NovelToon NovelToon
40 Hari Sebelum Aku Mati

40 Hari Sebelum Aku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Fantasi / Reinkarnasi / Teen School/College / Mengubah Takdir / Penyelamat
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Dara

Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.

hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.

selamat membaca....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2. Hidup Dengan Yang Mati

“Karin !!!” brug…. Sebuah tas ransel mendarat tepat di punggung Karina, membuatnya terhenyak dan hampir saja melompat dari kursi. Nafasnya tersengal-sengal dengan butiran keringat di dahi yang mulai meluncur ke pipi. Diusapnya keringat itu dengan punggung tangan Karin dari wajahnya yang pucat pasi.

“Hah, keringat?” gumam Karin bingung.

“Lu kenapa sih, Rin?” tak kalah bingung, Nia memperhatikan sahabatnya yang seperti orang linglung.

“Darah Ni. Mana darahnya?”

“Darah apaan si Rin? Kamu haid? Kok haid dari jidat?” Nia semakin bingung.

“Bukan Nia, darah. Tabrakan mobil?” Karin berdiri dari duduknya, diperhatikan sekeliling yang makin membuatnya tidak mengerti. Ia berada dalam kelas. Tidak mungkin, bukankah ia harusnya tergeletak dijalan? Karin mondar-mandir diruangan kelasnya, membuat Nia khawatir akan kondisi sahabatnya itu.

“Karin lu ngomong apa sih? Tabrakan apa? Siapa yang tabrakan?”

Karin pucat pasi, badannya bergetar hebat, akhirnya ia ambruk terduduk dikursi dengan lunglai. Sementara Nia yang semakin kebingungan meminta bantuan teman-teman untuk membawa Karina menuju UKS. Nia menggamit tangan kanan Karin menuntun perlahan menuju UKS, sementara dua teman lainnya menuntun dari kiri dan mengawasi dari belakang.

“Sorry ya Ri, lu kaget gara-gara gue ya?” Nia merasa sangat bersalah melihat sahabatnya yang kini berjalan dengan pandangan kosong itu, menunduk seolah memperhatikan jalan. Karin menggeleng pelan.

“Atau lu mimpi ya?” lanjut Nia.

Karin sendiri bingung, ia tidak mengerti apa yang sebetulnya terjadi. Ia ingat betul, bahwa ia baru saja mengalami sebuah kecelakaan karena keteledorannya. Setelah pulang dari bimbingan belajar, ia pulang menuju florist dan berjalan dengan tidak berhati-hati, menyebrang jalan tanda menoleh kiri dan kanan. Ia juga ingat betul, sebuah mobil sporty menabraknya yang tengah berjalan memperhatikan pesan di ponselnya. Bahkan suara decitan rem dan ban mobil masih sangat jelas terdengar ditelinganya.

Ponsel, ya. Pesan dari papa, tertulis disana tulisan PAPA. Langkah gontainya terhenti, dirabanya saku rok Karina mencari sebuah ponsel.

“Ni, liat handphone gue gak?”

“Gak Rin, kayaknya di tas. Lu kan tadi taruh handphone lu di tas sebelum tidur.”

“Tidur?”

“Iya, lu kan tidur barusan. Abis olah raga, lu ganti baju masuk kelas trus tidur kan dikursi. Noh pipi lu masih bau meja.”

“Iya Rin, lu tidur pules tadi. Sampai Nia bangunin aja lu gak denger” timpa teman yang lain.

Karin kembali terbengong. Jadi, aku tidur barusan? Jadi itu tadi mimpi? Desahnya dalam hati. Mimpi yang rasanya bukan mimpi.

“Rin, lu kenapa sih? Jangan bikin aku worry dong Rin” Nia merengek dengan penuh kecemasan, sementara Karina masih diam terbengong mencerna apa yang terjadi.

“Udah yuk lanjut ke UKS aja, lu istirahat dulu.”

“Gak…gak…gue gak kenapa-kenapa kok. Iya mungkin gue cuma mimpi” Karin menolak dan berbalik badan menuju kelasnya. “Balik kelas aja yuk, kita bulan depan udah ujian, jangan sia-siain waktu” lanjutnya.

“Bulan depan???” sahut tiga temannya bersamaan, langkah Karin terhenti. Ia balik badan dan menatap ketiga temannya.

“Ujian kita masih dua bulan lebih Rin.”

“Hah??”

“Iya, masih dua bulan lagi. Lu jangan becanda Rin. Lu beneran sakit deh kayaknya. Ayo ke UKS.” Nia menarik paksa tangan Karin.

“Bentar-bentar,” Karin mengibaskan tangan Nia, lalu ia cubit pipinya sendiri dan, “Auw….sakit…”

“Ya sakit lah orang lu cubit.”

“Ni, ini tanggal berapa?” Karina kini mencengkeram kuat pundak Nia menunggu jawaban. Sementara Nia yang melihat tingkah Karina menatap ketakukan.

“Tet…tanggal 18 Feb..bruari.” jawab Nia terbata. Karina yang mendengar jawaban Nia tiba-tiba jatuh lunglai tak sadarkan diri, Karina pingsan.

**

Kepala Karina terasa nyeri hebat, saat ia membuka mata. Bayangan langit-langit yang memudar perlahan terlihat jelas saat Karina mengerjap ngerjapkan matanya perlahan. Benda dingin menempel pada dahinya membuat dahinya terasa sedikit nyaman. Ia menengok kanan dan kiri mencari tahu keberadaanya sendiri. Ternyata, ia berada dalam ruangan yang sangat ia kenali, dinding biru muda dengan sebuah foto besar terpajang disana, foto dirinya yang tersenyum pada dirinya saat ini. Ya, Karin berada dikamarnya sendiri.

“Ma…mama…” Karin mencoba berteriak memanggil bu Nurma. Suaranya yang serak tidak membuat ibunya mendengar panggilannya.

“Mama….” Dia mencoba mengulangi namun taka da jawaban. Disingkapnya selimut tipis yang menutupi kakinya, lalu mencoba duduk diranjang berniat untuk menuju dapur mencari ibunya. Belum sempat ia berdiri, pintu kamarnya terbuka. Seorang anak kecil masuk kedalam kamar dan tersenyum padanya. Berdiri tepat dihadapan Karina yang tertegun melihat senyum anak perempuan berusia sekitar 9 tahun itu. Anak siapa ini? Batin Karin.

“Hay kak, namaku Putri.” Anak berbaju merah muda itu mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan. Karin menyambut tangan itu. Baru saja mulutnya terbuka hendak menyebutkan nama, “Nama Kakak Karin kan?” lanjut gadis kecil itu. Karina hanya mengangguk.

“Kakak masih pusing?” gadis itu duduk disebelah Karin, ditepi ranjangnya. Karin menggeleng. Ia masih belum mengenali anak ini. Sepertinya, ia tidak punya saudara bernama putri. Atau, ini anak temen mama?

“Kakak pingsan tadi di sekolah. Terus mamanya kakak jemput. Dokter keluarga kakak juga sudah datang dan memeriksa kakak tadi.” Cerocos anak itu tanpa ditanya. “Teman kakak tadi mengantar sampai rumah, sekarang sudah pulang.” Tambahnya. Nia, pasti Nia yang anak ini maksut.

“Kamu siapa?” Karin akhirnya buka suara.

“Aku Putri.”

“Iya, tapi kamu itu siapa? Kenapa kamu disini?”

“Karena rumahku disini.” Gadis kecil itu tersenyum ramah dan polos, membuat Karin semakin pusing. Ia tak menggubris jawaban anak itu, segera ia bangkit dan berjalan menuju dapur, dicarinya sosok bu Nurma yang ternyata sedang memasak bubur di dapur.

“Mama, ma itu sia…”

“Karin… kamu sudah siuman nak??” bu Nurma berbalik dari sepanci bubur dan berjalan cepat menyambut anaknya dan menuntunnya duduk di sofa kecil disisi ruang keluarga.

“Kenapa malah kesini Karin, istirahat saja dikamar.” Bu Nurma menempelkan bahu tangannya didahi Karin. “Masih pusing nak?” lanjutnya. Alih-alih menjawab ibunya, Karin menanyakan gadis kecil yang ada di kamarnya itu.

“Ma, itu anak kecil siapa sih? Anak siapa itu?”

Ibu Nurma mengernyitkan dahinya, mencoba mencerna siapa anak yang dia maksut.

“Itu ma yang dikamar Karin, yang pakai baju pink” lanjut Karin menjelaskan. Ibunya geleng kepala tak mengerti, sepertinya betul kata Nia sebelum pulang tadi. Karin sedikit berhalusinasi, mungkin efek demam atau shock karena mimpi buruknya.

“Sudah Rin, ini minum the hangatnya. Mama lagi masak bubur kaldu iga, bentar lagi mateng. Tunggu disini ya. Diam disitu jangan kemana-mana” ibunya melanjutkan memasak meninggalkan Karina yang terbengong dan tak habis pikir apa yang sedang ia alami.

Dipegangnya cangkir berisi teh hangat itu dengan kedua tangannya. Kakinya ia angkat keatas kursi dan menekuk perutnya agar terasa lebih nyaman. Sementara sesekali kepalanya menoleh kearah kamarnya mencari-cari gadis kecil yang ia tinggalkan begitu saja dari kamarnya. Tak terlihat sama sekali. Apa yang ia lakukan di kamarku? Batin Karina.

Tak tahan dengan rasa penasaran, Karina meletakan secangkir teh hangat yang telah ia sesap beberapa kali keatas meja makan, lalu berhati-hati ia berjingkat masuk kembali kedalam kamarnya mencari keberadaan gadis kecil yang mengaku bernama Putri itu. Nihil. Sudah tak ada di dalam kamarnya. Entah ia pergi kemana dan entah kapan. Rasanya ia tak melihat anak itu keluar meninggalkan kamarnya. Karina memeriksa sekeliling. Jendela kamarnya terkunci, bahkan satu sisi jendelanya sudah lama tidak bisa dibuka, tak mungkin anak itu lompat keluar kamarnya melalui jendela. Entahlah, mungkin anak itu keluar kamar bertepatan dengan Karin keluar kamar sehingga wajar jika Karin tak melihat anak itu.

“Karin, buburnya matang. Ayo sini makan dulu.” Bu Nurma memanggil anaknya dan menyiapkan semangkuk bubur kaldu sapi lengkap dengan irisan daging sapi untuk putrinya. Karin berjalan gontai ke meja makan, seolah ia kehabisan tenaga selepas mengejar anak ayam dan tak mendapatkan yang ia kejar. Bingung, lelah, terlihat jelas diwajahnya.

“Kenapa Rin? Masih pusing?” bu Nurma menarik kursi untuk duduk anaknya. Karina menggeleng, berusaha tersenyum agar ibunya tidak merasa khawatir.

“Makan dulu, yang banyak, trus lanjutin istirahatnya. Besok jangan sekolah dulu ya, istirahat dulu beberapa hari dirumah.”

“Jangan ma, Karin gak apa apa kok. Sayang pelajaran sekolahnya. Bentar lagi ujian.” Jawab Karin, ibunya mendesah pasrah.

Karin teringat lagi percakapan dirinya dan teman-temannya saat menuju ke UKS. Soal jadwal ujian yang akan segera ia hadapi.

“Ma,” Karin menyuap sesendok bubur kemulutnya yang masih terlihat sangat pucat, ibunya mendongak merespon panggilan putrinya. “Sekarang tanggal berapa ma?”

“Erm..., tanggal 18 Februari sepertinya.”

“Tahun 2023 kan?”

“Iya. Kenapa Karin? Kamu ada janji?”

Karin menggeleng lesu. Betul, Nia gak bohong, dia memang gak mungkin bohong, hari ini tanggal 18 Februari. Bukan tanggal 1 April, tanggal dimana Karin mengalami kecelakan. Entah itu betul tanggal 1 April, atau itu hanya mimpi. Sepertinya memang mimpi.Tapi Karin masih belum puas dengan semua kesimpulannya.

“Mama hari ini ada pesanan karangan bunga di florist ma?”

“Ada, hari ini ada beberapa pesanan bucket bunga untuk acara wisuda. Semua sudah diatasi karyawan, jadi kamu gak usah kawatir, gak perlu ke florist hari ini. Kamu is…”

“Bukan karangan bunga kematian ma?” Karin tak sabar dan memotong pembicaraan ibunya. Bu Nurma terdiam, diamati anak gadisnya yang makin bersikap aneh itu. Kali ini ia betul-betul khawatir. Sepertinya Karin mengalami kejadian yang membuatnya kehilangan beberapa memorinya, tebak bu Nurma.

“Ma, apa kita punya saudara bernama Putri? Umurnya sekitar 9 tahun.” Bu Nurma terdiam, hanya menggeleng sambil menarik sandaran kursi dan duduk disebelah anaknya.

“Atau kita punya tetangga yang punya anak namanya Putri? Atau anak temen mama mungkin?" cecar Karin tanpa henti.

“Rin,” bu Nurma menggamit kedua tangan Karin. Menggeser tubuh anaknya untuk berhadapan-hadapan dengannya. Dibelainya rambut Karin yang menjuntai dari dahinya, menyelipkan kebagian belakang telinganya.

“Kamu punya mama untuk bisa kamu percaya, kalau kamu punya masalah kamu bisa crita ke mama” ucapnya penuh kasih. Menatap wajah putrinya yang sayu. Karin adalah anak yang manis dan sangat patuh pada ibunya, ia tak pernah bertingkah dan menyulitkan ibunya. Bu Nurma sangat bersyukur, ditengah kondisinya sebagai ibu tunggal, yang harus berperan ganda sebagai ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya, ia dianugrahi anak-anak yang mengerti betul kondisi ibunya. Sungguh anugrah yang sangat ia syukuri.

Karin mengerti dengan keresahan ibunya, ia kemudian menggeleng dan berusaha untuk menghentikan pertanyannya, mengalihkan kebingungan yang belum mampu ia pecahkan ke sepiring mangkuk bubur kaldu buatan ibunya.

“Hem.., enak banget buburnya ma,”

Bu Nurma menghela nafas, tak dapat dipungkiri rasa khawatir masih menggantung disudut hatinya. Semoga ini hanya efek dari demamnya saja, pikir bu Nurma.

“Habiskan nak, lalu minum obat dan istirahat” Karin mengangguk.

**

Efek obat yang Karin minum siang itu ternyata sangat ampuh, ia tertidur lelap setelah meminumnya, dan terbangun saat sore, karena mendengar suara adzan dari masjid perumahan tempat tinggalnya. Ia mengernyitkan matanya perlahan, gelap menyelimuti ruangan. sepertinya, ini adzan maghrib, diluar sudah gelap dan belum ada yang menghidupkan lampu kamarnya.

Karin berdiri, meraba-rapa dinding meraih saklar lampu. Cekrek… lampu kamar menyala, dan,

“Astaga…” Karin kaget dan terduduk dikasurnya. “Putri…!!” Karin setengah berteriak melihat gadi itu sudah berdiri didepan pintu kamarnya. Ia tersenyum ramah, seperti siang itu.

“Kamu ngapain berdiri disitu?”

“Nungguin kak Karin bangun.” Jawabnya polos.

“Dari tadi siang?”

Putri mengangguk girang, seperti seorang anak yang baru menemukan sesuatu yang telah lama ia cari-cari. Ia kemudian duduk menjejeri Karin di ranjang. Sementara Karin yang sudah mulai sadar dari rasa kantuknya mencoba untuk meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang bermimpi, bahwa gadis yang duduk disebelahnya betul-betul ada. Karin menyentuh pundak Putri hati-hati, memastikan ia dapat menyentuh tubuh gadis itu. Nyata, anak ini betul-betul ada disebelahnya, dapat disentuh, bahkan kini tangan Karin membelai rambutnya.

“Kamu kenapa jam segini masih disini? Ini sudah mau malam. Kamu gak pulang?” Karin mencoba bersikap ramah, agar Putri tak merasa kehadirannya tak diinginkan. Ia tak mau bermasalah dengan orang tua Putri jika ia mengadu seolah Karin mengusirnya pulang. Putri hanya mengangguk, senyumannya nyaris tak pernah hilang dari garis bibirnya.

“Mamamu gak nyariin kamu?” putri kembali menggeleng. Karin kehabisan pertanyaan. Hening sejenak, hanya pandangan mata dan senyuman Putri yang masih lekat mengarah penuh pada Karin yang makin tertarik mengenal gadis kecil disampingnya.

“Memangnya rumah kamu dimana Putri?”

“Disini.” Karin mengernyitkan dahinya mendengar jawaban Putri.

“Disini dimana?”

“Ya disini. Dengan Kak Karin.” Tangan Putri naik turun dengan jari telunjuk mengarak kebawah, menunjuk ke kamar Karin.

“Dikamar kakak?”

Putri mengangguk. Glek, Karin menelan ludah. Tenggorokannya tercekat. Badannya mulai merinding. Tak hanya karena jawaban Putri yang tak masuk di akal, tapi juga tatapan mata dan senyuman Putri yang makin diperhatikan makin membuat bulu kudunya berdiri.

“Putri, tolong jangan bercanda. Maksut kamu itu apa? Kamu ini siapa? Kenapa kamu bilang ini rumah kamu?”

Putri seketika berdiri, lalu tiba tiba bandanya berpindah dengan sekejap mata, menghilang dan muncul lagi diatas meja belajar Karin. Duduk menjulurkan kakinya bergoyang goyang terlipat paha dari atas meja belajar. Karin terkesiap, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Ia beringsut perlahan mundur diatas kasurnya, lalu duduk menekuk lututnya dan bersandar pada kepala ranjangnya penuh ketakutan.

“Kak Karin gak usah kawatir, aku gak akan ganggu atau nyakitin kakak kok,” ucap Putri yang kemudian tiba-tiba sudah berada diatas Kasur, tepat dihadapan Karin yang melonjak kaget.

“Namaku Putri, aku tinggal disini jauh sebelum kak Karin tinggal disni. Aku juga yang selama ini menjaga kak Karin,” ucap Putri menjelaskan siapa dirinya.

“Han…Hantu ya?”

Putri tertawa renyah mendengar pertanyaan Karin. Suara tawa yang justru membuat Karin beringsut semakin takut.

“Yah, anggap saja aku hantu yang baik.”

“Trus mau kamu apa?”

“Kakak pasti ingat, kejadian sore itu, selepas kakak belajar digedung dekat sekolah kakak.”

“Kecelakaan itu?” Putri mengangguk. “Jadi kecelakaan itu betul terjadi?”

“Iya, betul terjadi. Dan seharusnya kakak sudah menjadi sepertiku.”

“Jadi hantu? Mati?” Putri kembali terkekeh dan mengangguk. “Trus kenapa tiba-tiba aku balik ke hari ini?”

“Karena  aku. Aku membantu kakak kembali ke 40 hari sebelum kejadian itu.”

“Kenapa? Untuk apa?” air mata Karin tak terbendung, ia terisak perlahan mengetahui bahwa ia seharusnya sudah tiada, meninggalkan ibu dan adiknya. Putri mendekatkan tubuhnya, menyentuh tangan Karin hati-hati untuk menenangkannya tanpa membuatnya merasa takut.

“Kak Karin punya waktu 40 hari sebelum kakak benar-benar pergi bersamaku, untuk bisa melakukan apa yang ingin kakak lakukan. Gunakan kesempatan itu sebaik-baiknya kak. Kakak pasti tau apa yang harus kakak lakukan.” Putri membelai rambut Karin yang tertunduk menangis semakin jadi.

“Apa setelahnya aku tetap akan mati?” Karin mendongak, berharap jawab yang akan ia dengar tidak seperti tebakannya. Namun Putri hanya tersenyum, lalu menghilang entah kemana. Suara isak tangis Karin yang meronta memenuhi ruangan kamarnya. Anehnya, tak satupun masuk kedalam kamarnya, seolah tak ada yang mendengar suara tangis Karin yang pecah meratapi nasibnya.

1
Soraya
apa mungkin Pak bewok penjualan es itu budiman
Soraya
mampir thor
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Sangat kreatif
mamak
keren mb Dy,
Tiga Dara: hey... sapa nih??
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!