Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 15.
Pagi di Dubai memantulkan cahaya lembut di permukaan pasir yang tenang. Gurun tampak seperti lautan emas yang berkilau, dan di tengahnya, proyek istana pasir yang sedang Alena dan tim kerjakan perlahan membentuk wujud nyata. Begitu menawan, seolah lahir dari mimpi.
Alena berdiri di depan dinding besar yang baru selesai disusun, tangannya menyentuh pola mozaik kaca yang ia desain sendiri. Pola itu berbentuk bunga yang tumbuh dari pasir—simbol tentang kebangkitan dari sesuatu yang tandus.
Sama seperti dirinya.
Setelah pertemuannya dengan Arga beberapa hari lalu, ia merasakan perubahan yang nyata. Tidak lagi ada bayangan di dadanya, tidak lagi ada keinginan untuk membuktikan apa pun.
Ia tidak ingin membandingkan siapa yang lebih bahagia. Ia hanya ingin… tenang.
Fadil datang dari arah tenda besar proyek, membawa tablet dan sebotol air. “Minumlah.“
Alena mengambil botol air dan meneguknya. “Desain ini membuatku sulit tidur semalaman, aku ingin memastikan warnanya sesuai dengan cahaya matahari pagi.”
Fadil menatap pola itu. “Cantik, tapi aku lebih suka maknanya. Bunga yang tumbuh di tengah pasir... seperti seseorang yang kutahu.”
Alena menoleh. “Siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan kamu.” Jawab Fadil ringan, membuat keduanya terkekeh.
Beberapa pekerja lewat membawa keramik dan batu marmer, angin gurun menari di antara kain tenda.
Alena memandang jauh ke horizon, lalu berkata, “Aku sering berpikir… mungkin dulu aku mencintai seseorang bukan karena dia sempurna, tapi karena aku ingin merasa cukup baik untuknya.”
“Kau tidak perlu merasa cukup baik untuk siapa pun,” balas Fadil. “Kau hanya perlu menjadi cukup untuk dirimu sendiri...”
Kata-kata itu sederhana, tapi begitu dalam.
Alena menatap mata Fadil. “Itulah yang kupilih sekarang. Aku ingin bahagia, tapi bukan karena seseorang datang membawanya. Aku ingin bahagia... karena aku sendiri memutuskan untuk begitu.”
Fadil tersenyum samar. “Mungkin itu salah satu alasan... kenapa aku menyukaimu.”
Alena tersentak kecil, tatapan mereka bertemu.
“Karena kau tidak menunggu untuk diselamatkan seseorang, tapi kau... menyelamatkan dirimu sendiri.” Ucap Fadil penuh perasaan.
Di tengah gurun yang luas dan langit biru itu, kata-kata Fadil terasa seperti pelukan tak kasat mata. Membuat Alena ingin percaya, bahwa cinta tidak selalu menyakitkan.
Hari itu proyek istana pasir berlanjut hingga sore. Angin gurun membawa aroma rempah, dan matahari menurunkan cahayanya perlahan.
Fadil berdiri di atas balkon bangunan utama yang baru dirancang, menatap ke arah Alena yang sedang berbicara dengan para desainer lokal. Ia memperhatikan wanita itu diam-diam. Bagaimana cara Alena menjelaskan dengan lembut tapi tegas, cara tangannya bergerak menggambar garis di udara, hingga bagaimana kerudung satinnya bergerak ditiup angin.
Ada sesuatu yang tenang dari wanita itu, tapi sekaligus menghidupkan.
Ketika rapat selesai, Fadil memanggil Alena ke ruang kerja kecil di tenda utama.
“Duduk dulu,” katanya sambil menuangkan kopi Arab ke dua cangkir. “Kau terlihat lelah.”
“Sedikit lelah, tapi puas.”
“Puas itu tanda bahagia,” ucap Fadil.
Alena menatap wajah pria di depannya dengan lembut. “Kau selalu tahu cara menenangkanku, ya… Habibi.”
Ucapan Alena membuat Fadil sontak terdiam. Ekspresinya membeku, bola matanya bahkan sedikit bergetar. “K-kamu... barusan memanggilku apa?”
Alena tersenyum. “Aku sudah belajar banyak bahasa di sini. Jadi… aku memanggilmu Habibi. Salah, ya? Bukankah, kau kekasihku?”
Fadil terpaku. Bagi Alena, mungkin kata itu sekadar sapaan hangat. Tapi baginya, Habibi berarti... cintaku. Hatinya bergetar hebat.
Fadil tersenyum, senyum lembut yang muncul dari relung hatinya. “Aku suka saat kau memanggilku begitu.“
Alena tertawa kecil, pipinya memerah. “Kalau begitu, aku akan memanggilmu begitu setiap hari.”
Fadil kemudian membalas dengan nada hangat, suaranya bergetar lembut di udara malam. “Terima kasih, ya… Malikati.“
Kini giliran Alena yang terdiam, matanya membulat. Ia tahu arti kata itu... Ratu-ku.
Keheningan turun sesaat, hanya suara angin yang membuat tirai berayun pelan.
Alena menutupi rasa malunya, dia menatap sekeliling. Ruangan itu sederhana, tapi kini dipenuhi benda pribadi milik Fadil. peta kuno, pena logam, dan satu foto tua di meja.
“Foto siapa itu?” tanya Alena.
“Orang tuaku. Ibuku orang Inggris, sementara ayahku… pangeran ketiga. Di kerajaan, masih banyak pangeran yang bertahan di istana. Ada yang hidup untuk tahta, tunduk pada aturan, dan menjaga nama keluarga. Tapi sebagian lagi memilih seperti aku... meninggalkan istana. Membangun hidup sendiri, tanpa bayang-bayang mahkota. Aku… tak ingin terikat lagi.”
Tatapan matanya menerawang jauh, ada kesedihan samar di sana. Seperti luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Tanpa sadar, Alena menggenggam tangan besar pria itu. Sentuhan itu lembut, tapi mengandung kekuatan. “Kau masih berduka atas kehilanganmu, ya? Atau… kau masih mencintai wanita itu?” tanyanya hati-hati.
Fadil menoleh, senyumnya muncul perlahan. “Aku tidak bersedih karena masih mencintainya. Aku hanya menyesal… karena tak bisa melindunginya.” Ia menarik napas panjang. “Dulu, aku masih terikat aturan kerajaan. Humaira... dia masih aktif menjadi model. Dan bagi keluarga kerajaan, itu dianggap aib. Aku mendukungnya, tapi ternyata banyak yang tidak suka. Lalu… dia mengalami kecelakaan. Dan aku tahu, itu bukan kecelakaan biasa.”
Suara Fadil merendah, nyaris seperti bisikan. “Kasus itu sampai sekarang belum terselesaikan, karena menyangkut nama besar istana.”
Alena terdiam sejenak. Ada rasa takut yang tiba-tiba tumbuh, tapi ia memilih untuk tidak mundur. Ia menatap Fadil dengan senyum berani. “Aku percaya padamu. Aku tahu jalan kita tak mudah, tapi aku tidak akan menyerah… meski dunia menentang.”
Fadil menatap Alena, lalu dengan suara lembut namun tegas ia berkata. “Tenanglah, kamu aman bersamaku. Ada pengawal bayangan di sekeliling kita. Kau mungkin tak melihat mereka... tapi mereka ada. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu, bahkan keluarga kerajaan sekalipun.”
Ia menggenggam tangan Alena lebih erat, menatapnya dalam-dalam. “Aku sudah kehilangan satu kali… dan itu cukup.”
Untuk sesaat, dunia terasa ringan. Tak ada ambisi, tak ada proyek besar, tak ada gelar. Hanya dua orang yang jatuh cinta, dan berbagi keheningan yang hangat.
Sore berganti malam, Fadil mengantar Alena keluar dari tenda.
Langit penuh bintang, gurun bersinar lembut di bawah cahaya perak bulan.
“Kadang aku berpikir, hidup terlalu keras pada orang baik.” Ucap pria itu.
“Dan orang baik terlalu keras pada dirinya sendiri,” jawab Alena.
Fadil menoleh. “Maka biarkan aku sedikit meringankan bebanmu... agar lebih ringan.”
Alena tertawa pelan. “Kau melamar jadi penenang pribadi, ya?”
“Kalau perlu kontrak resmi, aku bersedia menandatangani.” Jawab Fadil datar, tapi matanya berkilat jahil.
Alena menatap kekasihnya sambil tertawa, lalu menggeleng pelan. Sejak bertemu Fadil, ia mudah sekali tertawa.
Bukan karena kata-kata manis pria itu, tapi karena kehadiran Fadil terasa melindungi.
.
.
.
Beberapa minggu kemudian, pagi Dubai terasa sibuk. Di ruang desain utama, tim proyek istana menerima surat resmi dari pihak kerajaan.
Surat itu bersegel emas.
“Undangan ke acara Royal Architectural Gala,” kata Fadil sambil membuka amplop. “Proyek kita termasuk yang akan diperkenalkan malam itu.”
Semua orang bertepuk tangan, tapi Alena hanya tersenyum tenang. Ia belum pernah menghadiri acara sebesar itu, apalagi di lingkungan kerajaan.
“Kau akan datang, kan?” tanya Fadil, setengah memastikan.
“Kalau tidak?” Alena mencoba bercanda.
“Maka aku akan memerintahkan paspor-mu ditahan sementara,” ia tersenyum menggoda.
Alena hanya terkekeh geli.
Akhirnya, malam itu datang juga.
Dubai berubah menjadi kilau malam penuh kemewahan. Di ballroom megah dengan lampu kristal dan pilar marmer, para arsitek dan bangsawan berkumpul mengenakan pakaian formal khas Timur Tengah.
Alena mengenakan gaun berwarna gading dengan motif gurun halus di bawahnya, dipadukan dengan jilbab sutra warna krem lembut. Ia berdiri di samping Fadil yang mengenakan thawb putih dan selendang emas.
Ketika ia berjalan masuk di samping Fadil, beberapa pasang mata langsung menoleh ke arah mereka.
Seseorang menatap Alena dengan mata tajam penuh kebencian.
“Berani sekali dia mendekati Fadil, dia pikir bisa merebutnya dariku?“ Senyum dingin muncul di wajahnya. “Fadil hanya milikku! Humaira sudah aku singkirkan, sekarang... giliran wanita ini!“
Alena tiba-tiba menoleh, merasa ada yang memperhatikannya.
Matanya langsung bertemu dengan seseorang di kejauhan. Orang itu menatapnya tajam, lalu tersenyum dingin padanya.
Kalo Arga meminta Alena untuk balikan, jangan harap deh yah.. 😫
Kaya Jailangkung aja, datang tak dijemput pulang tak diantar /Facepalm/
Karena dianggap Lady Diana sering melanggar aturan selama menjadi istrinya Pangeran Charles...