Seorang detektif muda tiba-tiba bisa melihat arwah dan diminta mereka untuk menyelesaikan misteri kematian yang janggal.
Darrenka Wijaya, detektif muda yang cerdas namun ceroboh, hampir kehilangan nyawanya saat menangani kasus pembunuh berantai. Saat sadar dari koma, ia mendapati dirinya memiliki kemampuan melihat arwah—arwah yang memohon bantuannya untuk mengungkap kebenaran kematian mereka. Kini, bersama dua rekannya di tim detektif, Darrenka harus memecahkan kasus pembunuhan yang menghubungkan dua dunia: dunia manusia dan dunia arwah.
Namun, bagaimana jika musuh yang mereka hadapi adalah manusia keji yang sanggup menyeret mereka ke dalam bahaya mematikan? Akankah mereka tetap membantu para arwah, atau memilih mundur demi keselamatan mereka sendiri?
Update setiap hari,jangan lupa like dan komen
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadinachomilk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 11 RUANGAN BAWAH TANAH
Darren melangkahkan kakinya secara pelan menuruni tangga spiral itu ia mengendap endap agar orang yang disana tidak tahu keberadaanya. Untung saja saat ia turun disana terlihat lorong panjang yang gelap Darren lalu bersembunyi ke salah satu tembok.
"Darren,bentar gue bantu hack cctv disana"kata Selina lewat earpiece.
Darren melangkahkan kakinya menyusuri lorong yang gelap itu setiap lorong ada kamar dan nomornya tetapi ruangan itu gelap Darren menggunakan senter hpnya untuk melihat apa yang ada disana,ada alat medis yang berserakan lalu ada kayak pakaian operasi.
"Lin,gimana uda belum gue harus kemana?mau gue matiin senternya"
"Tunggu dulu Ren,hati hati"
Selina duduk dengan wajah tegang di depan laptopnya. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, mencoba menembus sistem keamanan CCTV ruang bawah tanah yang terkenal rumit. Berkali-kali layar hanya menampilkan pesan "Access Denied" yang membuat napasnya semakin sesak.
Percobaan pertama gagal.
Percobaan kedua sistem langsung menutup otomatis.
Percobaan ketiga alarm hampir aktif, membuat jantungnya seakan terlepas.
"Please kali ini harus berhasil" gumam Selina dengan suara bergetar, keringat menetes di pelipisnya.
"Ayo Lin,lo pasti bisa"Jena memberi semangat.
Lalu, pada percobaan keempat, layar akhirnya menampilkan rekaman dari kamera bawah tanah. Gambar buram itu perlahan terbuka, memperlihatkan lorong gelap dan berdebu. Selina menghela napas lega sambil langsung meraih ponselnya.
"Darren, gue berhasil. CCTV udah kebuka. Dengar baik-baik, gue pandu lo cari tempat yang aman" ucap Selina cepat, hampir terburu-buru.
Suara Darren terdengar dari seberang, terdengar terengah karena ia sedang berlari.
"Oke, Sel, kasih tahu gue jalan yang aman. Gue nggak bisa lihat apa-apa di sini"
"Lo lurus aja disana ga ada penjaga"Selina memberi intruksi.
Lalu matanya fokus ke layar melihat semua koridor yang ada disana sampai ia terbelalak melihat ada salah satu ruang operasi disana dan ada anak kecil yang tertidur di bangsal.
"Darren,gue lihat ada ruang operasi disana"
Suara Darren terdengar tergesa, napasnya masih memburu.
"Di sebelah mana, Sel? Gue nggak lihat pintunya"
Selina cepat mengganti layar ke denah kamera lain, matanya bergerak cepat mengikuti tanda.
"Dengerin gue baik-baik. Di koridor depan, tiga pintu dari posisi lo sekarang, itu pintu ruang operasi. Tapi..." Selina berhenti, matanya terbelalak lagi melihat satu kamera lain.
Di layar, terlihat seorang pria dengan jas dokter berjalan di koridor bersama dua perawat. Salah satu pintu terbuka, menyingkap ruangan penuh dengan rak-rak baju seragam medis.
Selina mencondongkan tubuh ke layar, bicara cepat.
"Ren, lo harus nyamar. Dua pintu sebelum ruang operasi ada ruang ganti perawat. Gue lihat ada seragam di dalam. Masuk ke sana, ganti baju lo, terus lo bisa pura pura jadi perawat"
Darren berhenti sejenak, menatap ke arah yang dimaksud.
"Lo yakin ini aman?"
"Kalau lo masuk ke ruang operasi pake baju lo yang sekarang, lo langsung dicurigain. Ini satu-satunya cara, lo sekalian pakai masker" Selina menekankan, suaranya hampir memohon.
Darren menghela napas panjang, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
"Oke. Pandu gue,Sel disini gelap banget"
"Sekarang lo lurus lo maju terus sampe ke ruang yang ga ada pintunya"
"Oke gue lakuin"
Dengan insting yang tajam Darren melangkahkan kakinya sambil merabah rabah dinding namun naas karena kecerobohan Darren. Figura yang ada di dinding lepas karena tersenggol tangan besar Darren.
"Oh my god ren,suasana kayak gini lo masih ceroboh"Selina kesal.
"Lo mundur dulu kayaknya ada orang yang denger"
Darren mundur lalu bersembunyi di salah satu ruang. Dua orang penjaga menyenteri ke salah satu dinding melihat ada apa.
"Apa yang jatuh?tanya salah satu penjaga.
"Kayaknya figura deh"
"Yaudah biarin aja,kita lanjut kalau terlambat bos bisa marah"
"Oke Ren lo bisa lanjut mereka udah pergi"
Darren melangkahkan kakinya dengan cepat,lalu akhirnya sampai ke ruangan yang ditunjukan Selina.
"Lo ganti pakaian ,pakek masker juga biar ga ketahuan oh ya disana ada kacamata,lo harus pakek"
"Iya bawel"kata Darren malas.
Darren segera masuk matanya cepat menyapu sekitar. Benar kata Selina di rak-rak kayu berjejer beberapa set seragam putih kusam, lengkap dengan masker medis, sarung tangan lateks, dan kacamata pelindung.
Dengan sigap, Darren melepas jaketnya, mengenakan baju perawat, lalu memasang masker hingga menutupi setengah wajahnya. Ia sempat mengintip cermin kecil di sudut ruangan, memastikan penampilannya cukup meyakinkan. Hanya sorot matanya yang masih terlihat tajam.
"Ren, ada dua perawat baru masuk lorong. Tunggu sepuluh detik, biar mereka lewat dulu" suara Selina terdengar di earpiece kecil di telinga Darren.
Darren mengangguk pelan walau tahu Selina tak bisa melihat. Ia berdiri di balik pintu, menunggu kedua orang itu lewat. Suara langkah kaki bergema di lorong, lalu menghilang.
"Sekarang. Jalan lurus, belok kanan, pintu kedua itu ruang operasi"
Darren melangkahkan kakinya dengan pelan, lalu menyusuri lorong. Kepalanya menunduk sedikit, langkahnya dibuat santai seperti orang yang sudah terbiasa. Dua orang staf medis lewat dari arah berlawanan, hanya melirik sekilas tanpa curiga.
Ketika sampai di depan pintu bercahaya terang itu, Darren berhenti sejenak. Tangannya berkeringat saat meraih gagang pintu logam. Dari balik pintu, samar terdengar suara mesin berdengung dan bunyi beep… beep… monitor medis.
"Ren, hati-hati. Ada dua dokter dan satu asisten di dalam. Jangan gegabah,masuk aja kayak biasa" bisik Selina.
Darren menarik napas panjang, lalu mendorong pintu itu perlahan. Cahaya putih langsung menyilaukan matanya.
Di dalam ruangan, ia melihat pemandangan yang membuat perutnya mual seorang anak kecil terbaring di meja operasi, tubuhnya penuh kabel dan selang. Di sekelilingnya, dua pria dengan jas dokter sedang menyiapkan instrumen bedah, sementara seorang asisten sibuk mencatat sesuatu di clipboard.
Darren menelan ludah. Kakinya perlahan melangkah masuk, berusaha menahan diri agar tidak langsung bereaksi. Semua mata di ruangan itu sesaat menoleh padanya.
"Cepat ambilkan tabung oksigen cadangan" perintah salah satu dokter tanpa benar-benar memperhatikan wajah Darren.
Darren hanya mengangguk dan melihat lihat sekeliling.
"Gimana kondisi anak ini sehat kan?"tanya salah satu dokter.
Asisten itu menjawab "Keadaannya sehat bos minta mata sama ginjalnya"
"Oke pisau bedah dan yang lain udah siap kan?"tanya salah satu dokter kepada Darren.
Darren hanya mengangguk sambil memberikan tabung oksigen. Operasi segera dimulai.
Lampu operasi memantul tajam ke permukaan pisau bedah yang sudah berada di tangan dokter utama. Udara dalam ruangan begitu tegang, setiap detik terasa seperti bom waktu yang menunggu meledak.
"Baik, kita mulai dengan kornea dulu" Suara dokter itu tenang, dingin, seolah hal ini hanyalah rutinitas.
Darren menelan ludah. Tangannya sedikit bergetar saat masih memegang tabung oksigen. Ia tahu satu langkah salah, penyamarannya terbongkar. Tapi jika ia diam saja, anak itu akan mati.
"Gue harus bagaimana ini"batin Darren.
Di ruang kontrol, Selina menatap layar monitor dengan wajah pucat.
"Darren, lo harus bantu dia sekarang! Kalau operasi jalan, anak itu bakalan tamat!!!!" katanya panik lewat earpiece.
Jena ikut gelisah, menutup mulutnya. "Gue nggak tahan liatnya Ren, lakuin sesuatu, cepet!"
Darren berpikir cepat. Otaknya berputar liar mencari celah. Kalau gue langsung nyerang, gue ketahuan. Tapi kalau gue bisa bikin mereka berhenti....
"Dok bentar dok,ini oksigennya taroh dimana?"tanya Darren polos.
"Disana"tunjuk dokter itu.
Lalu saat sang dokter mau melanjutkan kegiatannya.Tiba-tiba ide brilian melintas di kepalanya Darren. Ia melangkah maju dengan wajah serius.
"Dok, tahan dulu"
Dokter itu mendengus kesal.
"Apa lagi? Kita nggak punya waktu"
Darren menunjuk ke arah monitor detak jantung anak itu, berpura-pura kaget.
"Lihat grafiknya dok.Saturasi oksigen turun drastis. Kalau dipaksa operasi sekarang, organ yang kalian mau ambil bisa rusak total"
Para asisten langsung menoleh ke monitor. Bunyi beep… beep… beep… masih stabil, tapi Darren cepat-cepat menekan tombol pengatur, membuat angka di layar menurun drastis.
"Gawat, Dok" teriak salah satu perawat.
"Benar kata dia, oksigennya drop. Kalau lanjut, transplantasi bisa gagal,kita tunda dulu"
Dokter utama mendekat, wajahnya berubah tegang. Ia menatap monitor, lalu menggeram.
"Sialan kita nggak bisa ambil risiko"
Darren menahan napas lega. Tangannya masih menggenggam tabung oksigen, berpura-pura sibuk menyesuaikan.
"Saya sarankan stabilisasi dulu. Kalau pasien mati di meja operasi, bos besar pasti akan ngamuk"
Ruangan itu seketika kacau oleh perintah darurat. Anak itu segera dipindahkan ke ruang observasi, sementara dokter-dokter menunda operasi untuk menunggu kondisi stabil.
Selina hampir bersorak dari ruang kontrol.
"REN LO JENIUS! Gue kira lo bener-bener bakal biarin mereka ngapa ngapain anak itu"
Jena mengusap wajahnya lega.
"Gue hampir nangis sumpah"
Darren hanya menarik napas panjang, berusaha menenangkan jantungnya yang hampir meledak.
"Gue harus cari cara keluarin anak itu sekarang juga"