NovelToon NovelToon
Transmigrasi Aziya

Transmigrasi Aziya

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Transmigrasi / Bullying dan Balas Dendam / Putri asli/palsu
Popularitas:11.9k
Nilai: 5
Nama Author: lailararista

Aziya terbangun di tubuh gadis cupu setelah di khianati kekasihnya.

Untuk kembali ke raganya. Aziya mempunyai misi menyelesaikan dendam tubuh yang di tempatinya.

Aziya pikir tidak akan sulit, ternyata banyak rahasia yang selama ini tidak di ketahuinya terkuak.

Mampukah Aziya membalaskan dendam tubuh ini dan kembali ke raga aslinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pria Misterius

"Princess kenapa nggak bangun juga, Dad?" tanya Zetas pelan sambil menatap lekat wajah Aziya yang masih terbaring tak bergerak. William hanya menghela napas panjang, lalu bangkit menjauh dari ranjang menuju sofa dengan langkah berat.

"Daddy juga nggak tau, sudah dua hari dia tetap belum sadar," ucapnya lirih.

"Kata dokter dia udah nggak koma, tapi kenapa belum bangun?" Zetas mendesah kesal.

William mendecak. "Kalau kamu nanyanya sama Daddy, terus Daddy harus nanya sama siapa?"

"Ya dokter lah, Dad," balas Zetas tak mau kalah.

William menggeleng malas, lalu mencoba mengalihkan topik. "Sudahlah. Orang yang nggak sengaja Princess lukai sebelum koma itu, sudah kamu lihat lagi?"

Ingatan pahit itu kembali terputar jelas di kepala Zetas. Sebelum kejadian, Aziya ditugaskan William untuk menyingkirkan pengkhianat di sebuah club malam. Menyamar sebagai perempuan malam, Aziya berhasil menembak tiga orang tepat di kepala tanpa ada yang menyadari, berkat senjata berperedam suara.

Namun, di tengah aksi itu, ada satu pria yang juga terluka. Bukan musuh, melainkan seseorang yang tak sengaja terlibat. Aziya semula mengira pria itu bagian dari komplotan, karena hanya dia yang sadar siapa pelaku sebenarnya.

Pria itu tersenyum miring walau peluru tertancap di pundak, dekat dadanya. Saat ia melemah, Aziya mendekat dengan wajah panik.

"Maafin saya... saya nggak sengaja," ucap Aziya dengan suara gemetar sambil menopang bahu pria itu.

Pengawal pria itu hendak menolong, tapi isyarat tangan sang pemimpin menghentikan mereka. Dengan sisa tenaga, ia menatap Aziya penuh arti, lalu tersenyum kecil.

"Kamu harus... bertanggung jawab," katanya terbata.

Aziya mengangguk cepat tanpa pikir panjang. "Saya janji. Saya akan biayai pengobatan Anda sampai sembuh."

Namun, tanpa ia ketahui, tanggung jawab yang dimaksud pria itu jauh berbeda dari sekadar uang.

Zetas akhirnya duduk di samping William dengan wajah jenuh. "Sudah dua hari, tapi dia belum sadar juga. Apa mungkin ini karma Princess? Dia bikin anak orang koma, eh sekarang dia ikutan koma."

PLAK! William memukul kepala Zetas dengan buku hingga anak laki-lakinya itu meringis kesakitan.

"Omonganmu itu nggak ada hubungannya! Ini murni karena dia sedih gara-gara bajingan itu!"

Zetas mendengus, mengusap kepalanya. "Tapi kan ada benarnya juga, Dad."

William mendengus malas, lalu menatap majalahnya. "Sudahlah. Anak kesayangan Daddy lagi sakit. Jangan nyalahin dia."

Zetas mendelik. Dalam hati ia kesal, kenapa cuma Princess yang disebut anak kesayangan? Bukankah dia juga anak William?

Tiba-tiba, suara lirih terdengar dari ranjang. "Da-ddy..."

William dan Zetas sontak membelalakkan mata. Serentak mereka mendekat, menatap Aziya yang mulai menggeliat gelisah.

"Daddy..." ulang Aziya dengan suara parau. William langsung menitikkan air mata, haru bukan main.

Zetas buru-buru menekan bel untuk memanggil dokter, panik sekaligus lega.

"Daddy... sa-sakit..." lirihnya lagi.

William, mafia yang selama ini ditakuti banyak orang, justru menangis melihat anaknya tampak begitu lemah. "Iya, sayang... Daddy di sini," ucapnya sambil mengelus rambut panjang Aziya penuh kasih.

"Princess, kenapa cuma panggil Daddy? Abang juga ada di sini, loh." Zetas ikut menunduk, menciumi kening Aziya berkali-kali.

William tak menanggapi ocehan Zetas. Yang terpenting baginya saat ini hanya satu, putrinya akhirnya sadar.

★★★

Di ruang rawat yang remang, mesin monitor berdetak pelan. Seorang pria terbaring dengan tubuh penuh perban, wajahnya pucat, namun sesekali jemarinya bergerak pelan. Perawat yang berjaga sempat mengira itu hanya refleks, tapi tatapan samar di matanya menyingkap hal lain, ia setengah sadar, seperti ada dunia di antara tidur dan terjaga.

Dalam kondisi itu, pria itu berbisik lirih.

“Aku… ingat matanya, aku ingat ucapannya.”

Tidak ada yang benar-benar memperhatikan. Namun, kalimat itu berulang setiap kali ia setengah sadar. Tentang sepasang mata perempuan, mata Aziya yang dilihatnya tepat sebelum peluru menembus bahu, hampir mengenai dada. Sejak saat itu pula, pria itu mencintainya

Kadang ia tersenyum tipis, meski rasa sakit menjalari tubuhnya. Senyum itu bukan senyum putus asa, melainkan seolah menyimpan rencana yang hanya ia sendiri yang tahu.

“Dia milikku,” ucapnya dengan suara nyaris tenggelam oleh bunyi monitor.

Para perawat bergidik. Ada sesuatu yang aneh dari pasien ini. Identitasnya nihil, tapi setiap kali ia sadar sebentar, ucapannya konsisten, seakan hanya hidup untuk menunggu seseorang.

Pernah, di malam sepi, matanya terbuka lebih lebar. Pandangannya kosong menatap langit-langit, namun suara beratnya terdengar jelas.

“Aku bukan korban… aku dipertemukan. Kalian pikir ini kebetulan?”

Setelah itu, ia kembali terlelap, meninggalkan tanda tanya besar.

Di sisi lain, keluarga Aziya tak pernah tahu detail ini. Mereka hanya menanggung biaya pengobatannya, menganggap itu bentuk tanggung jawab. Tapi bagi pria itu, setiap detak jantungnya yang bertahan adalah cara untuk mengingat janji Aziya, janji yang baginya bukan sekadar biaya pengobatan, melainkan ikatan yang harus ditepati.

Dan di sela-sela sadarnya, ia hanya menunggu satu hal saat Aziya datang menemuinya.

Dimalam harinya ruang rawat itu selalu sunyi. Lampu hanya menyala setengah, meninggalkan bayangan panjang di dinding. Seorang pria terbaring kaku, tubuhnya dikelilingi alat medis yang terus berbunyi monoton. Sekilas ia tampak seperti pasien biasa yang menunggu waktu sadar, tapi para perawat tahu… pria ini berbeda.

Kadang di tengah tidur panjangnya, jari-jarinya bergerak, meremas selimut dengan keras. Sesekali nafasnya memburu, seolah sedang berlari dalam mimpi. Namun yang paling membuat bulu kuduk berdiri adalah kata-kata yang meluncur dari bibirnya, selalu samar, namun jelas.

“Kamu sudah janji...”

Perawat yang mendengar hanya bisa saling pandang, berpura-pura sibuk dengan catatan medis. Ada pula yang diam-diam meyakini pasien ini bukan sekadar manusia biasa.

Pada malam keempat, tubuh pria itu berkeringat hebat. Matanya terbuka setengah, pupilnya bergerak cepat seperti orang yang menyaksikan sesuatu di luar dunia nyata. Suaranya terdengar parau, tapi penuh penekanan.

“Aku lihat… api, darah, dan dia berdiri di sana. Wajahnya... Seperti wajah malaikat yang tersesat.”

Tak lama, ia tersenyum samar, lalu kembali terpejam. Monitor detak jantungnya kembali normal, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Keesokan harinya, seorang dokter senior mendekati William dengan raut bingung.

“Pasien ini… sesuatu yang aneh, Pak. Tubuhnya kuat sekali. Luka peluru yang seharusnya butuh operasi besar, ternyata hanya menutup sendiri dengan cepat. Saya belum pernah melihat jaringan otot beregenerasi seperti itu.”

William hanya mendengus, menatap kaca jendela yang memantulkan sosok pria di ranjang. “Jangan banyak bicara. Kau hanya perlu memastikan dia tetap hidup.”

Yang tidak William katakan, dan bahkan keluarga Aziya tak tahu, adalah kenyataan bahwa pria itu tidak memiliki rekam data apa pun. Tidak ada catatan sipil, tidak ada sidik jari yang cocok di kepolisian, bahkan wajahnya tidak pernah terekam di sistem manapun. Ia bagaikan hantu yang tiba-tiba muncul di klub malam itu, lalu berakhir di ranjang rumah sakit.

Di malam lain, saat hujan deras mengguyur kota, pria itu kembali membuka matanya. Tatapannya kosong, tapi bibirnya bergetar.

“Aku masih ingat suara tembakannya. Jemarinya gemetar. Dia panik, tapi tetap menatapku. Dia tak tahu… dia sudah memilih.”

Tubuhnya bergidik pelan, lalu suara itu makin jelas.

“Dia tidak boleh mencintai pria lain. Hanya aku, bukan Gabriel, tidak ada yang bisa menolak kalau aku sudah memilih.”

Setelah kalimat itu, matanya kembali menutup, menyisakan layar monitor yang berdetak stabil.

Bagi siapa pun yang mendengarnya, ucapan itu hanya omong kosong pasien koma. Tapi bagi pria itu, adalah janji dalam kesadarannya, janji untuk menagih sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar biaya pengobatan.

Dan tanpa disadari oleh siapapun, senyum tipis sering kali menghiasi bibirnya dalam tidur. Senyum yang membuat siapa pun yang melihat merinding, karena seolah pria itu tahu sesuatu, sesuatu yang bahkan keluarga Aziya pun tidak mengerti.

Ia menunggu. Ia selalu menunggu. Hanya untuk satu orang, Aziya.

1
kriwil
boleh minta bantuan dady angkatmu zira
kriwil
mungkin mama aziya ini palsu kok kayak binatang gitu ke anak nya
aku
aih otakku blm nyampe.dy sape?? apa gabriel transmigrasi?? siapa 🤔🤔🤔
lailararista
selamat membacaaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!