Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Membujuk Istri
Arjuna mengangguk mantap, seraya menghempaskan perasaan aneh yang sejak kemarin bersemayam di hatinya. “Mas nggak pernah berhenti cinta sama kamu. Hanya saja … Mas juga manusia, El. Mas pengin rumah ini rame. Mas pengin ada tawa anak kecil, ada suara manggil ‘Papa’ setiap Mas pulang kerja.”
Nada suaranya merendah. “Rumah besar ini terlalu sepi. Kita berdua kayak dua orang asing yang cuma tidur di ranjang yang sama tapi nggak saling nyentuh hati lagi.”
Ucapan itu menohok Eliza dalam. Ia membuang pandang ke arah jendela, menatap taman di luar yang diterpa cahaya matahari pagi. “Aku nggak siap, Mas. Aku takut.”
“Takut kenapa?”
“Takut mati,” jawabnya jujur, hampir berbisik. “Aku masih inget banget waktu Mia … sahabatku itu … meninggal setelah melahirkan. Lili juga sempat bilang ke aku, sakitnya luar biasa pas melahirkan. Aku nggak bisa hapus bayangan itu, Mas.”
Arjuna mengelus rambutnya lembut. “Sayang, Mia itu takdirnya begitu. Tapi kamu lupa, sekarang teknologi medis udah jauh lebih maju. Mas bisa pastikan kamu dirawat oleh dokter terbaik. Mas nggak akan biarin kamu sendirian.”
Eliza menatapnya sekilas, tapi air mata masih menitik. “Kamu ngomong kayak gitu gampang, Mas. Tapi kamu nggak ngerasain gimana rasanya perut makin besar, tubuh berubah, kulit kendur … aku nggak mau jadi jelek. Aku nggak mau kamu muak ngeliat aku nanti. Lalu, diam-diam selingkuh.”
Arjuna terdiam. Matanya memantul cahaya lembut dari jendela, tapi ada luka di sana. “Jadi ini soal itu, El? Soal tubuh kamu?”
Eliza mengangguk pelan, menunduk. “Aku kerja keras buat jaga bentuk tubuhku. Aku diet, olahraga, perawatan tiap minggu. Aku suka jadi perempuan yang kamu kagumi, Mas. Tapi kalau aku hamil, semuanya berubah. Aku nggak mau kehilangan versi terbaik diriku, Mas.”
Arjuna menatap istrinya lama, seolah mencoba memahami. Lalu ia bicara dengan nada lembut tapi dalam, “El … kamu nggak tahu, hal yang bikin aku kagum bukan cuma tubuh kamu. Mas jatuh cinta sama caramu ngomong, caramu ketawa, caramu nyentuh tanganku waktu kita baru menikah. Semua itu yang Mas rindukan sekarang.”
Ia menarik napas dalam, lalu menatap Eliza dengan mata yang sendu. “Tubuh bisa berubah, El. Tapi cinta, kalau dijaga, nggak akan pudar. Mas cuma pengin kamu percaya itu.”
Eliza menggigit bibir, suaranya lirih. “Tapi kamu nggak ngerti, Mas. Dunia aku bukan cuma kamu. Aku punya circle sosialita, aku sering ikut event, charity, gala dinner. Semua teman-temanku tubuhnya masih sempurna walau udah menikah. Kalau aku berubah … mereka bakal ngomongin. Mereka bakal bilang aku kalah.”
Arjuna menatapnya tak percaya. “Kalah? Dari siapa, El? Dari mereka?” Ia tertawa kecil, getir. “Kamu tuh bukan lagi hidup buat orang lain, El. Kamu hidup buat dirimu sendiri, buat kita.”
Eliza tak menjawab. Ia hanya menunduk, menatap jemarinya yang gemetar. “Aku belum siap, Mas.”
Arjuna berdiri pelan. “Baik,” katanya akhirnya, meski hatinya amat kecewa. “Tapi aku cuma minta satu hal.”
Eliza mendongak, matanya bingung.
“Kita cek kesehatan. Aku dan kamu,” ucap Arjuna mantap. “Aku mau tahu kondisi kita berdua. Kalau hasilnya bagus, kalau kamu sehat dan subur, aku pengin kita pikirkan lagi keputusan ini. Tapi kalau ternyata salah satu dari kita ada masalah, kita cari solusinya bareng-bareng. Bukan saling menyalahkan.”
Eliza mengerjap. “Cek kesehatan?” Jantungnya mulai berdebar-debar, seperti takut akan sesuatu.
“Iya. Cuma itu. Mas nggak maksa kamu hamil sekarang. Mas cuma mau tahu dulu semuanya baik-baik aja.”
Suasana hening beberapa detik. Lalu Eliza mengangguk pelan, meski wajahnya masih ragu. “Baiklah, Mas. Aku akan ikut … tapi jangan berharap aku langsung berubah pikiran.”
Arjuna tersenyum kecil, lega walau pahit. “Nggak apa-apa. Setidaknya kamu mau mencoba.”
Ia kembali duduk, lalu mencium punggung tangan istrinya. “Mas cuma pengin kamu tahu … aku rindu punya anak dari kamu, El. Bukan dari siapa pun. Kamu satu-satunya yang Mas mau.” Kata-kata ini pun untuk menyakini hatinya sendiri kalau hanya Eliza yang ada di hatinya, tidak ada nama perempuan lain
Eliza memejamkan mata, air matanya menetes pelan. Entah karena tersentuh, atau karena tahu hatinya tidak seutuh yang diinginkan suaminya.
Beberapa menit mereka diam, hanya suara detik jam terdengar. Tapi Eliza tahu, dalam diamnya, Arjuna sedang menimbang sesuatu yang tak diucapkan. Ia masih bisa merasakan ketegangan di tubuh suaminya—campuran antara sabar dan kecewa.
Akhirnya Arjuna berdiri. “Mas harus berangkat ke kantor,” ucapnya tenang. “Ada meeting jam sepuluh.”
Eliza hanya mengangguk tanpa menatap. “Hati-hati, Mas.”
Arjuna mengambil jasnya yang tergantung di kursi, lalu berjalan menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan berbalik. Pandangannya lembut tapi berat.
“Kalau nanti kamu berubah pikiran, Mas selalu siap denger, El. Tapi jangan biarkan rasa takut atau omongan orang lain nentuin masa depan kita.”
Eliza tak menjawab, hanya menunduk, menggenggam erat selimut di pangkuannya.
Arjuna melangkah pergi. Pintu tertutup pelan di belakangnya.
Beberapa detik kemudian, Eliza menarik napas panjang. Ia menatap bayangannya sendiri di cermin besar di depan meja rias—wajah cantik, sempurna, tapi kosong.
Tangannya menyentuh pipinya sendiri. “Anak, ya,” gumamnya lirih. “Apa aku bisa menyayangi sesuatu yang bisa merusak segalanya?”
Matanya berkaca, tapi bukan karena sedih—melainkan bingung pada dirinya sendiri.
"Aku benci anak-anak. Aku ingin hidup childfree."
***
Sementara itu, di mobil yang meluncur keluar dari gerbang mansion, Arjuna menatap jalanan yang mulai padat.
Pikirannya melayang pada wajah Eliza yang dingin tadi, lalu bergeser ke wajah pucat Lidya semalam—lemah, tapi tulus.
Ia mengembuskan napas berat, memejamkan mata sejenak di lampu merah.
“Kenapa justru kamu yang muncul di pikiranku sekarang,” gumamnya, lirih, hampir tak terdengar. “Seharusnya aku tidak memikirkan kamu.”
Lampu hijau menyala. Mobil kembali melaju ke arah pusat kota—membawa Arjuna menjauh dari rumah yang sepi, dan semakin dekat pada perasaan yang belum siap ia akui.
Bersambung ... ✍️