Mei Lan, seorang gadis cantik dan berbakat, telah hidup dalam bayang-bayang saudari kembarnya yang selalu menjadi favorit orang tua mereka. Perlakuan pilih kasih ini membuat Mei Lan merasa tidak berharga dan putus asa. Namun, hidupnya berubah drastis ketika dia mengorbankan dirinya dalam sebuah kecelakaan bus untuk menyelamatkan penumpang lain. Bukannya menuju alam baka, Mei Lan malah terlempar ke zaman kuno dan menjadi putri kesayangan di keluarga tersebut.
Di zaman kuno, Mei Lan menemukan kehidupan baru sebagai putri yang disayang. Namun, yang membuatnya terkejut adalah gelang peninggalan kakeknya yang memiliki ruang ajaib. Apa yang akan dilakukan Mei Lan? Yuk kita ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyusup
Malam itu terlihat langit mendung. Angin bertiup pelan, menggesek dedaunan bambu di sekitar rumah sederhana keluarga Qing Rong.
Meski dari luar, rumah itu nampak reyot tapi di dalamnya justru sangat berbeda. Dindingnya bersih dan rapi, lantainya mengkilap dari kayu halus, dan aroma teh melati lembut memenuhi udara.
Semua berkat tangan Qing Mei yang diam-diam mengubah rumah kecil itu menjadi tempat yang hangat dan elegan.
Di ruang tamu yang sederhana tapi nyaman, ketiga bersaudara duduk bersila.
Udara malam hening, hanya terdengar suara aliran napas mereka yang teratur.
Cahaya dari batu spiritual kecil di pojok ruangan memantulkan wajah serius Qing Mei, Qing Wei, dan Qing Dao.
Aura spiritual lembut mengalir di sekitar mereka, membentuk pusaran halus. Tapi tiba-tiba, Qing Mei membuka matanya. Tatapannya tajam.
“Berhenti dulu,” katanya pelan.
Qing Wei dan Qing Dao segera membuka mata mereka, ekspresi mereka langsung waspada.
“Ada apa, Mei’er?” tanya Qing Wei dengan suara datar.
“Ada pergerakan. Dari arah timur sekitar tiga puluh langkah,” jawab Qing Mei dengan mata menyipit.
Ketiganya langsung berdiri tanpa suara, langkah mereka ringan seperti bayangan.
Mereka bergerak ke halaman belakang, menembus kegelapan tanpa menimbulkan sedikit pun suara ranting patah.
Dari balik pagar bambu, mereka melihat dua sosok berpakaian hitam-hitam dengan wajah tertutup kain. Salah satu dari mereka berbisik dengan nada tergesa.
“Cepat! Pastikan tidak ada yang melihat. Setelah ini terbakar, mereka tidak akan punya tempat tinggal lagi kalau perlu mereka mati sesuai perintah.”
“Hmph, biar mereka tahu akibatnya,” sahut yang lain dingin sambil mengeluarkan obor kecil dari cincin penyimpanan.
Api mulai menyala di ujung obor, menyala oranye di tengah gelap malam.
Qing Dao mengepalkan tangan.
“Bajingan, berani sekali mereka!” Ia hendak melompat keluar, tapi tangan halus Qing Mei menahan bahunya.
“Jangan gegabah, Kak,” bisik Qing Mei.
Tatapannya bergeser ke pohon besar di sisi rumah. Di sana, sarang lebah api menggantung tenang, tampak berkilau karena pantulan api obor.
Qing Mei tersenyum samar dan menunjuk ke arah sarang itu.
Qing Dao langsung mengerti. Sebuah senyum sinis muncul di wajahnya.
“Heh, baiklah aku paham maksudmu.”
Dengan gerakan cepat, ia mengambil ketapel buatan tangan Qing Mei dari dalam lengan bajunya. Batu kecil itu dimasukkan ke dalamnya, setelah diberikan energi spiritual.
Puk!
Batu itu tepat menghantam sarang lebah api.
Dalam sekejap, suara lebah terdengar. Ribuan lebah api keluar dengan marah, sayap mereka berkilat merah menyala seperti bara.
Kedua orang berpakaian hitam itu baru saja akan membakar dinding rumah Qing Mei, tiba-tiba terhenti.
“Apa ... apa itu?! Lebah api?! Kabur! Kabur cepat!”
Kedua orang berpakaian hitam itu panik. Mereka berlari pontang-panting, menjatuhkan obor mereka yang padam kena tanah. Tapi lebah-lebah itu tak memberi ampun mereka mengejar tanpa henti, menyengat setiap jengkal kulit yang terlihat.
“Aaaakh! Panas! Tolong! Tolong!”
“Aku ... aku terbakar! Sial!”
Teriakan mereka memecah keheningan malam. Dari kejauhan, hanya terlihat dua bayangan berlari tak tentu arah, dikejar ribuan titik cahaya merah kecil seperti api menari di udara.
Qing Wei menutup mulutnya menahan tawa, bahunya bergetar. Untungnya Qing Mei sengaja menyimpan lebah api di sana agar mencegah orang jahat. Lebah yang bisa keluar saat malam hari.
“Kau benar-benar licik, Mei’er. Aku hampir kasihan pada mereka.”
Qing Mei tersenyum tipis. “Kasihanilah dirimu sendiri kalau sampai mereka tahu siapa dalangnya.”
Qing Dao menepuk bahu kakaknya sambil terkekeh. “Mereka takkan berani datang lagi setelah malam ini.”
Qing Mei menatap sisa sarang lebah yang kini kosong, lalu berkata dingin, “Itu baru peringatan kecil. Jika mereka mencoba lagi aku takkan sebaik ini.”
Ketiganya kemudian kembali masuk ke rumah, menutup pintu rapat-rapat. Suara malam kembali tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Dan di balik tirai, mata Qing Mei masih terbuka, tatapannya dingin.
“Sepertinya ada yang mulai tidak sabar. Baiklah, kalau begitu mari kita lihat siapa yang bermain dengan api.”
*
*
Di paviliun barat kediaman keluarga Qing, suasana malam terasa tegang. Di dalam ruangan, langkah kaki dua wanita berputar tanpa henti.
Qing Fu dan Qing Rou, dua saudara itu tampak gelisah. Qing Fu berjalan mondar-mandir sambil menggigit kukunya, sementara Qing Rou sesekali melirik jendela yang terbuka sedikit.
“Kenapa mereka belum juga datang? Bukankah tugasnya mudah? Hanya membakar rumah reyot itu!” desis Qing Fu kesal.
“Tenanglah, mungkin mereka sedang menunggu waktu yang tepat,” sahut Qing Rou, meski suaranya juga terdengar tidak yakin.
“Tapi, Kak. Ini sudah hampir fajar,” kata Qing Fu.
Saat kedua saudara itu kembali terdiam. Tiba-tiba endela kamar terbuka dengan keras. Dua sosok berpakaian hitam-hitam melompat masuk.
Qing Rou langsung berseru pelan, “Kalian akhirnya datang! Bagaimana hasilnya? Apakah rumah itu—” Namun kalimatnya terhenti.
Brugh!
Kedua orang berpakaian hitam itu ambruk di lantai tanpa menjawab, tubuh mereka kejang sesaat lalu diam tak bergerak.
“A–Apa yang terjadi?” seru Qing Fu terkejut, matanya melebar. Ia mendekat dengan hati-hati, mengguncang bahu salah satu dari mereka. Tubuh itu dingin dan tidak bergerak.
“Mereka ... mereka mati!”
Qing Rou menatap ngeri, menutup mulutnya. “Bagaimana mungkin? Mereka baru saja masuk!”
Belum sempat mereka berpikir panjang, suara langkah kaki terdengar dari luar.
Tok!
Tok!
Tok!
Pintu kamar terbuka lebar, menampakkan dua pria paruh baya dengan pakaian tempur karena baru saja tiba dari kekaisaran.
Qing Shan, kakak pertama yang selalu berwibawa, dan Qing Long, kakak kedua yang dikenal berhati dingin.
Keduanya berhenti di ambang pintu, wajah mereka berubah ketika melihat dua mayat tergeletak di lantai.
“Apa yang terjadi di sini?” tanya Qing Shan dengan nada tajam. “Siapa mereka?” tanyanya seraya menatap kedua adik perempuannya.
Qing Fu menelan ludah, tubuhnya sedikit gemetar. “Ka–kakak, kami hanya menyuruh mereka untuk memberi pelajaran pada Qing Rong dan anak-anaknya. Hanya sedikit api untuk menakut-nakuti! Tapi mereka ... mereka tiba-tiba mati begitu saja!”
Qing Long berjalan mendekat dengan langkah berat. Ia berjongkok, lalu menarik kain penutup wajah dari salah satu mayat itu.
Begitu melihat wajah di baliknya, alisnya langsung berkerut tajam.
Wajah kedua pria itu bengkak luar biasa, berwarna merah kebiruan, seolah tersengat sesuatu. Kulit mereka tampak melepuh di beberapa bagian. Bahkan mata mereka hampir tidak terlihat.
“Apa ini sengatan lebah api?” gumam Qing Long, nadanya campuran terkejut dan tak percaya.
“Lebah api?” Qing Rou bersuara lirih. “Itu ... beast beracun dari hutan barat, kan?”
“Benar,” sahut Qing Shan. “Dan hanya orang yang sangat ceroboh yang bisa berakhir seperti ini. Mereka jelas diserang sebelum sempat melakukan apa pun.”
Qing Fu menatap kedua kakaknya dengan wajah pucat.
“Kakak ... maksudmu Qing Rong yang melakukannya?”
Qing Shan tidak menjawab, tapi tatapannya tajam menatap kedua adiknya yang kini ketakutan.
Ia berdiri tegak, lipat tangannya di dada. “Kalian berdua benar-benar gegabah. Kalau ingin menyingkirkan mereka, seharusnya bicara dulu dengan kami.”
Qing Rou menunduk. “Kami hanya ingin keluarga kita tetap berkuasa bukan membuat masalah sebesar ini.”
Namun yang mengejutkan, bukan kemarahan yang muncul di wajah Qing Long. Pria itu justru tersenyum tipis, matanya berkilat dingin.
“Hmph. Aku akui, mereka pantas mati kalau memang seceroboh itu. Tapi kalian berdua ....” ia menatap adik-adiknya tajam. “ternyata masih punya nyali.”
Qing Fu menatap kakaknya dengan bingung. “Jadi Kakak tidak marah?”
Qing Shan menatapnya datar. “Marah? Untuk apa? Aku juga tak pernah menganggap Qing Rong dan ketiga anaknya bagian dari keluarga ini. Tapi, mulai sekarang, jangan bertindak sendiri.”
Qing Long menimpali dengan nada pelan namun dingin, “Kita harus berhati-hati. Jika utusan kekaisaran benar-benar datang untuk anak perempuan itu, maka kita harus pintar memanfaatkan situasi.”
ksiham ya knp si mei lan sllu di bully apa slah mei lan.coba