini adalah perkembangan yang wajar. Kita pantas dapat ruang yang lebih baik untuk dukung ambisi yang lebih besar," ucapnya sambil menaruh kotak dengan hati-hati, tangannya menyeka debu yang menempel di permukaannya.
"Gue cuma gak mau kita kehilangan yang penting dalam transisi ini. Kadang, ketika situasi jadi terlalu nyaman, orang kehilangan semangat mereka, kehilangan dorongan untuk dorong batasan dan berinovasi," balas Kael dengan kekhawatiran yang tulus, matanya masih menatap ruangan kosong dengan kontemplasi yang dalam.
"Itu adalah kekhawatiran yang valid. Tapi gue rasa selama kita sadar menjaga nilai dan rutin evaluasi apakah kita masih di jalur yang benar, kita akan baik-baik aja. Plus, dengan proyek-proyek yang menuntut yang udah kita komit, gue gak rasa ada risiko untuk jadi terlalu nyaman dalam waktu dekat," jawab Rani dengan kepastian sambil berjalan menghampiri Kael, tangannya meraih tangan Kael dengan lembut untuk memberikan kenyamanan fisik yang sederhana tapi efektif.
Sore harinya, seluruh tim berkumpul untuk bantu dengan penataan studio baru.
Furniture yang baru dibeli mulai disusun.
Peralatan produksi dipindahkan dengan hati-hati dari lokasi lama.
Poster serta karya seni mulai dipajang di dinding yang masih berbau cat segar.
"Meja gue taruh di mana? Deket jendela atau di pojok yang lebih privat?" tanya Agus sambil mendorong meja kerjanya yang sudah agak berat dengan bantuan Budi yang dorong dari belakang.
"Taruh deket jendela aja. Cahaya alami bagus untuk mata dan suasana hati. Gue gak mau tim kita kerja di lingkungan yang terlalu steril atau menyedihkan," jawab Dimas sambil mengatur tata letak dengan pertimbangan yang bijak tentang ergonomi dan kesejahteraan tim.
Arman yang dari tadi memasang peralatan audio di pojok yang sudah dipasangi panel peredam suara akhirnya bersuara dengan kegembiraan yang jarang terdengar dari dia.
"Guys, dateng lihat ini! Sistem audio yang baru ini gila! Kualitasnya beda banget dari setup lama kita yang seadanya. Kita bisa produksi suara dengan kualitas profesional yang bisa bersaing dengan studio besar!"
Semua orang berkumpul untuk dengerin demo yang Arman putar, mata mereka membulat dengan apresiasi untuk peningkatan yang signifikan ini.
"Sepadan dengan setiap rupiah yang kita investasi untuk ini," komentar Budi dengan kepuasan yang terlihat jelas di wajahnya yang tersenyum lebar.
Malam itu, setelah semua penataan selesai dan studio sudah mulai terlihat seperti tempat kerja yang layak, mereka semua duduk di lantai yang masih dingin dengan makan malam pesanan dari restoran Padang favorit mereka.
Tidak ada meja atau kursi yang sudah siap, jadi mereka makan dengan gaya piknik yang mengingatkan mereka tentang hari-hari awal di garasi.
"Bersulang untuk babak baru. Untuk gedung baru yang akan jadi saksi dari karya-karya luar biasa yang kita akan ciptakan di sini. Dan untuk semua orang yang berjuang untuk bikin ini mungkin," ucap Kael sambil mengangkat kaleng Coca-Cola yang dingin, suaranya sedikit emosional meskipun dia coba jaga penampilan.
"Bersulang!" jawab semua orang dengan kompak, kaleng-kaleng beradu dengan bunyi metalik yang kurang elegan tapi penuh dengan kegembiraan yang tulus.
Minggu berikutnya, Kael dan Rendra hadiri pertemuan dengan Miles Productions untuk negosiasi syarat untuk proyek film layar lebar.
Kantor mereka di kawasan Kuningan adalah gedung kaca yang mengkilap dengan lobi yang dipenuhi poster film-film yang mereka produksi sebelumnya.
"Mas Kael, selamat untuk kemenangan di Singapura. Pencapaian yang luar biasa dan persis kenapa kami yakin kalian adalah mitra yang tepat untuk proyek Sangkuriang ini," sapa Pak Darmawan, CEO Miles Productions sambil berjabat tangan dengan pegangan yang kuat, senyumnya profesional tapi tulus.
"Terima kasih, Pak. Kami juga antusias dengan kemungkinan untuk kolaborasi. Tapi kami perlu diskusi beberapa syarat dalam draf kontrak yang bikin kami khawatir," balas Kael sambil duduk di sofa kulit yang nyaman di ruang pertemuan yang luas, Rendra duduk di sebelahnya dengan buku catatan siap untuk catat semua detail penting.
"Tentu. Kami paham kalau ada kekhawatiran dan kami terbuka untuk negosiasi syarat yang cocok untuk kedua belah pihak. Silakan bagikan kekhawatiran kalian," ucap Pak Darmawan sambil condong ke depan dengan gerakan yang menunjukkan dia mendengarkan dengan minat yang tulus.
"Kekhawatiran pertama adalah jadwal. Delapan bulan untuk film sembilan puluh menit dengan standar kualitas yang kami komit adalah sangat ketat. Kami usulkan dua belas bulan sebagai jadwal yang lebih realistis untuk hasilkan produk yang luar biasa tanpa mengorbankan kualitas atau memaksa tim sampai kelelahan," jelas Kael dengan nada tegas tapi sopan, matanya menatap Pak Darmawan dengan kontak mata yang stabil yang menunjukkan kepercayaan diri.
Pak Darmawan terdiam sebentar sambil pertimbangkan.
"Dua belas bulan akan dorong jendela rilis kami ke kuartal yang kurang ideal dari perspektif pemasaran. Tapi kami paham kekhawatiran tentang kualitas. Bagaimana kalau kita kompromi di sepuluh bulan? Itu kasih kalian tambahan dua bulan tapi masih izinkan kami untuk kejar jendela rilis yang bisa diterima," tawarnya dengan balasan yang masuk akal.
Kael dan Rendra saling pandang dengan komunikasi tanpa kata.
Sepuluh bulan masih ketat tapi lebih bisa dikelola dari delapan.
"Sepuluh bulan bisa kami pertimbangkan kalau kekhawatiran kedua kami juga bisa ditangani. Tentang persetujuan kreatif, draf kontrak kasih persetujuan final ke Miles untuk keputusan besar. Kami usulkan struktur persetujuan yang lebih kolaboratif: Miles setujui tonggak besar seperti naskah final, desain karakter final, dan adegan kunci, tapi Studio Garasi punya otonomi untuk detail eksekusi dan keputusan kreatif kecil tanpa perlu persetujuan di setiap tahap," jelas Rendra dengan cara yang jelas dan profesional yang bikin Kael terkesan.
"Kami bisa fleksibel dengan itu. Niat kami bukan untuk mengatur detail tapi untuk pastikan produk final selaras dengan visi dan nilai jual. Selama tonggak besar dikirim dengan kualitas dan dalam parameter yang disepakati, kami percaya keahlian kalian untuk eksekusi," jawab Pak Darmawan dengan persetujuan yang membuat ketegangan di ruangan berkurang secara signifikan.
Pertemuan berlanjut dengan diskusi detail tentang alokasi anggaran, jadwal pembayaran, atribusi kredit, dan berbagai detail teknis lain.
Setelah dua jam negosiasi yang produktif, mereka capai kesepakatan yang puaskan kedua belah pihak.
Sepuluh bulan jadwal, struktur persetujuan yang kolaboratif, alokasi anggaran yang adil dengan pembayaran berbasis tonggak, dan klausul untuk sekuel potensial kalau film pertama berkinerja bagus secara komersial.
"Sepakat," ucap Kael sambil berjabat tangan dengan Pak Darmawan untuk segel kesepakatan, perasaan antusias bercampur dengan kecemasan ringan tentang komitmen besar yang baru saja mereka buat.
Keluar dari gedung Miles Productions, Rendra langsung berseru dengan kegembiraan yang gak bisa ditahan.
"Kael, kita dapat kesepakatan film layar lebar! Ini adalah pengubah permainan untuk studio! Kalau Sangkuriang sukses, kita bisa jadi studio pilihan untuk film animasi panjang di Indonesia!"
"Gue tau. Tapi sekarang tekanan ada pada kita. Kita harus hasilkan produk yang bukan cuma bagus, tapi luar biasa. Harapan akan sangat tinggi setelah 'Sang Penjaga'. Kita gak boleh mengecewakan," balas Kael dengan keseriusan, tangannya sudah mulai gemetar sedikit dengan kecemasan yang mulai merayap masuk ketika euforia awal mulai memudar.
"Kita akan berhasil. Kita punya tim yang terbukti, kita punya sumber daya yang lebih baik, dan kita punya pengalaman dari 'Sang Penjaga' untuk pandu kita. Kita bisa lakukan ini," tegaskan Rendra dengan kepercayaan diri yang menular, tangannya menepuk bahu Kael dengan gerakan yang meyakinkan.
Malam itu, Kael dan Rani duduk di atap gedung studio baru yang punya pemandangan lumayan ke garis langit Jakarta yang dipenuhi lampu dari gedung-gedung tinggi.
Udara masih panas dan lembab khas malam Jakarta tapi ada angin sesekali yang bikin sedikit lebih bisa ditahan.
"Hari ini kita resmi komit untuk proyek paling besar yang pernah studio tangani. Gue antusias tapi juga ketakutan," akui Kael dengan kerentanan, tangannya meremas kaleng minuman kosong dengan energi gugup yang perlu penyaluran.
"Ketakutan adalah wajar. Itu tanda bahwa lu peduli sangat dalam tentang hasil dan gak mau gagal. Tapi lu gak sendirian dalam ini. Kita semua akan dukung dan berkontribusi untuk pastikan Sangkuriang jadi karya agung yang layak untuk warisan Studio Garasi," balas Rani sambil merangkul Kael dari samping, kepalanya bersandar di bahu Kael dengan keakraban yang nyaman.
"Terima kasih. Terima kasih untuk selalu ada, untuk selalu percaya pada gue bahkan ketika gue raguin diri sendiri, untuk jadi jangkar yang bikin gue tetap membumi ketika semuanya terasa begitu banyak," ucap Kael dengan rasa syukur yang mendalam, tangannya memeluk Rani lebih erat dengan apresiasi untuk kehadiran dia yang tak ternilai.
Mereka duduk di sana dalam keheningan yang nyaman untuk waktu yang lama, menonton kota yang tak pernah benar-benar tidur dengan semua kekacauan dan keindahan yang kontradiktif tapi entah bagaimana bekerja bersama dalam harmoni yang berantakan.
Dan dalam momen itu, Kael merasa rasa damai meskipun ada badai aktivitas dan tekanan yang akan datang.
Selama dia punya orang-orang yang dia percaya dan cintai di sisinya, dia bisa hadapi apapun yang dilemparkan padanya.
Besok akan bawa tantangan baru.
Tapi malam ini, dia izinkan dirinya untuk hanya ada, untuk hargai seberapa jauh mereka sudah datang, dan untuk kumpulkan kekuatan untuk perjalanan yang masih panjang di depan.