NovelToon NovelToon
CEO DINGIN

CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kaya Raya / Keluarga / Romansa / Dendam Kesumat / Pembantu
Popularitas:8.1k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.

Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.

Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Sejak kejadian di ruang rapat, Arlena mulai merasakan perubahan.

Aldric… semakin sering membelanya, memperhatikannya, dan kini hatinya mulai bergetar setiap kali pria itu memanggil namanya.

Ia tahu seharusnya tidak merasa seperti ini.

Ia tahu jelas apa yang pernah dikatakan Aldric saat pertama kali ia mulai bekerja.

"Tugasmu hanya melayani aku. Jangan berharap lebih. Jangan jatuh cinta padaku."

Kata-kata itu terus terngiang.

Tajam, seperti duri yang menusuk harapan yang mulai tumbuh diam-diam.

Pagi itu, saat Aldric turun ke ruang makan, Arlena yang sedang menata sendok langsung berdiri tegak.

“Selamat pagi, Tuan.” ucapnya sopan, seperti biasa. Tapi matanya tak berani menatap wajah pria itu.

Aldric mengangguk kecil. “Sarapanmu sudah?”

Arlena menggeleng. “Saya akan makan setelah Tuan selesai.”

Aldric menatapnya dalam. “Kamu bisa duduk. Makan bersamaku.”

Deg.

Hati Arlena kembali berdebar. Ia pun duduk, walau agak jauh.

Tapi ia berusaha menjaga batas. Menjaga jarak. Menjaga hatinya.

“Aku tidak boleh jatuh cinta…” bisiknya dalam hati.

“Karena dia sudah memperingatkan ku.”

Aldric memperhatikan Arlena yang sejak pagi terlihat berbeda.

Biasanya gadis itu selalu tersenyum kecil saat menyajikan sarapan.

Tapi hari ini, wajahnya datar, suaranya pelan, dan matanya… menghindari tatapan Aldric.

“Kamu sakit?” tanya Aldric

Suara Aldric terdengar pelan namun penuh kekhawatiran.

Arlena langsung menggeleng.

“Tidak, Tuan. Saya baik-baik saja.”

Tapi Aldric tak mudah percaya. Ia menatap wajah gadis itu dalam-dalam.

Ada sesuatu yang berbeda. Dingin. Jauh.

“Sebentar lagi Bu Retno dan Adrian datang.”

“Belajar yang rajin,” lanjutnya, mencoba terdengar tenang.

Arlena hanya mengangguk. Hatinya masih dilanda kekacauan. Ia tidak ingin membuat Aldric terganggu, apalagi terlihat bodoh karena perasaannya sendiri.

Maka, satu-satunya cara adalah menjaga jarak.

Tapi Aldric tahu. Ia bukan pria bodoh. Dan dia mulai sadar… Arlena sedang menjauh.

“Aku berangkat kerja dulu.”

Suara Aldric terdengar seperti biasa datar, tegas, tapi kali ini dengan sedikit jeda.

Seolah menunggu sesuatu…

Arlena hanya menganggukkan kepalanya.

Tidak ada senyum. Tidak ada ucapan hati-hati seperti biasanya. Hanya anggukan dingin.

Aldric menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berbalik menuju pintu.

Arlena duduk kembali ke meja makan. Menyendok sarapan yang bahkan tidak terasa di lidahnya.

Dari balik pintu, Aldric sempat menoleh.

“Ada apa dengan kamu?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

“Kenapa kamu berubah, Arlena?”

Namun Aldric tak bisa terus di sana. Ia harus ke kantor, walau pikirannya kini penuh dengan bayangan seorang gadis yang mendadak menjauh. 

Tak berselang lama…

Bu Retno datang. Seperti biasa, dengan clipboard di tangan dan tatapan tajamnya.

“Sudah siap latihan hari ini?”

Arlena berdiri cepat dan menunduk.

“Siap, Bu.”

Meski dalam hatinya, ia tahu… hari ini, pikirannya akan sulit fokus.

Karena satu suara terus berbisik dalam dirinya:

"Aku tidak boleh mencintai dia…"

Pelatihan pagi dimulai seperti biasa. Bu Retno sudah bersiap dengan instruksi dan nada suara tegasnya.

Namun baru beberapa langkah latihan berjalan dimulai, langkah Arlena terhenti.

“Arlena, postur tubuhmu! Apa kamu sedang tidak fokus hari ini?” tegur Bu Retno, tajam.

Arlena menggigit bibirnya. Tubuhnya mulai gemetar. Ia mencoba menahan semuanya, tapi…

Tangis itu pecah begitu saja.

“Bu Retno…”

Suara itu lirih, bergetar… lalu Arlena mendekat dan memeluk Bu Retno erat-erat.

Tangisnya pecah menjadi isak yang menyesakkan dada.

“Hiks… Bu… hiks…”

Bu Retno sontak kaget.

Ia belum pernah melihat gadis itu seperti ini dan biasanya Arlena selalu sopan, patuh, dan kuat. Tapi sekarang, Arlena menangis seolah menyimpan luka yang dalam.

“Ada apa, Arlena?”

“Kamu kenapa, nak?”

Arlena hanya menggeleng.

Air matanya mengalir deras, tapi bibirnya tetap terkunci. Ia tidak bisa mengatakannya. Tidak bisa berkata bahwa hatinya telah mulai mencintai pria yang justru pernah memperingatkannya untuk tidak melakukannya.

“Aku… aku hanya lelah, Bu…”

Itu satu-satunya alasan yang bisa keluar.

Bu Retno memeluknya erat.

“Tenang, Nak… Kamu sudah kuat sejauh ini. Kamu boleh menangis, kamu manusia…”

Adrian baru tiba di rumah Aldric, membawa setumpuk buku dan catatan untuk pelajaran hari itu. Namun langkahnya terhenti saat melihat Arlena memeluk Bu Retno sambil menangis tersedu-sedu.

Ia mengangkat ponsel secara refleks.

Merekam sebentar, lalu segera mengetik pesan.

[VIDEO SEND]

“Tuan Aldric, saya rasa Anda perlu melihat ini. Arlena menangis. Bukan tangisan biasa.” 

Di kantor, Aldric sedang duduk di ruang rapat. Agenda meeting dengan mitra luar negeri sebentar lagi dimulai, tapi notifikasi dari Adrian membuatnya menegang.

Begitu melihat video itu, Aldric berdiri mendadak.

“Batalkan meeting. Sekarang.” ucapnya dingin kepada asistennya.

“Tuan?”

“Batalkan. Saya harus pulang.” 

Beberapa puluh menit kemudian, Aldric sudah di rumah.

Langkahnya cepat, matanya mencari sosok Arlena. Ia menemukannya duduk di ruang tengah, wajahnya masih sembab.

“Arlena.”

Suara Aldric pelan, tapi penuh tekanan.

Arlena tersentak. Ia berdiri buru-buru dan menunduk.

“Maaf, Tuan. Saya hanya… tidak enak badan.”

Suara Arlena gemetar, mencoba terdengar wajar, tapi jelas menghindar.

Aldric mendekat.

“Kalau kamu sakit, kamu harus bilang. Tapi aku rasa ini bukan sekadar tidak enak badan.”

Tatapannya tajam, seolah menembus dinding pertahanan Arlena.

Arlena menggigit bibirnya. Ia ingin jujur. Ingin mengatakan bahwa hatinya mulai lemah karena perasaan yang tumbuh. Tapi…

“Saya hanya perlu istirahat, Tuan…”

Aldric menatapnya lama. Ada luka di balik kebisuan itu.

Dan ia tahu… Arlena sedang menyembunyikan sesuatu besar.

Sore hari, di ruang kerja Aldric.

Ketukan di pintu terdengar pelan. Adrian dan Bu Retno masuk bersamaan, membawa satu map berisi laporan hasil pelatihan dan pembelajaran Arlena selama beberapa hari terakhir.

“Ini, Tuan Aldric,” ucap Adrian sambil menyerahkan map berwarna biru tua.

Bu Retno menambahkan, “Semua evaluasi dari saya dan Pak Adrian tertulis di sana. Saya tahu Anda sibuk, jadi kami ringkas semuanya.”

Aldric membuka map itu perlahan, matanya menelusuri hasil evaluasi tertulis.

“Wanita itu cepat tanggap. Gerakannya mulai luwes, sopan santun meningkat, cara jalannya masih perlu sedikit diasah.”

Bu Retno bicara tegas seperti biasa, tapi nada suaranya terdengar… bangga.

Adrian menyusul, “Dan untuk nilai akademiknya… luar biasa.

Semua pelajaran dasar, termasuk logika, komunikasi, bahasa Inggris, semuanya berada di atas rata-rata.”

“Ia pintar, Pak Aldric,” ujar Adrian.

“Saya tidak menyangka. Dalam waktu singkat, dia menyerap begitu banyak hal. Antusiasmenya luar biasa.”

Aldric mengangguk perlahan, namun tidak terlihat puas.

Matanya masih tajam menatap laporan, sebelum akhirnya ia menutup map itu dan meletakkannya di meja.

Lalu kalimat itu keluar—datar, tapi mengandung kemarahan yang ditahan:

“Lalu… kenapa anak itu menangis?”

Adrian dan Bu Retno saling pandang.

“Itu yang kami tidak tahu, Tuan,” jawab Bu Retno akhirnya.

“Ia tidak mau berkata apa pun. Hanya bilang sedang lelah.”

Aldric berdiri. Tatapannya penuh tekad.

Kalau dia tidak mau bicara… maka aku yang akan mencari tahu.”

1
Rohana Omar
up la 1 atu 2 bab baru hati nak bacanya....ni up 1 bab lepas tu tercari2 bab seterusnya......
Kadek Bella
lanjut thoor
my name is pho: siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!