Lian, gadis modern, mati kesetrum gara-gara kesal membaca novel kolosal. Ia terbangun sebagai Selir An, tokoh wanita malang yang ditindas suaminya yang gila kekuasaan. Namun Lian tak sama dengan Selir An asli—ia bisa melihat kilasan masa depan dan mendengar pikiran orang, sementara orang tulus justru bisa mendengar suara hatinya tanpa ia sadari. Setiap ia membatin pedas atau konyol, ada saja yang tercengang karena mendengarnya jelas. Dengan mulut blak-blakan, kepintaran mendadak, dan kekuatan aneh itu, Lian mengubah jalan cerita. Dari selir buangan, ia perlahan menemukan jodoh sejatinya di luar istana.
ayo ikuti kisahnya, dan temukan keseruan dan kelucuan di dalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Hari-hari berikutnya, Lian tidak menyerah. Ia tidak langsung menekan Raja Xuan, tetapi menggunakan kecerdasannya. Ia mulai menyebarkan kabar secara halus bahwa dirinya akan segera mundur dari istana. Kabar itu sengaja dibiarkan beredar di telinga para pejabat.
Beberapa pejabat yang diam-diam merasa berutang nyawa pada Lian mendukungnya. Mereka bahkan mengirim surat diam-diam ke Raja Xuan, mengatakan bahwa melepas Selir An dengan hormat akan menjadi tanda besar kebesaran hati seorang raja.
Tidak hanya itu, Lian juga menyusun sebuah catatan yang diberikan langsung ke tangan Raja Xuan. Catatan itu berisi daftar panjang kesalahan para pejabat yang selama ini ditutupi oleh keluarga Luo. Tanpa Lian, catatan itu bisa saja tak pernah terungkap.
Di akhir catatan, tertulis:
"Jika Yang Mulia mengizinkan hamba mundur, maka hamba akan menyerahkan seluruh bukti ini dan menutup mulut selamanya. Tetapi jika hamba dipaksa tetap di istana, maka hamba tidak menjamin keselamatan kebenaran ini."
Raja Xuan, membaca catatan itu dengan rahang mengeras. Ia tahu Lian tidak sedang mengancam demi kepentingan pribadi, melainkan mendorongnya mengambil keputusan bijak. Namun sebagai seorang lelaki, Raja Xuan merasa terhina, perempuan yang seharusnya tunduk malah mengajukan permintaan seperti ini.
Malam itu, ia tidak bisa tidur. Bayangan Lian terus menghantui pikirannya. Wajah anggun itu, mata yang selalu tenang, dan kecerdikan yang menakutkan.
"Aku tidak rela melepasmu, Lian. Tapi aku juga tidak bisa memaksamu." ujar Raja Xuan,
Akhirnya, beberapa hari kemudian, ia memanggil Lian ke aula kecil pribadi.
Dengan wajah muram, ia menyerahkan selembar surat resmi. “Inilah yang kau inginkan. Surat cerai. Kau kini bebas. Dan aku juga sudah menandatangani pemberhentian terhormat untuk Ayahmu, Menteri An. Kau puas sekarang?”
Lian menerima surat itu dengan kedua tangan, lalu menunduk. “Hamba berterima kasih sebesar-besarnya, Yang Mulia. Inilah hadiah terbesar dalam hidup hamba.”
Raja Xuan menatapnya lama, lalu berkata lirih, hampir seperti bisikan, “Kau pikir aku tidak menyesal melepasmu? Ingatlah, Lian, pintu istana ini selalu terbuka jika suatu hari kau menyesal.”
Lian tersenyum samar. "Tidak akan, Yang Mulia. Aku sudah memilih jalanku. Aku tidak mau masuk ketempat ini dimana aku harus mati sia sia tanpa cinta dan juga belas kasihan. sudah cukup kebodohan ku mengejar cinta bodoh yang tidak pernah melihat ku. Aku doakan semoga karma tidak anda dapatkan dan untuk terakhir kalinya aku ucapkan aku menyesal mencintaimu dan cinta busuk itu sudah ku buang jauh tidak ada sedikitpun yang tersisa" lalu Lian pergi dari sana
Raja Xuan yang mendengar itu terlihat shock dan juga mematung. Hatinya sakit seperti tertusuk belati yang kasap mata
Chen Yun, yang berdiri di belakang, mendengar isi hati itu, dan dalam diam berjanji akan setia mendampinginya.
Beberapa hari kemudian, keluarga An bersiap meninggalkan istana. An Xi yang kini tidak lagi menjadi menteri, tampak lebih tenang. Sang ibu bahagia karena akhirnya bisa berkumpul penuh dengan putrinya tanpa takut aturan istana. An Rong, adik Lian, justru sangat bersemangat.
“Jiejie, akhirnya kita bisa hidup bebas! Aku sudah muak melihat wajah pejabat sok suci itu!”
Lian tersenyum. “Hati-hati dengan kata-katamu, Rong. Meski kita bebas, jangan sampai menyinggung orang lain.”
Chen Yun memutuskan ikut bersama mereka. Ia tidak lagi mengenakan seragam pengawal istana. Kali ini ia menjadi pengawal pribadi keluarga An. Sedangkan Yuyan sudah pasti tidak akan pernah meninggalkan Lian.
“Apa pun yang terjadi, saya akan selalu ikut Nyonya,” ucap Yuyan sambil mengepak baju dengan semangat.
Rombongan mereka meninggalkan istana Xu dengan kereta sederhana, bukan kereta kerajaan. Banyak yang melihat, banyak pula yang berbisik, tetapi tidak ada yang berani menghalangi.
Tujuan mereka adalah kota kekaisaran yang ramai, jauh dari hiruk pikuk intrik istana.
Setelah menetap di kota kekaisaran, Lian segera menyusun rencana. Dengan tabungan pribadi dan harta yang dibawa keluarganya, ia membeli sebuah toko sederhana di jalan utama. Toko itu menjual kain, obat-obatan herbal, dan barang kebutuhan sehari-hari.
Nama toko itu “An He Tang” sebuah nama yang berarti kedamaian keluarga An.
Dalam waktu singkat, toko itu menjadi populer karena kualitas barangnya bagus dan harganya wajar. Lian sendiri sering turun tangan membantu di meja kasir atau melayani pembeli. Orang-orang mulai mengenalnya bukan sebagai mantan selir, tetapi sebagai pemilik toko yang ramah.
Chen Yun menjaga keamanan toko, sementara An Rong membantu mengurus gudang. Sang ibu mengatur keuangan, sedangkan ayahnya yang dulu menteri, kini menikmati hari-hari sebagai penasihat bagi pedagang kecil yang membutuhkan nasihat hukum.
Yuyan? Ia menjadi tangan kanan Lian, selalu ada di sisinya, bahkan kadang ikut memarahi pembeli yang mencoba menawar terlalu rendah.
“Kalau tidak mau beli, jangan pura-pura miskin!” celetuknya suatu hari, membuat Lian tertawa terbahak.
Kabar tentang kebebasan Lian ternyata terdengar sampai ke keluarga Chen. Mereka yang dulu dihancurkan oleh fitnah kini mulai bangkit kembali, meski dengan luka yang dalam.
Nyonya Chen, yang masih selamat bersama beberapa anaknya, datang menemui Lian. “Selir An… maksud saya, Nyonya An. Kami mendengar Anda keluar dari istana. Kami juga ingin hidup tenang. Bolehkah kami ikut membangun kehidupan baru di kota ini?”
Lian menyambut dengan tangan terbuka. “Tentu saja. Kita sama-sama pernah menjadi korban. Mari kita berdiri kembali bersama.”
Maka keluarga Chen pun bergabung. Mereka membuka toko senjata di samping toko Lian. Dalam waktu singkat, jalan kecil itu ramai dan disebut orang sebagai “Jalan Keluarga An-Chen”.
Orang-orang kagum melihat dua keluarga bangsawan yang dulu dipenuhi intrik, kini hidup damai sebagai rakyat biasa.
--
Sementara itu, di istana Xu, suasana perlahan berubah suram.
Tanpa keluarga An, istana kehilangan pejabat jujur yang selama ini menjadi penopang kebijakan. Tanpa keluarga Chen, pertahanan perbatasan melemah, karena merekalah yang dulu paling setia menjaga wilayah terluar.
Raja Xuan mulai merasakan sepinya istana. Tidak ada lagi Lian yang duduk anggun di taman, tidak ada lagi suara guqin lembut yang menenangkan.
Suatu malam, ia berdiri di balkon tinggi, menatap bulan purnama. Dalam hati ia bergumam:
“Lian… aku bodoh membiarkanmu pergi. Tapi kini sudah terlambat. Kau tidak akan kembali.”
Matanya memanas, tetapi ia tidak bisa meneteskan air mata di hadapan para kasim. Penyesalan itu menempel di hatinya, namun tidak ada lagi artinya.
Karena jauh di kota kekaisaran, Lian sedang tertawa bersama keluarganya, menikmati makan malam sederhana dengan nasi panas dan sup sayur, sesuatu yang lebih berharga daripada seluruh kekayaan istana.
Dan di sanalah, kisah baru mereka dimulai.
Bersambung
seorang kaisar yang sangat berwibawa yang akan menjadi jodoh nya Lian