Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 / THTM
Pintu itu terbuka perlahan. Suara langkah berat terdengar masuk. Nayara menundukkan kepala, tubuhnya membeku di sofa. Dari celah topeng matanya, ia hanya bisa melihat siluet seorang pria tinggi berjas rapi, bahunya bidang, auranya dingin namun memikat.
Wanita glamor menyambut pria itu dengan senyum profesional. “Semua sudah siap. Seperti yang kau minta. Masih muda, segar… dan tidak akan tahu siapa dirimu.”
Pria itu hanya mengangguk. Suaranya rendah, dalam, dan tegas. “Baik.”
Nayara merasakan bulu kuduknya meremang. Hanya sekali mendengar suaranya, tubuhnya bergetar. Ia menggenggam ujung rok seragamnya erat-erat, berusaha menahan rasa takut yang mencekik.
Wanita glamor berjalan mendekat pada Nayara, menepuk bahunya. “Ingat, diam saja. Semua akan cepat berlalu.” Ia lalu meninggalkan kamar, menutup pintu. Kini hanya ada Nayara dan pria itu, sendirian.
Keheningan mendadak terasa mencekam. Nayara bisa mendengar detak jantungnya sendiri, keras seakan memekakkan telinga.
Pria itu melangkah mendekat. Setiap langkah sepatu kulitnya terasa berat, menghantam lantai karpet. Ia berhenti tepat di depan Nayara.
Nayara tidak berani mengangkat wajah. Nafasnya tersengal.
Tiba-tiba, jari pria itu terulur, menyentuh dagu Nayara, mengangkat wajahnya perlahan. Mata mereka hampir bertemu. Nayara buru-buru memejamkan mata, takut rahasianya terbongkar.
Topeng tipis itu menjadi satu-satunya penyelamat.
Pria itu terdiam sebentar, seolah memandangi wajahnya. Tangannya lalu turun, menyentuh rambut Nayara, mengelus pelan. Gerakan itu membuat tubuh Nayara makin kaku.
“Manis,” gumam pria itu pendek.
Nayara menahan tangis. Ya Tuhan… cepatlah berakhir…
Pria itu melepaskan jasnya, meletakkannya di kursi. Ia duduk di samping Nayara, menatap lekat-lekat. Aroma parfumnya maskulin, menusuk indra Nayara.
Tanpa berkata banyak, ia meraih tangan Nayara, membawanya berdiri. Gadis itu hampir tak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Kakinya gemetar.
“Diam saja. Aku tidak akan menyakitimu.”
Kalimat itu seharusnya menenangkan, tapi justru membuat Nayara makin ketakutan. Ia hanya bisa mengangguk kecil, air matanya terus jatuh tanpa suara.
Pria itu menuntunnya naik ke ranjang, lalu mendekat perlahan. Saat tubuh mereka semakin dekat, Nayara tahu… inilah awal dari sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Ranjang itu terasa dingin ketika Nayara duduk di ujungnya. Tubuhnya kaku, seakan kehilangan tenaga. Kedua tangannya memegang erat ujung seprai, seolah benda itu bisa melindunginya.
Pria itu berdiri di depannya, menatap dalam. Siluetnya samar diterangi lampu temaram. Aura berkuasa terpancar dari setiap geraknya. Ia membuka dasi, menaruhnya di meja kecil, lalu membuka kancing kemeja satu per satu.
Nayara memalingkan wajah, menutup mata rapat-rapat. Tapi justru karena itu, ia semakin sadar dengan setiap suara—bunyi kancing yang terbuka, bunyi gesekan kain, bahkan napas pria itu yang stabil dan tenang.
“Jangan takut,” suara pria itu terdengar lagi, rendah dan berat. “Ikuti saja. Kau akan baik-baik saja.”
Nayara menggigit bibirnya, menahan tangis. Tapi tubuhnya gemetar semakin hebat. Ia ingin berlari, tapi seakan ada rantai tak terlihat yang menahan seluruh tubuhnya.
Pria itu mendekat, menyentuh pipinya. Sentuhan hangat itu membuat Nayara tersentak. Ia menggeleng pelan, berusaha menjauh, tapi pria itu menahan dagunya, menuntut wajahnya untuk tetap menghadap ke arahnya.
“Aku tidak suka penolakan,” ujarnya dingin, namun nadanya tetap tenang.
Air mata jatuh dari sudut mata Nayara. “Tolong… cepat saja…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Pria itu tersenyum samar, lalu menunduk. Bibirnya menyentuh kulit leher Nayara, hangat namun membuat tubuh gadis itu kaku seperti batu. Setiap sentuhan terasa asing, menyesakkan, dan menyakitkan bagi batinnya.
Dengan perlahan, ia menurunkan tali seragam Nayara. Gadis itu bergetar keras, matanya terpejam, air matanya tak berhenti mengalir. Ia merasa malu, hancur, dan kosong. Tapi tubuhnya pasrah—tak ada yang bisa ia lakukan.
Pria itu mendorongnya perlahan ke kasur empuk itu, hingga tubuh Nayara berbaring di seprai putih dengan sempurna. Dari sudut pandang Nayara, langit-langit kamar berputar, seolah ia ingin kabur dari kenyataan ini.
Saat pria itu menaiki ranjang dan mendekat, Nayara menahan napas. Detik itu terasa begitu panjang. Jantungnya berpacu kencang, bercampur antara rasa takut, malu, dan perasaan hancur.
“Jangan bergerak,” perintah pria itu pelan.
Kemudian, semuanya terjadi. Rasa sakit menusuk tubuh Nayara, membuatnya menahan jeritan di tenggorokannya. Tangannya meremas kuat seprai hingga kusut. Air matanya jatuh deras, membasahi pipinya.
Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang begitu asing, yang bukan berasal dari cinta, bukan dari kehangatan—melainkan keterpaksaan. Dunia seakan runtuh di matanya.
Pria itu tetap tenang, mendominasi, tak banyak bicara. Hanya gerakan tubuhnya yang berbicara, keras dan penuh kuasa. Setiap sentuhan, setiap desahan, membuat Nayara merasa semakin kecil, semakin hancur.
Dalam benaknya, ia hanya bisa berdoa: Ya Tuhan… cepatlah berakhir… cepatlah semua ini selesai…
Waktu berjalan lambat. Sampai akhirnya, setelah beberapa lama, pria itu melepaskan tubuhnya dan bergeser. Nayara menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya bergetar hebat, seakan seluruh dunia telah merampas kepolosannya.
Pria itu bangkit dari ranjang, meraih pakaiannya kembali. Ia menoleh sebentar, menatap Nayara yang terisak diam-diam. Senyum samar kembali muncul di wajahnya, namun tak sepatah kata pun keluar.
Tapi sebelum meninggalkan kamar, pria itu hanya berkata singkat, dingin, dan penuh misteri:
“Kau akan kuingat.”
Pintu tertutup kembali. Kamar itu sepi, hanya menyisakan Nayara yang terkulai di ranjang, menangis dalam diam. Hidupnya takkan pernah sama lagi setelah malam itu.
———
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar hotel, menyilaukan mata Nayara yang belum sepenuhnya terpejam semalaman. Tubuhnya terasa lemas, pegal di setiap sendi. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, masih memakai seragam sekolah yang kusut, rambut acak-acakan, wajah sembab karena air mata.
Bayangan kejadian semalam terus menghantui pikirannya. Setiap detik terasa seperti luka baru yang ditorehkan dalam hatinya.
Kenapa aku harus melewati ini? Kenapa aku begitu lemah…? bisik batinnya, getir.
Di meja kecil dekat ranjang, ada sebuah amplop cokelat tebal. Wanita glamor yang membawanya ke hotel tadi malam ternyata meninggalkan itu—penuh dengan uang tunai. Uang yang cukup untuk melunasi hutang ibunya, bahkan lebih.
Nayara menatap amplop itu lama sekali. Tangannya gemetar saat meraihnya. Setiap lembar yang disentuh membuat hatinya semakin sesak. Ia tahu, uang ini adalah hasil dari kehormatan yang sudah direnggut paksa.
Air matanya kembali jatuh. Namun di balik kepedihan itu, ada sedikit rasa lega—setidaknya ibunya tak perlu lagi dikejar-kejar rentenir.
Dengan tangan bergetar, Nayara memasukkan uang itu ke dalam tas sekolahnya.
Sebelum keluar kamar, ia bercermin sebentar. Gadis itu nyaris tak mengenali dirinya sendiri. Mata bengkak, wajah pucat, bibir kering. Ia cepat-cepat mencuci wajah, merapikan rambut seadanya, lalu mengenakan masker yang ia temukan di laci meja hotel.
“Wajahku… tidak boleh ada yang tahu,” gumamnya lirih.
Saat tiba di rumah sore harinya, Nayara disambut ibunya yang kelelahan. Ayahnya masih bekerja di kebun keluarga besar. Ibunya tampak cemas, membicarakan hutang yang belum juga terbayar.
Tanpa banyak kata, Nayara menyerahkan amplop itu.
“Ibu… aku menang lomba menulis di sekolah. Hadiahnya ini. Untuk bayar hutang…” katanya terbata, matanya menunduk.
Sang ibu tertegun, lalu memeluk Nayara erat-erat dengan mata berkaca-kaca. “Anakku… terima kasih, kau benar-benar menyelamatkan kita.”
Pelukan itu membuat hati Nayara semakin hancur. Ia menutup matanya, berusaha menahan tangis. Bohong. Semuanya bohong. Tapi kebohongan ini ia anggap satu-satunya jalan untuk melindungi keluarganya dari kebenaran yang terlalu kelam.
Malam itu, Nayara berbaring di kamarnya. Lampu dipadamkan, namun matanya tetap terbuka. Ia merasa kosong, seolah seluruh dunia berubah kelam.
Di dalam dirinya, satu janji ia genggam erat:
Tak seorang pun boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi di hotel itu...