Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Mata yang Tak Pernah Bohong
Dua minggu terakhir, rumah kami lebih sepi dari biasanya. Bukan karena tak ada suara, tapi karena kami terlalu banyak bicara lewat diam. Dan bagiku, diam Arvan jauh lebih bising dari amarah mana pun.
Aku masih mengingat malam itu. Arvan pulang lebih larut dari biasanya. Waktu menunjukkan pukul 11 malam ketika suara pintu depan terbuka. Aku tak tidur, hanya pura-pura. Mataku terpejam, tubuhku diam, tapi telingaku siaga penuh.
Langkah kakinya pelan, nyaris tak terdengar, seperti sedang menyelinap dalam rumahnya sendiri. Aku mendengar desahan nafasnya, terdengar lelah, tapi bukan karena pekerjaan. Bukan juga karena masalah rumah tangga. Tapi karena kebohongan yang mulai memberatkan.
Pagi harinya, saat kami sarapan, aku menatap wajahnya lekat-lekat. Garis kantung matanya menebal. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku. Matanya. Selalu matanya.
"Aku keluar kota akhir pekan ini. Ada pekerjaan dari kantor pusat," katanya tanpa melihat ke arahku.
Aku diam. Sendokku terhenti. Arvan jarang keluar kota, apalagi mendadak seperti ini. Dan aku tahu, kalau dia benar-benar punya urusan kantor, dia akan menjelaskannya panjang lebar, seolah ingin terlihat profesional di mataku. Tapi pagi itu dia terlalu singkat, terlalu santai, terlalu... tidak bersalah.
"Kau sendiri atau bareng tim?" tanyaku akhirnya.
"Sendiri. Tapi nanti ketemu timnya di sana." Suaranya datar.
Aku tak menjawab. Hanya mengangguk pelan dan melanjutkan makan. Tapi hatiku tak bisa diam. Naluri seorang istri atau mungkin perempuan yang sudah terlalu sering dikecewakan berteriak kencang di dalam diri.
Malam harinya, aku nekat membuka laptopnya. Jarang sekali dia membiarkannya tergeletak tanpa password. Tapi entah kenapa malam itu seperti semesta memberi jalan. Mungkin semesta ingin aku tahu.
Aku tidak menemukan folder mencurigakan. Tidak ada foto. Tidak ada video. Tapi ada satu aplikasi chatting yang ia unduh, bukan WhatsApp, bukan Telegram. Dan di sana, aku menemukannya. Chat dengan seorang perempuan bernama "Nira". Nama yang dulu hanya berupa bayangan masa lalu, kini hadir sebagai kenyataan paling menyakitkan.
"Nanti kita ketemu di Bandungan ya. Aku kangen banget sama kamu."
"Aku juga. Maaf aku masih belum bisa lepas dari semua ini. Tapi kamu tahu siapa yang selalu ada di hati aku."
"Jangan terlalu keras ke istrimu. Dia nggak salah."
Tanganku bergetar membaca kalimat terakhir. Dia yang tak salah, tapi aku yang dibohongi. Aku yang disalahkan karena terlalu posesif, terlalu cemburu, terlalu curiga. Padahal semua itu... nyata.
Tangis itu tumpah sebelum bisa kutahan. Dada ini terlalu sesak untuk terus diam. Saat itu aku sadar, aku hanya tinggal bayangan di rumah ini. Sementara hatinya dan mungkin tubuhnya juga sudah lama berada di tempat lain.
Esoknya, aku tidak memasak sarapan. Tidak menyiapkan kopi. Tidak menyetrika bajunya. Aku hanya duduk di ruang makan dengan wajah kosong. Dan saat ia keluar dari kamar mandi, mengenakan kemeja biru favoritnya, aku berdiri dan menatapnya lurus.
"Kamu mau ke Bandungan, kan?"
Arvan terdiam. Seketika.
Matanya membelalak, dan wajahnya memucat. Matanya lagi-lagi matanya tak mampu menyembunyikan apapun. Ia mencoba membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Mungkin karena ia tahu, kali ini aku benar-benar tahu.
"Aku lihat isi chat-mu. Aku tahu kamu masih sama dia," lanjutku pelan.
"Kenapa kamu buka laptopku?" tanyanya akhirnya, mencoba mencari celah untuk menyelamatkan ego.
Aku tertawa kecil, getir. "Itu saja yang kamu pikirkan? Bukan soal kamu mengkhianati aku? Bukan soal kamu tidur di sebelahku setiap malam tapi jiwamu pergi ke perempuan lain?"
"Aku capek, Nayla. Aku nggak bisa pura-pura terus," katanya, suaranya mulai meninggi.
Dan aku, untuk pertama kalinya, membiarkan diriku marah. Benar-benar marah. Karena ternyata selama ini, bukan aku yang terlalu bertahan tapi dia yang terlalu pengecut untuk memilih.