Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 2
Pagi hari di sebuah sekolah SMA yang cukup besar dan elit.
Zia duduk diam di salah satu bangku kelas XII. Tatapannya kosong menatap papan tulis, meski pelajaran belum dimulai. Ia bisa bersekolah di tempat semewah ini karena beasiswa—jadi setidaknya ia tak perlu memikirkan biaya sekolah, hanya harus menjaga prestasinya tetap tinggi.
Tak lama, seorang cewek berambut panjang dengan raut wajah dingin masuk ke dalam kelas. Tapi, begitu matanya menangkap sosok Zia, ekspresinya langsung berubah jadi cerah.
“Lo kenapa, Zi?” tanya jennyta arsellyna sahabat Zia dengan nada santai tapi penuh perhatian.
Zia sedikit terkejut. “H-Hah? Aku gak papa kok... Emang kenapa?”
Jenny menarik kursinya dan duduk di samping Zia. Ia melipat tangannya dan menatap tajam sahabatnya.
“Gue liat lo ngelamun dari tadi. Lo pasti lagi mikirin sesuatu, kan?”
Zia diam. Matanya menunduk.
“Pasti gara-gara paman bibi lo lagi, ya?” sambung Jenny, kini nadanya terdengar lebih serius.
Zia hanya menjawab lirih, “Sedikit...”
Jenny mendesah pelan. “Zi... lo gak bisa terus-terusan tahan semua sendiri. Kalau mereka keterlaluan, lo harus lawan.”
Zia memaksakan senyum kecil. “gue tahu. Tapi sekarang bukan waktunya. Gue cuma butuh waktu buat mikir semuanya.”
Jenny tak berkata apa-apa lagi. Tapi dari sorot matanya, terlihat jelas kalau ia tak akan tinggal diam kalau sahabatnya terus disakiti.
______
Sepulang sekolah, Zia berjalan cepat ke rumah. Ia ganti seragamnya dengan kaus polos dan celana jeans, lalu menyelinap keluar tanpa sepengetahuan bibi Lina.
Langkahnya membawanya ke sebuah warung kopi kecil di dekat terminal. Warung itu terlihat sederhana tapi ramai. Di papan depan, terpampang tulisan:
"Dibutuhkan pegawai kasir shift malam. Jujur, sopan, dan rajin."
Zia menarik napas panjang, lalu masuk pelan-pelan.
“Permisi,” ucap Zia pelan pada seorang ibu separuh baya yang sedang menghitung uang di balik meja.
Wanita itu menatap Zia dari ujung kaki sampai kepala. “Mau ngapain, dek?”
“Saya… saya lihat ada lowongan. Kalau masih bisa, saya mau daftar,” ucap Zia dengan suara sedikit gemetar.
Wanita itu mengangkat alis. “Umur kamu berapa?”
“delapan belas, Bu. Saya kelas dua belas, tapi saya bisa kerja malam. Saya gak akan ganggu kerjaan, saya juga bisa hitung cepat,” jawab Zia cepat.
“Masih sekolah? Wah, maaf ya, dek. Ibu butuh orang yang bisa fokus kerja. Kalau masih sekolah, nanti malah kacau. Lagian kerja malam kan bukan buat anak-anak,” ucap wanita itu sambil melipat tangannya di dada.
Zia menunduk. “Tapi saya butuh pekerjaan, Bu…”
Wanita itu tampak ragu. “Ibu ngerti. Tapi ini tempat kerja, bukan tempat main. Nanti orang tua kamu nyalahin ibu kalau kamu kenapa-kenapa.”
Zia menelan ludah. Ia ingin bilang kalau dia gak punya orang tua yang peduli, tapi hanya bisa mengangguk pelan.
“Maaf ya, dek.”
Dengan langkah lesu, Zia keluar dari warung itu. Hatinya nyeri, tapi ia tak menangis.
“Gak apa-apa. Masih banyak tempat lain. Aku pasti bisa.” pikir Zia sambil menatap langit yang mulai gelap.
Zia menghela napas panjang. Kakinya terasa pegal, tubuhnya letih, dan harapannya mulai terkikis. Ia sudah menyusuri beberapa toko, apotek, bahkan warung fotokopi, tapi jawabannya selalu sama.
“Maaf, kami hanya terima usia 20 tahun ke atas.”
“Masih sekolah? Wah, gak bisa.”
Zia berdiri di ujung gang menuju rumahnya. Pandangannya kosong, menatap rumah tua yang jadi saksi penderitaannya.
“Gimana aku bisa lunasin semua hutang paman? Gimana caranya keluar dari semua ini?” batinnya getir.
Tiba-tiba, suara tawa familiar membuat bulu kuduknya meremang.
“cape, ya?” suara itu berat dan menyebalkan.
Zia menoleh. Juragan Tono berdiri dengan dua preman di sisinya. Tatapan pria itu penuh nafsu, licik, dan jijik.
Juragan Tono menyapu tubuh Zia dengan matanya dari atas ke bawah, lalu terkekeh kecil.
“Sudahlah, Zia. Nyerah saja. dan Nikah sama saya. Saya jamin hidup kamu bakal senang. Gak usah capek-capek cari kerja.”
Zia mendengus. “Zia gak mau nikah sama juragan. Juragan udah tua. Mana istrinya dua lagi.”
Juragan Tono menyeringai. “Tua-tua gini, banyak yang masih mau, sama saya.”
Zia membalas dengan nada tajam. “Paling juga yang mau cuma janda-janda kesepian yang kurang kasih sayang.”
Wajah juragan Tono langsung berubah. “Kamu…” gumamnya dengan geram.
“Tangkap dia!” teriaknya.
Dua preman itu mendekat, senyum mereka miring, tatapan mereka seperti serigala yang lapar.
“Jangan dekati aku!” seru Zia, tubuhnya mulai mundur.
“Sudahlah, nona. Nerima aja lamaran tuan Tono. Hidup kamu pasti enak,” goda salah satu preman.
“Kamu aja sana yang nikah sama dia!” balas Zia tajam.
“saya kan cowok. Masa nikah sama cowok,” sahut juragan Tono sambil tertawa.
Zia menjawab cepat, “Daripada sama saya!”
Preman itu tertawa kasar, lalu dengan cepat mencekal lengan Zia Genggamannya kuat,kasar, menyakitkan.
“Lepasin!” Zia meronta, tapi tak berkutik.
Juragan Tono mendekat, menyeringai puas. Ia mencolek dagu Zia dengan jemarinya yang berminyak.
“HAHAHA. Zia, sejauh apa pun kamu lari, kamu gak akan bisa lepas dari saya. Hutang paman kamu itu gak akan lunas. Percuma cari kerja. Dunia ini milik orang kaya seperti saya.”
Wajah Zia memerah, bukan karena malu—tapi karena jijik dan marah.
Detik berikutnya, tanpa aba-aba, Zia menghantamkan lututnya ke
-selangkangan preman di depannya. Si preman merintih dan jatuh.
Yang satu lagi mencoba menariknya—Zia langsung menendang bagian sensitifnya dengan keras.
Keduanya terkapar. Juragan Tono melongo.
Zia tak buang waktu. Ia lari sekencang mungkin, napasnya memburu, jantungnya berpacu cepat.
“Aku gak akan pernah milih hidup kayak yang mereka mau. Aku harus bertahan… bagaimanapun caranya.”
____
sementara itu Seorang laki-laki berdiri mematung di depan sebuah kosan kecil yang terlihat usang. Ekspresinya tidak menunjukkan ketertarikan sedikit pun pada tempat itu. Ia mengangkat alis, menahan napas, lalu menghela dengan dalam.
Aksara Dean Devandra. Anak kedua dari Elias Regandra dan Aura Devandra, pemilik tambang emas terbesar di Jakarta. Dan dia... sangat membenci tempat kotor.
Ia melirik sepatunya yang sedikit berdebu gara-gara tanah kering di depan kos, lalu bergumam pelan.
"Kalau bukan disuruh Oma, mana mungkin gue mau ke tempat beginian."
Tak lama, seorang pembantu keluar dari dalam kos sambil membawa nampan berisi secangkir kopi hitam.
“Makasih, Den, udah nganterin saya,” ucapnya ramah. “Ini, minum dulu.”
Aksa tersenyum kaku. “Gak perlu, Bi. Saya gak suka kopi.”
“Oh iya, maaf, Den. Saya lupa. Mau saya buatin jus aja?” tawar si bibi.
“Gak perlu juga, Bi. Saya langsung pulang aja.”
“Ya udah, makasih ya, Den.”
“Sama-sama, Bi.”
Aksa masuk ke mobil mewahnya dan melajukan kendaraan sambil mengusap setir pakai tisu basah. Ia terus menatap jalanan kota lewat kaca depan—sampai tiba-tiba…
Ciiitttt—!!!
Rem mobil mengerik. Badan Aksa sedikit terpental ke depan.
Seorang gadis hampir tertabrak!
Matanya membulat, ekspresi terkejut berubah jadi kesal.
“Ngapain sih tuh orang berhenti ditengah jalan? Mau mati apa ?!”
...Jangan lupa vote and comen...