“Le, coba pikirkan sekali lagi.”
“Aku sudah mantap, Umi.”
Umi Shofia menghela nafas berkali-kali. Dia tak habis pikir dengan pilihan Zayn. Banyak santri yang baik, berakhlak, dan memiliki pengetahuan agama cukup. Tetapi mengapa justru yang dipilihnya Zara. Seorang gadis yang hobinya main tenis di sebelah pondok pesantren.
Pakaiannya terbuka. Belum lagi adabnya, membuatnya geleng-geleng kepala. Pernah sekali bola tenisnya masuk ke pesantren. Ia langsung lompat pagar. Bukannya permisi, dia malah berkata-kata yang tidak-tidak.Mengambil bolanya dengan santai tanpa peduli akan sekitar. Untung saja masuk di pondok putri.
Lha, kalau jatuhnya di pondok putra, bisa membuat santrinya bubar. Entah lari mendekat atau lari menghindar.
Bagaimana cara Zayn merayu uminya agar bisa menerima Zara sebagaimana adanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Syarat boleh menyentuhmu.
Kriuuuk...cacing cacing yang sedang bersemayam di perut Zara sedang bersenandung sedih karena kelaparan. Mengingatkan dirinya agar segera makan.
“Sudah. Ayo kita makan,” ajak Zayn.
Karena sudah sangat lapar keduanya segera membuka berkat yang Zayn bawa.
“Aa Gus. Ini banyak sekali. Zara nggak mungkin menghabiskannya.” Zara merasa itu bukan porsinya.
Nasinya banyak, lauk dan sayurnya banyak, ditambah pula dengan mie. Mungkin ini untuk porsi dua orang atau lebih.
“Ya sudah. Kita makan satu saja.”
Zayn kembali menutup berkatnya. Lalu memindahkan lauk pauk ke tempat wadah yang berbeda. Agar bisa menikmati nasi dan lauknya bersama-sama.
“Tahu nggak Neng. Sejak kecil aku itu suka banget sama nasi berkat, soalnya penuh doa. Ya kan?"
Membual sedikit tidak apa-apa kan... Biar acara makan ini tidak tegang.
“Oooo...” sahut Zara.
Hehehe....
“Neng, aku suapin ya.”
“Zara makan sendiri aja.”
“nggak apa-apa. Ini sebagai permintaan maaf Aa pada Neng.”
Zayn mengulurkan tangannya yang berisikan nasi beserta lauk-pauknya ke mulut Zara.
“Ak...ak...makanlah” Zayn terus merayu Zara.
Karena terus dipaksa, akhirnya Zara pun menerima suapan itu.
“Nah, begitu lebih baik.”
Sekali lagi Zayn melakukan hal yang sama terhadap Zara. Begitu nasi sudah terkunyah, menyiapkan suapan berikutnya.
“Ak...ak...ayo lagi.” Zayn terus saja merayu.
“Aa Gus makan juga lah,” kata Zara.
“Aku akan makan kalau Neng sudah kenyang.”
Zara tidak mau diperlakukan begitu. Dia pun membalikkan tangan Zayn ke mulutnya sendiri. Namun tangan Zayn terlalu kuat. Sia-sia apa yang ia lakukan.
“Habis ini, Aa akan makan,” kata Zayn.
Ya sudahlah, Zara pun menurut. Ia pun melahap sesuap nasi dari tangan Zayn.
Tapi ternyata kata-kata Zayn tidak dapat dipegang. Begitu Zara menelan nasi yang Zain berikan. Lagi-lagi Zayn melakukan hal yang sama. Ia ingin menyuapi Zara lagi.
Zara tak kehabisan akal. Dengan tangannya, dia mengambil nasi dan lauk pauknya. Lalu memberikannya pada Zayn.
“Aa Gus harus makan juga,” kata Zara sambil tersenyum.
Siapa yang bisa menolak jika disuapi oleh bidadari yang selama ini dia nantikan. Zayn pun segera melahap apa yang Zara berikan.
Dia tidak hanya melahap nasi beserta lauk pauk darinya, melainkan tangan Zara juga.
Seketika Zara menjerit.
“Aa Gus nakal,” teriaknya.
Zayn mengunyah makanannya sambil tersenyum. Dan menikmati rona wajah Zara yang memerah.
Zara menunduk dan ngambek. Dia tak mau lagi disuapi oleh Zayn. Dia mau makan sendiri. Tidak lagi suap-suapan.
“Neng makin cantik deh, kalau mau Aa suapi,” rayunya lagi.
“Ini yang terakhir ya,” kata Zara.
“Ok.”
“Aa juga harus makan. Aku suapin ya. Tapi jangan gigit tanganku lagi,” kata Zara sambil menyiapkan suapan untuk Zayn.
“Ok.”
Zayn menjawabnya dengan senyuman. Dalam hati dia sudah bertekad untuk tidak mengikuti aturan Zara. Tidak asyik.
Berbohong sedikit untuk menyegarkan suasana antara suami istri dibolehkan kok, asalkan dengan tujuan yang benar.
Begitu Zara menyuapinya, dia segera melahap jari-jarinya sekalian
“Aa Gus membuat Neng marah.”
Zara merasa ditipu lagi. Dia pun marah.
“Neng sudah kenyang. Neng mau keluar. Silahkan Aa makan sendiri,” kata Zara sambil bersungut-sungut.
Dia segera berdiri meninggalkan Zayn yang sedang menikmati makanannya. Dia pergi membersihkan sisa-sisa makanan pada jari jarinya, di wastafel yang ada di sebelah kamar mandi.
“Zayn, Zara. Apakah kamu di dalam?” Terdengar seperti suara Umi Shofia yang memanggilnya dari luar.
Zara pun segera mengeringkan tangannya lalu membuka pintu.
Benar dugaannya. Bahwa yang memanggil mereka adalah Umi Shofia. Ia kini telah berdiri di tengah pintu.
Zara pun mencium tangannya dengan takzim.
“Umi boleh masuk, Nduk (panggilan sayang kepada anak perempuan),” kata Umi Shofia.
“Silakan, Umi,”
Umi Shofia sangat terkejut. Ia tak menyangka kalau Zayn telah habiskan satu wadah berkat seorang diri.
“La Ilaha illallah, kamu makan sendiri Zayn. Untuk istrimu mana?” tanya Umi Shofia penuh selidik.
“Sudah Umi, Saya sudah kenyang,” kata Zara.
“Sudah aku suapin kok Umi,” sahut Zayn kemudian.
Zara dan Umi Shofia melotot.
Zara melotot karena malu. Sedangkan Umi Shofia melotot karena ingat akan janji Zayn sesaat sebelum melamar Zara. Bahwa dia tidak akan menyentuh Zara sebelum darah bisa menghafalkan surat al-Baqarah.
“Zayn apakah sudah kamu sampaikan ke Zara persyaratan saat kamu akan meminangnya?”
Glek... Zayn menghentikan makannya. Meskipun ia masih lapar, tapi dia sudah tidak punya selera lagi. Ia segera mencuci tangannya dan menghampiri Umi Shofia.
“Umi, janganlah bicara itu dulu. Baru hari ini aku menikah. Aku juga belum menyentuhnya,” kata Zayn sambil menunduk.
Dia belum menyampaikan persyaratan itu kepada Zara. Bukan karena dia lupa. Tapi karena dia tak tega.
“Justru karena itu, Zayn. Aku takut kamu menjadi seorang lelaki yang ingkar janji.”
Zara yang mendengarkan, bingung dengan apa yang mereka bahas saat ini. Mengapa mengatakan tentang syarat pernikahan. Apa yang telah disembunyikan oleh Zayn darinya.
“Baiklah Umi. Nanti malam aku dan Zara akan menemui Umi.”
“Aku tunggu. Ya sudah, Umi pergi dulu. Teruskan makanmu.”
Umi Shofia pergi dengan tenang. Meninggalkan Zara yang diliputi dengan berbagai pertanyaan.
“Aa Gus,” panggil Zara dengan cemas.
Zayn merasa dadanya sesak. Dia memandang wajah istrinya dengan penuh rasa bersalah.
“Neng, sudah jam segini kita belum salat zuhur. Makanya Allah menegur kita. Kita shalat dulu yuk.”
“Tapi Aa Gus?”
“Aa mengerti Neng. Nanti saja Aa jelaskan setelah shalat.”
Keduanya pun segera mempersiapkan diri untuk salat dzuhur berjamaah.
Begitu selesai salat, Zara sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan, tentang apa yang masih disembunyikan Zayn darinya.
Zayn bingung akan memulai ceritanya dari mana.
“Neng, sejak aku bertemu denganmu, aku sudah jatuh cinta padamu. Makanya aku tak mau lama-lama untuk segera memilikimu. Tapi Umi menentangnya.”
“Aku lihat Umi baik sama Neng. Bagaimana mungkin dia menentangnya?”
“Umi mengajukan persyaratan. Dan aku telah menyetujui persyaratan itu.”
“Apa persyaratannya?”
“Aku tak boleh menyentuhmu...”
Belum selesai Zayn menjelaskan semuanya, mata Zara sudah berkaca-kaca.
“Berarti pernikahan kita bohongan dong?”
Dia pun menangis sedih.
Zayn hanya bisa memandanginya dengan sedih pula.
“Pernikahan kita tidak bohongan. Sudah tercatat di KUA. Dan Neng sudah resmi jadi istri Aa.”
“Lalu...?”
“Umi akan mengizinkan Aa menyentuh Neng, bila Neng sudah bisa menghafalkan surat al-baqarah.”
“Al Baqarah?!”
“Iya.”
“Panjang sekali Aa Gus. 3 juz.”
“Iya. Tetapi Aa yakin Neng bisa. Aa menghormati orang tua Aa seperti Neng menghormati bunda. Semangat ya, Neng.”
“Pasti lama menghafalnya.”
“Ya jangan lama-lama dong. Kalau terlalu lama, apa Neng nggak kasihan sama Aa. Aa juga kangen lho.”
“Lalu.”
“Kita belum pernah pacaran. Anggap saja masa jeda ini adalah masa pacaran kita. Boleh sentuhan tapi tidak boleh berlebihan. Ok,”
“Ih Aa Gus, genit.” kata Zara sambil memukulnya dengan manja.