"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kacau!
Deru mesin mobil yang melaju kencang membelah malam terasa seperti melodi keputusasaan bagi Sella. Telinganya masih berdengung oleh tembakan Andra, jeritan Edo yang serak, dan bisikan dingin Helena yang baru saja ia dengar melalui ponsel Rio. Rasa mual memenuhi perutnya, ini bukan lagi kekecewaan kecil karena dibohongi soal mobil mewah, ini adalah konspirasi besar yang mengancam nyawanya dan Edo.
Sella memutar tubuhnya di kursi belakang, berhadapan dengan Rio yang fokus menyetir, dan Andra yang duduk di sebelahnya. Wajah Andra pucat pasi, pistol Bara yang dia curi masih digenggam erat. Sella menatapnya, api kemarahan membakar setiap inci sarafnya.
“Kau gila, Andra? Kau menembak dinding! Edo terluka di sana! Kenapa kau menyelamatkan Rio, bukan Edo?!” tuntut Sella, suaranya parau. Ia merasa pengkhianatan ini terlalu berat, terlalu berlapis, bahkan untuk ukuran dirinya yang sering tertipu.
Andra mendesis pelan. “Sella, coba deh berhenti bodoh sesaat. Aku menyelamatkanmu. Edo bisa mengurus dirinya sendiri. Kau dengar Bara bilang apa? Dia ingin kita terlihat saling bunuh! Dan kau, mau diam saja menunggu jadi mayat cantik di sana?”
“Aku diseret, Andra! Aku mau menolong Edo! Kenapa Rio di sini? Apa kalian bersekongkol lagi?”
Rio, pria berbadan besar yang selalu terlihat serius, berbicara tanpa menoleh. “Aku bukan di bawah kendali Andra, Nona Sella. Aku melaksanakan perintah Ibu Helena.”
Sella merasakan lututnya lemas. “Helena? Dia yang menyuruhmu melarikan kami? Kenapa?”
“Dia bilang kalian aset penting yang harus diselamatkan dari kekacauan Bara,” jawab Rio datar.
“Kekacauan? Bara adalah rencana Helena, kan? Aku melihat mereka bertemu di awal! Aku mendengar Helena bilang dialah yang tahu kelemahan perusahaan ini!” Sella mencengkeram jok mobil. “Jelaskan padaku, Rio. Apakah ledakan di Jakarta itu, peretasan data itu, semua itu rencana Helena? Bukan Bara?”
Rio melirik kaca spion sesaat, rahangnya mengeras. “Nona Sella, kau terlalu banyak tahu untuk kebaikanmu. Tapi dengarkan baik-baik: tujuan Helena adalah menghentikan kehancuran total yang direncanakan Bara. Dia melihat peluang. Bara hanya menggunakan Ibu Helena untuk memuluskan jalannya, tapi Ibu Helena tidak selemah itu.”
“Dia juga menipu, sama sepertimu!” Andra menyela dengan nada frustrasi. “Aku seharusnya pergi dengan Hartono. Rencana awalnya, aku hanya membawa Sella, menyerahkan bukti, dan kabur dengan uangku. Aku dibohongi oleh Helena dan sekarang aku berakhir di mobil yang dikendalikan olehnya!”
“Helena janji memberimu perlindungan, kan? Dan juga uang. Dia memanipulasimu dengan cara yang sama sepertimu memanipulasi aku!” Sella menyerangnya. Betapa ironisnya, ia dan Andra sekarang sama-sama korban manipulasi tingkat tinggi.
Andra meletakkan pistol di pangkuannya dan menoleh. Mata hitamnya tampak lelah dan sedikit takut. “Ya, aku di sini karena janji Helena. Tapi itu sebelum Bara meledakkan segalanya dan menuduh kita berdua! Helena setidaknya memastikan kita hidup, Sella. Kau lebih aman bersamanya, walau dia brengsek, daripada kembali ke pabrik itu. Edo terluka, dan Bara akan memburumu. Edo adalah sasaran utama Bara, dia tidak akan punya waktu menjagamu!”
“Edo akan mencari aku!” Sella membantah dengan keras, meskipun suaranya tidak sepenuhnya yakin. Bagaimana Edo bisa mencarinya jika luka di perutnya parah dan ia dikelilingi musuh di rumah sakit?
“Edo hanya akan menemukan mayat,” Rio bergumam dingin. “Kita sudah jauh dari Cikande. Kita menuju Jakarta. Ibu Helena akan mengatur segalanya.”
Sella menoleh keluar jendela, berusaha mengenali lingkungan sekitar, tetapi mobil melaju terlalu cepat di jalanan sepi pinggiran kota. Jakarta. Dia akan kembali ke sarang predator.
“Kenapa kau sangat patuh pada Helena?” tanya Sella kepada Rio, berusaha mencari celah di loyalti Rio.
Rio terdiam beberapa saat, sebelum menjawab. “Bukan patuh, Nona. Tapi kami—maksudku, beberapa dari kami di keamanan—tidak pernah suka cara keluarga Edo mengelola perusahaan. Ada darah orang tak bersalah di balik kekayaan mereka. Edo memang pria yang baik, tapi dia adalah perpanjangan tangan ayahnya. Kami butuh perubahan dari dalam, dan Helena memberikan kami alasan. Dia adalah musuh dalam selimut yang tahu kelemahan lama keluarga itu.”
Pengakuan Rio justru membuat Sella semakin tertekan. Berarti Rio tidak sepenuhnya jahat; ia hanya berada di pihak yang berseberangan karena ideologi. Sama seperti Bara, tapi dengan dalang yang berbeda.
“Jadi kau bekerja untuk wanita yang mencoba menjebloskan Edo ke penjara karena penggelapan dana dan sekarang mencoba mengambil alih perusahaannya?”
“Lebih baik itu daripada mati konyol di tangan Bara,” balas Rio, menekan pedal gas lebih dalam.
Sella kembali ke posisi duduk, merosot, hatinya tenggelam. Ia adalah kartu yang sedang diperebutkan dua manipulator jahat: Bara dan Helena. Edo, yang tulus dan mencoba menyelamatkannya, kini mungkin terbaring sekarat.
“Kenapa Edo tidak melarikan diri bersamamu?” Sella bertanya kepada Andra, menunjuk pistol di pangkuan pria itu. “Kau punya senjata. Kau bisa saja melindunginya!”
Andra tertawa kecil, tawa pahit. “Pikirkan saja dirimu, Sella! Kau harus sadar diri! Kau sudah mokondo, tapi kali ini aku lebih parah. Edo bahkan tidak tahu kenapa aku menembak. Dia masih berpikir aku adalah pengkhianat utamanya. Kau tidak dengar? Edo berteriak namamu, bukan namaku!”
Perkataan itu, walau kejam, menusuk tepat sasaran. Andra benar. Di mata Edo, Andra tetaplah sampah. Tapi Andra, meski sampah, baru saja menyelamatkan Sella dari kematian. Kebingungan moral itu menyiksanya.
Saat mereka melewati gerbang tol menuju kawasan Jakarta Selatan, mobil melambat. Rio mengambil ponselnya lagi, sepertinya akan melaporkan kemajuan mereka.
“Kami tiba di perbatasan tol. Siap masuk kawasan Ibu Helena,” kata Rio ke ponselnya.
Melihat Rio lengah, Sella melirik ke sekitar kursi mobil. Matanya jatuh pada bagian bawah konsol, di antara kursi Andra dan kursi kemudi. Tepat di sana, ia melihat kilatan cahaya kecil yang tersembunyi. Itu adalah earphone Bluetooth milik Edo, yang ia gunakan saat Edo berinteraksi dengan Sella melalui earphone untuk urusan keamanan.
Tadi, Bara mematikan sinyal earphone Sella. Tapi, Bara hanya mencabut earphone dari telinga Sella, bukan menghancurkan *receiver* utamanya yang terpasang di jaket atau di tempat lain. Namun, earphone ini adalah milik Edo.
Dengan gerakan yang sehalus mungkin, Sella merogoh dan mengambil earphone itu. Rio dan Andra terlalu sibuk dengan ponsel dan pistol mereka. Sella memasukkan earphone kecil itu ke telinga kirinya, takut-takut, dan mengaktifkan tombol *power* tersembunyi.
Hening. Kosong. Apakah alat ini rusak?
Tepat ketika keputusasaan melandanya, sebuah suara datang, sangat pelan, nyaris tak terdengar, di balik deru mobil yang melaju. Suara itu bukan Edo, tapi sebuah transmisi otomatis yang hanya bisa dilakukan oleh sistem komunikasi internal keamanan yang canggih.
“Lokasi Sella terdeteksi. KM 15, Tol Jagorawi, mendekati exit Fatmawati. Kode: Andromeda. Target sedang bergerak cepat. Kami sudah menanam bom sensor. Ulangi, kami sudah menanam bom sensor di titik penyergapan.”
Sella memejamkan mata. Itu bukan suara Rio, bukan suara Bara. Itu suara dari pihak Edo. Mereka hidup. Mereka tahu lokasi Sella. Dan yang lebih mengerikan, mereka menyebut Sella sebagai 'Andromeda'—kode nama yang dipakai untuk musuh atau target pengawasan tertinggi.
Bom sensor. Penyergapan.
Sella mengangkat kepalanya, napasnya tercekat. “Rio! Kau… kita mau kemana? Cepat beritahu aku!”
Rio mendongak di spion. “Kenapa? Kau panik, Sella? Sudah kubilang, ke markas Ibu Helena.”
Tepat pada saat itu, sebuah kilatan cahaya biru menyambar dari belakang. Sirene yang memekakkan telinga muncul, diikuti suara desingan tembakan peringatan yang mengenai aspal tepat di samping ban mobil Rio.
“Sialan!” teriak Rio, panik. “Itu siapa?! Kenapa ada yang menyerang kita di area ini?”
Rio mengarahkan mobilnya keluar dari jalur tol menuju jalan arteri dengan kecepatan brutal. Andra berteriak, panik, mengangkat pistolnya yang masih dia pegang erat.
“Aku diserang! Aku diserang! Aku ada di Jakarta! Seseorang mencoba membunuhku!” teriak Rio ke ponselnya, tapi transmisi itu sepertinya sudah terputus. Pengejar itu tampak terlatih, mobilnya identik dengan tim keamanan pribadi Edo.
“Edo! Dia mengirim mereka!” Sella berbisik. Dia yakin Edo berhasil melepaskan diri dan sekarang memburu mereka.
Namun, saat mobil Rio hampir kehilangan kendali di tikungan tajam, suara dari earphone di telinga Sella kembali, kali ini suara familiar yang lebih jelas, tegas, dan menahan amarah.
“Rio, berhenti sekarang juga. Atau mobil itu akan meledak,” kata suara itu.
Sella menegang. Itu bukan suara Edo.
Itu adalah suara dari kepala keamanan yang dia yakini sudah ‘tidur nyenyak’.
Bara.
Dia masih hidup. Dan dia ada di sisi yang berlawanan dengan Edo. Sekarang, Sella dikejar oleh tim Edo, tapi diancam oleh Bara. Mobil Rio melambat drastis, terpojok oleh dua ancaman mematikan. Sella hanya bisa menatap Andra, dan pistol di tangannya, menyadari bahwa hidupnya, sekali lagi, ada di tangan mantan kekasih mokondo yang egois ini.
Apakah Bara dan Edo sudah bekerja sama? Atau Sella, Andra, dan Rio kini menjadi mangsa dalam pertarungan antara dua kepala keamanan gila itu?
“Aku… kita harus lari,” kata Andra, wajahnya benar-benar ketakutan, ia mengarahkan pistol ke kepala Rio.