Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 POV ERLANGGA
Aku menatap papan harga yang ditunjukkan oleh petugas gedung. Angka itu membuat keningku berkerut.
“Megan ini serius kamu pilih dekorasi ini?” tanyaku sambil memastikan lagi.
Megan mengangguk mantap, wajahnya berbinar.
“Iya, Mas. Aku maunya yang terbaik. Kita kan cuma sekali seumur hidup menikah, harus spesial.”
Aku menarik napas panjang, mencoba menutupi keterkejutanku. “Tapi… harganya lumayan tinggi. Apa tidak ada pilihan lain yang lebih sederhana?”
Megan langsung merajuk, matanya menatapku tajam.
“Mas, kamu kan sudah janji bikin aku bahagia. Aku tidak mau pernikahan kita terlihat biasa saja. Aku ingin orang-orang melihat kalau aku layak berdiri di sampingmu.”
Aku tercekat mendengar kalimat itu. Sekilas rasa bersalah muncul, namun cepat kutepis.
“Baiklah, Megan. Kalau itu maumu, akan aku usahakan.”
Megan tersenyum puas, lalu meraih lenganku.
“Aku tahu Mas pasti bisa. Aku tidak peduli bagaimana caranya, yang penting aku bahagia dan semua orang tahu kita menikah dengan megah.”
Aku hanya bisa menelan ludah, pandanganku kembali ke papan harga yang membuat dadaku sesak. Bagaimana bisa semahal ini?
Sementara Megan masih sibuk menata mimpi-mimpinya di depan dekorator, aku berdiri kaku. Uang yang ada jelas tidak akan cukup. Semua tabunganku sudah habis untuk cincin, undangan, dan gedung.
Pikiranku berputar cepat. Apa aku harus mengelapkan uang kantor lagi?
Bayangan kasus yang dulu hampir terbongkar langsung membuat tengkukku dingin. Kalau sampai ketahuan, bukan hanya pekerjaanku yang melayang, tapi hidupku bisa hancur.
Aku melirik Megan yang tertawa riang sambil menunjuk detail dekorasi yang ia inginkan. Senyumnya begitu puas, seolah tidak peduli dari mana biaya semua ini berasal.
"Sa... Sayang?" panggilku.
"Kenapa, Mas?"
Aku menatap katalog dekor itu sekali lagi, lalu mencoba membuka pembicaraan.
"Megan… harga dekor yang kamu pilih ini terlalu mahal. Uang kita nggak akan cukup."
Megan langsung menoleh dengan ekspresi tidak suka. "Kenapa sih kamu selalu hitung-hitungan? Ini pernikahan kita, bukan acara biasa."
"Aku tahu," ujarku pelan, berusaha menahan nada suaraku. "Tapi kalau kita paksakan, nanti malah berantakan. Aku cuma minta kita pertimbangkan lagi."
Megan mendengus, menyilangkan tangan di dada. "Aku nggak mau! Aku sudah jatuh cinta sama dekor ini. Kamu tinggal nurut aja, selesai."
Aku menarik napas panjang. "Tapi, Meg, coba bayangin kalau nanti kita harus berhutang atau—"
"Berhutang pun nggak masalah!" potong Megan cepat. "Asal dekor ini yang dipakai. Aku nggak mau dekor lain."
Aku hanya bisa memejamkan mata sejenak, menahan rasa kesal yang membuncah di dada. Percuma berdebat, Megan tetap keras kepala dengan pilihannya.
"Baiklah," ucapku akhirnya dengan suara berat. "Kalau memang itu yang kamu mau, aku akan usahakan."
Megan langsung tersenyum puas, seolah baru saja memenangkan pertempuran. "Nah, begitu dong, Lang. Aku janji dekor ini bakal bikin pernikahan kita terlihat sempurna."
Aku mengangguk, tapi dalam hati aku gelisah. Bayangan tentang uang yang tak cukup, bahkan kemungkinan harus menggelapkan dana kantor lagi, terus menghantui pikiranku. Namun, melihat tatapan Megan yang penuh antusiasme, aku tak sanggup lagi berkata tidak.
…
Setelah urusan gedung selesai dan aku memberikan pembayaran di awal untuk dekor yang sudah Megan pilih, kami berdua pun memutuskan untuk pulang.
Di mobil, suasana terasa hening. Aku menatap jalan, sementara Megan sibuk dengan ponselnya. Sesekali aku melirik, berharap ia sadar kalau aku sebenarnya sedang penuh beban.
Sesampainya di depan apartemennya, aku memberhentikan mobil. Megan menoleh, wajahnya kembali lembut.
"Mas, terima kasih sudah penuhi permintaanku untuk gedung dekornya. Aku yakin kedua orang tuaku pasti bangga punya calon menantu yang sukses. Aku tahu kamu bisa atur semuanya. Aku percaya sama kamu."
Aku hanya bisa mengangguk lemah.
"Iya, Sayang…"
Megan tersenyum puas, lalu keluar dari mobil.
"Aku sayang kamu, Mas. Aku masuk dulu ya."
"Ya… hati-hati masuk," jawabku singkat.
Begitu ia masuk ke apartemen, aku menghela napas panjang, memukul ringan setir mobil.
"Ya Tuhan… dari mana aku harus cari tambahan uang lagi? Masa aku harus gelapkan dana kantor lagi? Kalau sampai ketahuan, habis sudah aku."
Dengan beban yang makin menyesakkan, aku menyalakan mesin dan melaju pulang ke rumah, tapi hatiku terasa semakin gelap.
Satu jam kemudian. Aku sudah sampai rumah, saat membuka pintu anakku Mira dan Clara langsung menyebutku dengan kegembiraan.
"Akhirnya papah pulang, gimana pah untuk sewa gedung pernikahannya? Apa sudah dapat? Terus kapan nikahnya" tanya Clara.
Aku menoleh, sedikit kaget dengan pertanyaannya yang begitu langsung. "Kenapa buru-buru nanya begitu?"
Si sulung ikut nimbrung, sambil bersandar di pintu kamar. "Kita cuma pengin tahu, Pa. Lagian… kita udah nggak sabar punya Mamah baru kaya tante megan. Secara dia wanita modis dan cantik. Sekalian ada yang bisa nemenin kita kalau Papa sibuk kerja"
Si bungsu menimpali cepat, matanya berbinar. "Iya, Pa! Aku udah kebayang bisa shopping bareng sama tante Megan. Nggak cuma sama istri jadul papah doang yang biasanya cepat bosan."
Aku terdiam, menatap mereka bergantian. Ada perasaan campur aduk di dada.
"Kalian beneran siap nerima Tante Megan jadi Mamah kalian?" tanyaku pelan.
Si sulung menghela napas. "Papa, kita bukan anak kecil lagi. Kita ngerti kok. Kita cuma pengin ada sosok kaya tante Megan rumah ini nggak bakal sesepi sekarang."
Aku menunduk sebentar, mencoba menahan beban di kepala.
"Pernikahannya sebentar lagi, Papa lagi siapin semuanya. Kalian sabar ya."
Si bungsu tersenyum lebar. "Asik! Jadi nanti aku bisa curhat ke tante Megan kalau ada masalah di sekolah. Papa kan kalau ditanya soal teman atau pelajaran suka jawabnya singkat."
Si sulung mengangguk pelan. "Aku cuma minta satu, Pa. Jangan sampai pernikahan ini bikin Papa pusing lagi. Kalau Papa jatuh, kita juga ikut jatuh."
Aku tercekat, lalu mengelus kepala mereka satu per satu. "Papa janji, semua akan baik-baik aja."
Malam itu aku terbaring di kasur dengan mata terbuka. Lampu kamar sengaja kupadamkan, hanya cahaya redup dari luar jendela yang masuk. Kepalaku terasa berat, pikiranku penuh dengan suara-suara yang saling bertabrakan.
"Papa jangan sampai jatuh, kalau Papa jatuh kita juga ikut jatuh…" Kata-kata anak sulungku terus terngiang di telinga.
Aku menghela napas panjang, menatap langit-langit kamar. "Gimana aku bisa nggak jatuh kalau beban ini semakin besar?" gumamku lirih.
Bayangan wajah Megan muncul, dengan senyum manisnya saat menunjuk dekorasi mahal itu. "Aku nggak mau yang murahan, Langga. Pernikahan kita harus mewah, harus berkelas…"
Aku memejamkan mata, tapi justru rasa sesak makin menguat.
"Uang kantor… apa aku harus pakai lagi?" bisikku.
Tapi begitu aku berpikir ke arah sana, rasa takut langsung menyeruak. Aku tahu posisiku semakin terancam. Kalau sampai ketahuan Angkasa… habislah aku.
Kuraih ponsel di meja samping. Ada banyak pesan belum terbaca dari Megan, isinya hanya soal undangan, dekor, gaun, dan catering. Tidak ada satu pun yang menyinggung soal perasaan atau keadaanku. Semua tentang pesta mewah itu.
Aku meletakkan ponsel dengan kasar. "Kenapa aku harus repot-repot begini?"
Di dada, ada rasa sesal. Ratu sudah pergi, dan kini aku malah semakin terjebak dengan perempuan lain.
sampe bab ini masih bingung alur nya..tdk ada pov ratu jadi masih sepihak
beda istri beda rejeki apalagi hsil selingkuh bgitu.