Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Remake: Gadis Yang Kasar
Pagi yang cerah menyelimuti lereng pegunungan dekat desa Rivera. Sho, anak lelaki berusia enam tahun, berjalan perlahan sambil memungut bunga-bunga liar yang mekar di sela bebatuan. Meski penampilannya seperti anak lelaki biasa, Sho sangat menyukai bunga dan alam.
Tiba-tiba, suara langkah kaki berat menghampirinya.
Tanpa sadar, Aria, gadis berusia tujuh tahun dengan rambut biru malam, melangkah tanpa melihat dan menginjak sebuah bunga yang baru saja ingin dipetik oleh Sho.
Sho menatap tajam ke arah Aria. “Hei! Kau menginjak bungaku!”
Aria memandang dengan nada sinis, “Hah? Bunga? Aku tidak lihat apa-apa.”
Sho mengomel, “kau kejam sekali! Padahal kau bisa saja melihat kebawah.”
“Hanya itu saja yang kau pedulikan? Kau ini seperti perempuan, padahal kau malah terlihat seperti anak lelaki biasa.”
Sho terkejut dan merasa sakit hati, “Aku hanya suka bunga... bukan berarti aku perempuan.”
Aria membalas dengan dingin, “Aku tidak suka orang seperti kau yang terlalu menyukai hal-hal seperti itu.”
Sho membentak, “Kalau begitu, jangan menginjak bunga lagi!”
Mereka berdua saling tatap dengan penuh ketegangan, seperti dua musuh kecil yang tanpa sadar mulai terikat dalam sebuah kisah rumit.
Sho menatap tajam dengan mata merah rubi yang mulai menyala kecil karena marah.
“Kau bukan wanita sejati,” ejek Sho dengan suara mengejek, “kalau kau benar-benar wanita, kau tidak akan bersikap kasar seperti itu. Kau malah lebih mirip anak lelaki.”
Aria mendengus kesal dan mendekati Sho dengan langkah cepat.
“Jangan sok tahu!” bentak Aria. Tanpa aba-aba, dia mengangkat tangannya dan menepuk kepala Sho dengan keras.
Suara benturan membuat Sho terhuyung sejenak. Benjol kecil mulai muncul di kepalanya. Namun yang aneh, meski wajahnya tampak seperti ingin menangis, tidak ada air mata yang jatuh.
Sho memegangi kepala dengan tangan, napasnya tersengal, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis.
“Tidak... aku tidak akan menangis,” batinnya dengan keras.
Aria menatap Sho dengan heran dan sedikit bingung. “Kenapa kau tidak menangis? Biasanya anak seperti mu sudah menangis hanya dengan satu pukulan dariku.”
Sho hanya memandang balik dengan tatapan dingin.
“Aku bukan anak kecil yang mudah menangis, bahkan jika aku terluka,” jawab Sho pelan.
Ketegangan di antara mereka seketika menjadi aneh, seperti ada sesuatu yang berbeda dalam diri Sho, sesuatu yang tak bisa Aria mengerti.
Angin pegunungan bertiup pelan, membawa aroma bunga liar yang tumbuh di antara celah bebatuan. Sho masih berdiri mematung, satu tangan memegangi benjolan di kepalanya, sementara bibirnya bergetar menahan isak yang tak keluar.
Aria terdiam.
Tatapannya yang awalnya penuh kesal mulai berubah ragu. Ia tidak menyangka pukulannya akan membuat Sho terlihat seperti itu—seolah berada di ambang tangis, namun memilih menelannya sendiri.
“...Hei,” Aria bergumam, suaranya mengecil. Ia melangkah perlahan ke arah Sho.
Sho tetap diam. Bahunya bergetar. Tapi tak ada suara tangis.
“Aku...” Aria menarik napas. “Aku minta maaf.”
Kata-kata itu keluar dengan canggung. Aria tidak terbiasa meminta maaf. Tapi entah mengapa, melihat ekspresi Sho seperti itu membuat hatinya terasa tidak enak.
“Aku tidak tahu kalau bunga itu penting bagimu,” lanjutnya pelan, “aku, aku tidak sadar kalau telah menginjak bunga itu...”
Sho mengangkat wajahnya perlahan. Matanya masih merah, bukan karena kekuatannya, tapi karena ia benar-benar hampir menangis. Namun kini matanya menatap Aria, tak lagi dengan amarah, tapi bingung—seperti belum pernah mendengar permintaan maaf dari orang asing.
“...Kau menginjak Edelweiss,” gumam Sho pelan. “Bunga itu langka. Aku sudah menunggunya mekar dari awal musim.”
Aria terdiam, lalu ikut duduk di samping Sho. “Edel... apa?”
“Edelweiss,” Sho menatap ke arah pegunungan, “bunga putih yang hanya tumbuh di dataran tinggi. Simbol ketahanan dan harapan. Ibuku bilang begitu.”
“Oh...” Aria menatap tanah. “...Maaf, ya. Aku sungguh tidak tahu kalau bunga itu berharga.”
Hening sejenak. Hanya suara angin dan dedaunan yang bergesek.
“Aku Aria,” katanya kemudian, mencairkan suasana, “Aria Pixis. Ayahku pemburu di desa Rivera.”
Sho melirik, masih sedikit ragu. Namun akhirnya, ia membalas, “...Sho. Sho Noerant. Aku tinggal di toko bunga dekat sungai.”
“Jadi itu sebabnya kau suka bunga?” Aria tersenyum kecil.
Sho mengangguk. “Aku hanya suka alam... semuanya terasa hidup. Bunga pun bisa bicara, kalau kau cukup diam untuk mendengarkannya.”
Aria mengangkat alis. “Kau aneh.”
Sho menatap Aria, lalu tersenyum tipis. “Dan kau kasar.”
Mereka terdiam lagi, namun kali ini bukan karena canggung, melainkan karena pelan-pelan, mereka mulai merasa saling mengerti... walau sedikit.
Tanpa mereka ketahui, di balik awan yang menggulung di atas pegunungan Rivera, langit seolah membuka mata.
Takdir mulai berputar.
Perkenalan itu—sebuah pertemuan yang tampak sepele—adalah awal dari rantai panjang yang akan mengguncang dunia.
Dan mereka, dua anak manusia, telah terikat oleh sesuatu yang jauh lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/