NovelToon NovelToon
Earth Executioner

Earth Executioner

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:483
Nilai: 5
Nama Author: Aziraa

'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'

---

Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.

Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."

Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.

Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.

Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 13: Gemuruh di gurun - dubai yang terkubur

Dunia yang Tercekat dalam Kegelapan

Dua puluh empat jam setelah kehancuran New York City, dunia tidak lagi sama. Gelombang krisis yang dimulai dari Indonesia, merambat ke Paris, dan mencapai puncaknya di Manhattan kini telah mengoyak jantung peradaban modern. Lebih dari tiga perempat jaringan listrik global telah runtuh dalam efek domino yang mengerikan—tidak hanya karena kerusakan fisik, tetapi karena kepanikan massal yang melumpuhkan sistem operasional di seluruh dunia.

Di London, Thames yang biasanya berkilauan dengan lampu-lampu kota kini mengalir dalam kegelapan total. Jalanan yang dulunya padat dengan lalu lintas red double-decker bus dan taksi hitam kini dipenuhi barisan mobil yang ditinggalkan pemiliknya, pintu-pintu terbuka menandakan kepanikan yang tiba-tiba. Supermarket Tesco dan Sainsbury's telah dijarah hingga rak-raknya kosong, tidak tersisa bahkan sekaleng makanan. Di depan bank-bank, ATM yang mati total dikerubuni massa yang putus asa, menggedor-gedor mesin dengan tongkat dan batu, berharap uang kertas akan keluar.

Bau busuk sampah yang menumpuk di setiap sudut jalan bercampur dengan asap tebal dari kebakaran sporadis. Polisi Metropolitan yang tersisa tidak lagi patroli—mereka juga melarikan diri, meninggalkan seragam dan lencana mereka di jalanan, memilih untuk menyelamatkan keluarga sendiri ketimbang menjaga ketertiban yang sudah tidak ada.

Di Tokyo, meski bangunan-bangunan masih berdiri kokoh, namun jiwanya telah mati. Stasiun Shinjuku yang biasanya dipadati jutaan penumpang kini sepi, dengan hanya beberapa gelandangan yang berkeliaran di antara bangku-bangku kosong. Layar-layar LED raksasa yang biasanya menampilkan iklan colorful kini padam, menciptakan siluet hitam yang mengerikan di tengah kota. Rumah sakit-rumah sakit kewalahan, bukan karena korban fisik, tetapi karena gelombang nervous breakdown massal. Orang-orang berdatangan dengan mata kosong, gemetar, menjerit-jerit tentang "akhir dunia" setelah menyaksikan kehancuran melalui media sosial sebelum jaringan internet global runtuh.

Profesor Kenji Nakamura, seorang seismologis terkemuka dari Universitas Tokyo, terduduk di laboratoriumnya yang gelap, hanya diterangi oleh generator kecil. Layar komputernya yang menyala redup menampilkan data gempa yang tidak masuk akal—gelombang seismik yang mustahil terjadi secara alami, pola yang seolah... disengaja.

"Ini bukan lagi fenomena geologis," bisiknya pada diri sendiri, tangannya bergetar saat menulis catatan terakhir di buku risetnya. "Ada sesuatu yang mengontrol tektonik bumi. Sesuatu yang memiliki kecerdasan."

Di bunker bawah tanah Pegunungan Ural, Jenderal Elena Petrova menatap peta dunia yang dipenuhi tanda silang merah. Beijing telah kehilangan kontak total setelah gempa berkekuatan 9.2 yang mustahil terjadi di wilayah tektonik stabil. Berlin dilaporkan mengalami fenomena aurora borealis yang tidak wajar—cahaya hijau yang menyilaukan disertai dengan gangguan elektromagnetik masif yang melumpuhkan seluruh sistem elektronik kota.

"Ini pola yang terorganisir, Komandan," lapornya melalui videophone kepada Presiden Rusia yang wajahnya pucat pasi. "Mereka—atau apa pun itu—menyerang pusat-pusat kekuatan ekonomi dan politik. Jakarta untuk Asia Tenggara, Paris untuk Eropa, New York untuk Amerika. Sekarang Beijing untuk Asia Timur, Berlin untuk jantung Eropa. Ini adalah strategi pembersihan sistematis."

Presiden Rusia mengangguk lemah. "Sudah berapa kali kita mencoba menghubungi Pentagon?"

"Tiga puluh kali dalam dua jam terakhir. Tidak ada respons. Washington D.C. dalam lockdown total. Satelit militer kita mendeteksi pergerakan masif populasi dari kota-kota besar ke daerah pedesaan, tetapi..." Elena menghentikan kata-katanya, menelan ludah. "Infrastruktur transportasi runtuh. Jutaan orang terjebak di jalan raya, kehabisan bahan bakar, makanan. Ini bukan lagi soal bertahan dari serangan—ini tentang bertahan dari kehancuran peradaban itu sendiri."

Di Australia, upaya evakuasi massal dari kota-kota pesisir telah berubah menjadi tragedy humanitarian. Highway Pacific yang menghubungkan Sydney dengan pedalaman macet total dengan jutaan kendaraan. Bahan bakar habis, toko-toko dijarah, dan kekerasan mulai marak terjadi antara kelompok-kelompok yang putus asa. Pemerintah Australia telah kehilangan kemampuan untuk mengkoordinasikan respons nasional ketika sistem komunikasi satelit mereka ikut terpengaruh gangguan elektromagnetik global.

---

Tiga puluh ribu kaki di atas permukaan laut, jet pribadi Gulfstream G650 melayang melintasi langit Asia Tengah yang berdebu. Di dalam kabin mewah yang sunyi, Raka duduk memandang ke luar jendela, matanya menelusuri rangkaian pegunungan Hindu Kush yang terbentang seperti tulang punggung bumi yang patah.

Namun bukan pemandangan alam yang menarik perhatiannya. Eva, yang duduk di seberangnya dengan postur sempurna dan senyum tipis yang tidak pernah hilang, mengulurkan jarinya ke arah peta holografik yang melayang di udara—sebuah manifestasi kekuatan yang kini mengalir bebas di antara mereka.

"Lihatlah, Raka," bisik Eva, suaranya seperti angin yang berdesir di telinga. "Timur Tengah. Jantung keserakahan yang telah memompa racun ke seluruh dunia selama lebih dari satu abad."

Raka mengikuti arah telunjuk Eva. Di peta holografik, wilayah Timur Tengah berkilauan dengan titik-titik cahaya yang merepresentasikan sumur-sumur minyak, kilang-kilang, dan pipeline yang menyebar seperti pembuluh darah parasit di seluruh wilayah.

"Mereka menguras darah Bumi," Eva melanjutkan, nada suaranya semakin dingin. "Setiap tetes minyak yang mereka pompa adalah nyawa yang mereka curi dari planet ini. Dan dengan kekayaan yang dicuri itu, mereka membangun monument keserakahan—kota-kota buatan di tengah gurun, gedung-gedung pencakar langit yang menjulang dengan arogansi, pulau-pulau buatan yang menantang hukum alam."

Raka merasakan getaran familiar di dadanya—bisikan Bumi yang semakin keras, semakin mendesak. Hancurkan mereka. Mereka telah menguras tubuhku terlalu lama. Biarkan gurun menelan kembali apa yang mereka curi.

"Dubai," Raka bergumam, matanya menyipit saat fokus pada titik cahaya yang paling terang di peta. "Simbol puncak kemunafikan manusia. Mereka mengubah padang pasir menjadi playground untuk yang kaya, membangun surga palsu dengan darah dan keringat pekerja migran, mengabaikan fakta bahwa mereka hidup di atas gurun yang setiap saat bisa menelan mereka."

Eva tertawa—suara yang indah namun kosong, seperti lonceng yang retak. "Tepat sekali. Dubai adalah fatamorgana yang menjadi kenyataan, tetapi setiap fatamorgana pada akhirnya akan pudar. Saatnya menunjukkan kepada mereka betapa rapuhnya surga palsu mereka ketika dihadapkan pada murka alam yang sesungguhnya."

Raka merasakan energi gelap mengalir melalui pembuluh darahnya, bercampur dengan amarah yang telah lama ia pendam. Setiap konflik yang pernah ia saksikan di wilayah ini—perang minyak, invasi yang ditutupi kedok demokrasi, jutaan nyawa yang hilang untuk memperebutkan sumber daya—semuanya bermuara pada satu titik: keserakahan yang tak pernah puas.

"Mereka tidak hanya merusak lingkungan," bisik Raka, suaranya bergetar dengan kekuatan yang mulai bangkit. "Mereka menciptakan ketimpangan sosial yang ekstrem. Di satu sisi, kemewahan yang berlebihan. Di sisi lain, kemiskinan dan konflik yang tak berujung. Mereka adalah kanker yang menyebar ke seluruh dunia."

Eva mengangguk, matanya berkilat dengan kepuasan yang gelap. "Dan seperti kanker, mereka harus dipotong sampai ke akarnya."

--- Dubai: Fatamorgana

Fajar menyingsing di Dubai dengan kemegahan yang biasa. Sinar matahari pagi memantulkan kilau emas dari gedung-gedung pencakar langit yang berjejer seperti jarum-jarum raksasa menusuk langit. Burj Khalifa berdiri megah di tengah kota, puncaknya menghilang di balik awan tipis, seolah mencoba meraih langit dengan arogansi.

Di jalanan, eksodus turis dan pebisnis internasional sudah dimulai sejak berita kehancuran New York tersebar. Bandara Dubai International dipenuhi massa yang panik, antrian check-in mengular hingga ke luar terminal. Tetapi bagi mereka yang tersisa, hidup tetap berlanjut dengan ilusi normalitas. Para pekerja migran dari Bangladesh dan Pakistan tetap membersihkan kaca-kaca gedung pencakar langit, tidak menyadari bahwa di atas mereka, jauh di stratosfer, dua sosok sedang mengamati dengan mata yang dingin dan hati yang membeku.

Tariq Al-Maktoum berdiri di balkon penthouse-nya di lantai 85 gedung Al-Burj Residence, salah satu menara termahal di Dubai Marina. Pria berusia empat puluh lima tahun itu adalah arsitek di balik beberapa proyek real estat paling ambisius di UAE—Palm Jumeirah, The World, dan berbagai resort mewah yang mengubah garis pantai Dubai menjadi taman bermain para miliarder.

Ia menghirup udara pagi yang kering, memandang kerajaan yang ia bangun. Setiap bangunan yang terlihat dari balkonnya mewakili miliaran dirham yang telah ia putar, ribuan pekerja yang ia pekerjakan, dan visi grandiose-nya tentang masa depan yang dibentuk oleh kekuatan modal.

"Krisis global ini akan berlalu," bisiknya pada diri sendiri sambil menyeruput kopi Arab yang mahal. "Dubai selalu selamat. Kita memiliki stabilitas, kekayaan, dan teknologi. Mereka yang menghancurkan New York dan Paris tidak akan berani menyentuh kita."

Namun keyakinannya mulai goyah ketika ia melihat langit di timur. Sesuatu yang aneh sedang terjadi. Awan-awan yang tadinya putih bersih mulai berubah warna menjadi cokelat kemerahan, bergerak dengan pola yang tidak wajar. Angin yang biasanya sepoi-sepoi mulai berubah menjadi desisan yang mengancam.

Tariq mengambil teleskop kecil dari meja kerjanya, mengarahkannya ke arah timur. Yang ia lihat membuat darahnya membeku. Di cakrawala, sebuah tembok raksasa sedang terbentuk—tembok yang terbuat dari pasir dan debu, setinggi gedung pencakar langit, bergerak dengan kecepatan yang mustahil menuju kota.

"Ini tidak mungkin," bisiknya, tangannya bergetar saat memegang teleskop. "Badai pasir tidak berperilaku seperti ini. Ini..."

Sebelum ia sempat menyelesaikan pikirannya, seluruh bangunan bergetar. Gelas kristal di mejanya bergetar, menciptakan suara gemerincing yang mengerikan. Dari kejauhan, ia mendengar suara seperti gemuruh yang tidak berhenti, semakin keras, semakin dekat.

---

Gurun yang Bangkit Melawan Peradaban

Dua puluh kilometer di atas Dubai, Raka melayang dalam posisi meditasi, kedua tangannya terangkat, mata tertutup. Energi primordial mengalir melalui tubuhnya seperti lava pijar, terhubung langsung dengan inti bumi di bawahnya. Untuk pertama kalinya sejak transformasinya dimulai, ia merasakan kekuatan penuh yang mengalir dalam darahnya.

Eva melayang di sampingnya, wajahnya berseri-seri dengan kepuasan yang sadis. "Tunjukkan kepada mereka, Raka," bisiknya, suaranya bergema dalam dimensi yang berbeda. "Tunjukkan kepada mereka bahwa gurun tidak pernah lupa, dan tidak pernah memaafkan."

Raka membuka matanya. Iris hijau yang biasanya lembut kini berkilat dengan cahaya yang tidak alami. Ia mengulurkan kedua tangannya ke arah kota di bawahnya, dan untuk pertama kalinya, ia melepaskan kekuatannya tanpa batasan.

Pertama, ia memanipulasi tekanan atmosfer di atas Rub' al Khali—Empty Quarter yang membentang luas di sebelah timur Dubai. Udara yang biasanya stabil mulai berputar dalam spiral raksasa, menciptakan vortex yang menarik jutaan ton pasir dari kedalaman gurun yang belum pernah terjamah selama ribuan tahun.

Pasir-pasir itu tidak bergerak mengikuti hukum fisika biasa. Mereka terangkat dalam formasi yang terorganisir, menciptakan tembok setinggi tiga ratus meter yang bergerak dengan kecepatan dua ratus kilometer per jam menuju Dubai. Namun ini bukan badai pasir biasa—setiap butir pasir yang tertiup mengandung muatan listrik statis yang diciptakan Raka, mengubah tembok pasir menjadi badai elektromagnetik yang mematikan.

Kedua, Raka menggali lebih dalam ke kekuatan geologisnya. Ia merasakan setiap lapisan tanah di bawah Dubai—pasir yang telah dipadatkan secara artifisial untuk menopang fondasi gedung-gedung pencakar langit. Dengan konsentrasi penuh, ia mengubah frekuensi getaran molekul di lapisan-lapisan tanah itu, menyebabkan fenomena liquefaction dalam skala masif.

Tanah keras yang selama ini menopang Dubai mulai berubah menjadi lumpur cair. Fondasi-fondasi beton yang menghabiskan miliaran dolar untuk dibangun mulai kehilangan pegangan, menyebabkan gedung-gedung raksasa mulai miring seperti menara pisa yang dibuat dari pasir.

Ketiga, Raka mengaktifkan kemampuan terdalamnya—manipulasi tektonik. Meski Dubai tidak berada di jalur patahan aktif, namun setiap wilayah di bumi memiliki kerentanan geologis yang tersembunyi. Raka menemukan retakan-retakan mikroskopis di kerak bumi di bawah kota, dan dengan kekuatan yang ia miliki, ia memperlebar retakan-retakan itu hingga menjadi patahan buatan.

Gempa berkekuatan 8.5 skala Richter mengguncang Dubai—gempa yang secara geologis mustahil terjadi di wilayah stabil itu. Tetapi gempa ini berbeda dari gempa alami. Getarannya terfokus dan terarah, seolah bumi sendiri sedang mencoba mengeluarkan parasit dari tubuhnya.

---

Di permukaan, chaos yang sesungguhnya dimulai.

Pertama yang merasakan adalah burung-burung. Ribuan burung yang biasanya hinggap di gedung-gedung pencakar langit tiba-tiba terbang dalam formasi panik, berputar-putar di udara sambil mengeluarkan suara jeritan yang tidak pernah didengar sebelumnya. Anjing-anjing dan kucing jalanan mulai berlari tanpa arah, insting primitif mereka mendeteksi bahaya yang tidak kasat mata.

Kemudian, manusia mulai merasakannya.

Tariq Al-Maktoum masih berdiri di balkonnya ketika getaran pertama dimulai. Awalnya hanya getaran ringan, seperti truk besar yang lewat. Tetapi getaran itu tidak berhenti. Sebaliknya, semakin kuat, semakin ritmis, seperti detak jantung raksasa di bawah kota.

"Gempa?" bisiknya, mencoba menenangkan diri. "Tidak mungkin. Dubai tidak pernah mengalami gempa."

Namun kemudian ia melihatnya—tembok pasir raksasa di cakrawala kini semakin dekat, dan yang membuatnya terror adalah fakta bahwa tembok itu bukan sekedar bergerak. Tembok itu hidup. Pasir-pasir di permukaannya berputar dan mengalir seperti cairan, menciptakan pola-pola yang terlalu terorganisir untuk menjadi fenomena alam.

Di jalanan, kepanikan mulai menyebar seperti virus. Orang-orang keluar dari gedung-gedung, menunjuk ke arah timur sambil berteriak dalam berbagai bahasa—Arab, Hindi, Urdu, Tagalog, Inggris. Jalanan yang biasanya tertib dengan lalu lintas mewah mulai kacau ketika semua orang mencoba melarikan diri ke arah barat, menjauhi tembok pasir yang mendekat.

Ahmed Hassan, seorang supir taksi berusia lima puluh tahun yang sudah dua puluh tahun bekerja di Dubai, sedang mengantri di pompa bensin ketika guncangan pertama dimulai. Mobil-mobil di sekelilingnya mulai bergoyang, alarm berbunyi bersamaan, menciptakan simfoni kacau yang memekik telinga.

"Ya Tuhan," bisiknya sambil keluar dari taksinya. "Apa yang terjadi?"

Ia melihat ke arah timur dan mengucapkan doa terakhirnya. Tembok pasir itu sudah sangat dekat sekarang, menjulang seperti tsunami kering yang siap menelan segala sesuatu di jalurnya. Yang membuatnya lebih mengerikan adalah kilat-kilat listrik yang menyambar-nyambar di dalam badai pasir itu, menciptakan cahaya yang menyilaukan dan suara petir yang tidak berhenti.

"Ini bukan alam," bisiknya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Ini kutukan. Ini hukuman."

Di Burj Khalifa, para turis yang masih berada di observation deck lantai 148 mulai berteriak ketika mereka melihat pemandangan yang mustahil. Tembok pasir yang mendekat itu setinggi dengan mereka—tiga ratus meter dari permukaan tanah. Di dalam badai pasir, mereka bisa melihat siluet-siluet aneh, seperti wajah-wajah raksasa yang terbentuk dari pasir, menatap mereka dengan mata yang kosong.

Sarah Mitchell, seorang fotografer National Geographic dari Amerika, mencoba mengambil foto terakhir ketika seluruh gedung mulai bergoyang. "Tidak ada yang akan percaya ini," bisiknya sambil terus memotret. "Ini bukan fenomena alam. Ada yang mengontrol badai ini."

---

Kehancuran dimulai

Ketika tembok pasir mencapai pinggiran kota, kehancuran yang sesungguhnya dimulai.

Badai pasir elektromagnetik menghantam barisan pertama gedung-gedung pencakar langit dengan kekuatan yang menghancurkan. Kaca-kaca jendela tidak hanya pecah—mereka meledak ke dalam, menciptakan hujan serpihan yang mematikan. Sistem listrik padam dalam sekejap ketika muatan elektromagnetik dalam badai pasir menghanguskan semua perangkat elektronik dalam radius puluhan kilometer.

Tetapi yang membuat kehancuran ini berbeda dari bencana alam biasa adalah sifatnya yang selektif dan sadis. Pasir-pasir dalam badai itu tidak bergerak secara acak. Mereka bergerak dengan tujuan, mencari celah-celah dalam bangunan, menyusup melalui ventilasi, mengisi setiap ruang kosong dengan kecepatan yang mengerikan.

Di gedung-gedung apartemen mewah, penduduk yang mencoba bersembunyi di kamar-kamar mereka menemukan bahwa pasir menemukan jalan masuk melalui celah-celah kecil di jendela dan pintu. Dalam hitungan menit, ruang-ruang yang dulunya nyaman berubah menjadi makam pasir yang mencekik.

Tariq Al-Maktoum berlari menuju lift di lantai 85-nya, tetapi lift sudah mati total. Emergency stairs-nya terkunci karena sistem keamanan otomatis. Ia terperangkap di penthouse mewahnya, menyaksikan kota yang ia bangun mulai ditelan oleh pasir hidup.

Dari jendela kantornya, ia melihat pemandangan yang tidak akan pernah ia lupakan—jika ia masih hidup untuk mengingatnya. Burj Khalifa, kebanggaan Dubai dan gedung tertinggi di dunia, mulai miring. Tidak seperti gedung yang roboh karena ledakan, Burj Khalifa miring perlahan, seperti jarum raksasa yang kehilangan keseimbangan.

"Tidak!" teriak Tariq, menggedor-gedor jendela kacanya. "Itu mustahil! Fondasinya kedalam dua ratus meter! Strukturnya dirancang untuk tahan gempa!"

Tetapi ia menyaksikan sendiri keajaiban teknologi dan engineering itu tenggelam perlahan ke dalam tanah yang telah menjadi lumpur. Setiap lantai yang tenggelam menciptakan suara gemuruh yang memekak, seperti raksasa yang merintih dalam kesakitan.

Yang membuat pemandangan itu semakin mengerikan adalah fakta bahwa gedung-gedung lain di sekitarnya juga mulai tenggelam dengan pola yang sama. Emirates Towers, Jumeirah Emirates Towers, Rose Tower—satu per satu, monument kemegahan Dubai mulai hilang ditelan bumi.

---

Raka belum selesai. Sambil mengendalikan badai pasir dan liquefaction, ia mengaktifkan fase ketiga kehancurannya.

Di seluruh Dubai dan wilayah UAE, ribuan sumur minyak dan kilang yang menjadi sumber kekayaan negara itu mulai mengalami fenomena yang tidak dapat dijelaskan. Tekanan di dalam sumur-sumur minyak meningkat drastis, tidak karena sebab geologis alami, tetapi karena Raka memanipulasi aliran magma jauh di bawah permukaan bumi.

Satu per satu, sumur minyak mulai meledak. Tetapi ini bukan ledakan biasa—ini adalah erupsi minyak yang menyembur hingga ketinggian ratusan meter, kemudian terbakar dengan api yang tidak dapat dipadamkan. Dalam hitungan jam, seluruh wilayah timur UAE berubah menjadi lautan api yang terlihat dari luar angkasa.

Asap hitam pekat dari pembakaran minyak bercampur dengan badai pasir elektromagnetik, menciptakan awan beracun yang menutupi seluruh wilayah Teluk Persia. Udara menjadi tidak dapat bernapas, dan mereka yang selamat dari badai pasir kini harus menghadapi ancaman keracunan dari asap beracun.

---

**Sudut Pandang Tariq Al-maktoum**

Tariq Al-Maktoum kini terduduk di lantai penthouse-nya, punggungnya bersandar pada dinding kaca yang retak. Seluruh kota yang ia bangun, yang ia cintai, yang menjadi identitas dirinya, kini tenggelam dalam lautan pasir dan api.

Tangannya bergetar saat ia mencoba menghubungi keluarganya, tetapi seluruh jaringan komunikasi telah mati. Tidak ada sinyal, tidak ada internet, tidak ada koneksi dengan dunia luar. Ia benar-benar terisolasi di puncak gedung yang perlahan tenggelam.

"Ini tidak mungkin," bisiknya berulang-ulang, seperti mantra yang bisa mengembalikan realitas. "Ini semua yang aku punya. Ini seluruh hidupku."

Ia melihat foto keluarganya di meja—istri dan dua anaknya yang sedang berlibur di London. Setidaknya mereka aman, pikirnya. Setidaknya mereka tidak harus menyaksikan kehancuran ini.

Tariq bangkit dan berjalan ke jendela, menatap pemandangan apokaliptik di luar. Kota yang dulunya berkilau dengan jutaan lampu kini hanya terlihat sebagai siluet-siluet gelap yang muncul tenggelam dalam samudra pasir. Api-api dari sumur minyak yang meledak menciptakan cahaya oranye yang menyilaukan, memberikan nuansa neraka pada pemandangan itu.

"Kenapa?" bisiknya pada langit yang berubah menjadi oranye kemerahan. "Kenapa ini terjadi pada kita? Apa yang kami lakukan salah?"

Tetapi tidak ada jawaban. Hanya suara gemuruh badai pasir yang semakin dekat, dan suara retakan dari fondasi gedungnya yang mulai tidak stabil.

Dalam detik-detik terakhirnya, Tariq Al-Maktoum, sang arsitek kemegahan Dubai, akhirnya memahami sesuatu yang selama ini ia abaikan. Mereka membangun surga di atas fondasi yang rapuh. Mereka menciptakan keajaiban dengan mengabaikan hukum alam. Dan sekarang, alam sedang menagih utangnya.

Gedung Al-Burj Residence mulai miring. Tariq merasakan lantai di bawah kakinya mulai tidak rata. Ia menutup mata, memeluk foto keluarganya, dan berbisik doa terakhir sebelum penthouse mewahnya—bersama dengan seluruh gedung—tenggelam ke dalam lumpur pasir yang menganga seperti mulut monster yang lapar.

---

Tiga jam setelah dimulainya kehancuran, Dubai tidak lagi ada.

Raka melayang di ketinggian, mengamati hasil karyanya dengan kepuasan yang gelap. Di bawahnya, wilayah yang dulunya adalah oasis kemewahan kini berubah menjadi kawah pasir raksasa yang dipenuhi api. Tidak ada lagi gedung pencakar langit yang menjulang, tidak ada lagi pulau-pulau buatan yang megah, tidak ada lagi marina mewah yang dipenuhi yacht-yacht milyaran dollar.

Semuanya telah kembali menjadi gurun. Gurun yang marah, gurun yang membalas dendam, gurun yang mengambil kembali apa yang telah dicuri darinya.

Eva melayang di samping Raka, wajahnya berseri-seri dengan kepuasan yang tidak tersembunyi. Matanya berkilat melihat kehancuran di bawah mereka, seperti seniman yang mengagumi masterpiece-nya.

"Lihatlah betapa indahnya, Raka," bisik Eva, suaranya seperti nyanyian yang hipnotis. "Mereka membangun monument untuk keserakahan mereka, dan sekarang monument itu telah menjadi makam mereka. Gurun telah mengambil kembali haknya."

Raka mengangguk, merasakan gelombang kepuasan yang mendalam mengalir dalam dadanya. Untuk pertama kalinya sejak transformasinya dimulai, ia merasa... lengkap. Setiap teriakan yang sunyi, setiap bangunan yang runtuh, setiap jiwa yang musnah adalah penebusan atas penderitaan tak terhingga Bumi alami.

"Ini bukan sekadar balas dendam," bisik Raka, suaranya bergema dengan kekuatan primordial. "Ini adalah restorasi. Keseimbangan. Pembersihan yang diperlukan."

Bisikan Bumi di benaknya kini berubah menjadi nyanyian kemenangan yang menggembirakan. Bagus, anakku. Teruslah membersihkan. Bebaskan aku dari parasit-parasit ini. Mereka semua harus membayar untuk apa yang telah mereka lakukan padaku.

Raka merasakan kekuatan dalam dirinya semakin menguat. Setiap kehancuran yang ia ciptakan memberikan energi baru, setiap nyawa yang ia ambil memperkuat koneksinya dengan inti Bumi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!