Ditinggal saat sedang hamil, Elma terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya seorang diri. Yang lebih menyakitkan daripada sekedar ditinggal, ternyata suami Elma yang bernama Dion secara diam-diam menceraikan Elma. Dan dibalik pernikahan tersebut, ada kebenaran yang jauh lebih menyakitkan lagi bagi Elma. Penasaran? Yuk baca ceritanya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Salahku?
Waktu berjalan begitu lambat bagi Elma. Setiap hari ia bangun dengan harapan tipis bahwa pintu rumah kontrakannya akan diketuk, bahwa Dion akan pulang dengan wajah lelah namun membawa kabar lega. Namun harapan itu selalu runtuh saat malam tiba, meninggalkannya sendiri bersama kesunyian dan tangis yang tak kunjung berhenti.
Hari ini, tepat satu bulan sejak Dion menghilang. Elma duduk di kursi usang yang ada di ruang tamu, ia menatap kosong ke arah jendela. Perutnya mulai terlihat membuncit, tanda kehidupan kecil yang terus tumbuh di dalam rahimnya. Anak itu menjadi satu-satunya alasan kenapa ia bertahan di tengah badai rumah tangganya.
Tapi sore itu, saat kurir datang membawa sebuah amplop tebal berstempel resmi pengadilan, dunia Elma langsung runtuh. Dengan tangan gemetar, ia membuka isi amplop. Mata Elma melebar, dadanya mulai terasa sesak.
Sebuah dokumen resmi berada digenggaman tangannya, Akta Cerai. Tertulis jelas nama Dion sebagai pihak pertama, dan dirinya sebagai pihak kedua. Segala syarat hukum telah disahkan. Kalimat terakhir di dokumen itu membuat jantung Elma berhenti sejenak:
"Dengan ini diputuskan bahwa pernikahan antara Dion Santara dan Elma Dewanta telah berakhir, dan kedua belah pihak tidak lagi terikat sebagai suami istri."
Kertas itu jatuh ke lantai. Elma terduduk lemas, air matanya mengalir deras tanpa bisa ia bendung. Tangannya meraba perutnya, berusaha menenangkan bayi yang bergerak halus di dalamnya.
“Ya Tuhan, apa salahku? Kenapa Dion tega melakukan ini padaku? Bahkan tanpa menemuiku, tanpa alasan, tanpa bicara, hanya surat cerai yang pulang,” bisiknya parau.
Elma menunduk, wajahnya tenggelam di kedua telapak tangan. Tangisnya pecah mengguncang tubuhnya. Ia merasa hancur, dikhianati oleh orang yang selama ini ia cintai. Harapan selama ini ia pupuk sirna begitu saja. Sekarang kenyataan pahit harus Elma terima, Dion bukan lagi suaminya.
***
Hari-hari berikutnya berjalan seperti hidup dalam kabut. Ia tidak lagi menunggu di depan jendela setiap sore. Ia tidak lagi berdoa agar Dion pulang. Yang ada hanya perasaan hampa. Namun di tengah rasa sakit itu, ia menyadari satu hal, hidup harus terus berjalan sebab sekarang ada satu nyawa yang ia bawa.
Ia memandang perutnya yang semakin membesar. “Nak, kita hanya punya satu sama lain sekarang. Papa sudah tidak mau lagi bersama kita. Tapi Mama janji, Mama akan tetap menjagamu.”
Kata-kata itu menjadi pijakan baru bagi Elma. Ia sadar tidak mungkin hanya berdiam diri. Tabungan kecil yang tersisa semakin menipis, dan biaya hidup terus berjalan. Ia tidak bisa mengandalkan siapa pun. Dengan hati yang masih penuh luka, Elma memutuskan untuk bekerja.
Namun mencari pekerjaan dengan kondisi hamil empat bulan bukanlah hal mudah. Banyak pintu yang ia ketuk, tapi ditolak begitu tahu ia sedang mengandung. Wajah-wajah manajer pemilik usaha berubah dingin, seolah Elma hanya beban.
“Maaf, Bu. Kami butuh karyawan yang bisa full bekerja. Dengan kondisi Ibu sekarang, kami tidak bisa menerima,” begitu alasan yang selalu ia dengar.
Meski kecewa, Elma tidak menyerah. Ia mulai mencari pekerjaan sederhana yang bisa ia lakukan. Akhirnya, ia mendapat kesempatan di sebuah kedai kecil milik pasangan suami istri ramah di dekat kontrakannya. Pekerjaannya tidak berat, membantu menyiapkan pesanan, membersihkan meja, dan melayani pembeli.
Hari-hari yang dilalui Elma sungguh berat, hanya saja ia tidak memiliki pilihan lain selain menjalaninya karena Elma tidak memiliki rumah untuk berpulang dan bahu untuk bersandar.
Namun, setiap kali malam tiba, rasa sepi itu kembali menyerang. Elma sering terdiam di tepi ranjang, menatap surat cerai yang sekarang ia simpan di laci. Luka di hatinya belum sembuh, tapi ia berusaha menutupinya dengan bekerja keras.
Tapi sore ini ia mendengar kabar dari tetangga bahwa keluarga Dion kembali kaya. Diana sering terlihat mengendarai mobil barunya, Ratna sering berbelanja barang mewah. Semua itu membuat Elma semakin curiga bahwa ada rahasia besar di balik hilangnya Dion. Namun kini ia tidak lagi punya hak untuk bertanya. Ia hanyalah mantan istri.
Dan malam ini, setelah pulang dari kedai, Elma duduk di teras kontrakan sambil memegang perutnya. Bayi di dalamnya menendang pelan, seolah memberi semangat. Elma tersenyum tipis di tengah air mata yang masih mengalir.
“Terima kasih, Nak. Kau sudah memberi Mama alasan untuk terus hidup. Walau Papa meninggalkan kita, Mama tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Ia menatap langit malam yang gelap, berbicara pada suami yang pernah ia cintai. “Dion, meski kau menceraikan aku tanpa alasan, meski kau tinggalkan aku sendiri, aku tidak akan membenci. Tapi aku juga tidak akan menyerah. Aku akan membesarkan anak ini tanpa bantuanmu. Biarlah waktu yang menjawab semua pertanyaanku.”
***
Hari berganti, Elma perlahan mulai menemukan ritme baru dalam kehidupannya. Ia tetap bekerja meski kehamilannya semakin besar. Tubuhnya lelah, namun hatinya sedikit demi sedikit belajar menerima kenyataan.
Meski begitu, luka yang ditinggalkan Dion tetap membekas. Setiap kali melihat pasangan suami istri yang tertawa bersama, hatinya terasa diremas. Elma merasa iri, ia ingin hidup seperti itu. Namun ia sadar, jalan hidupnya berbeda.
Sekarang, satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah menatap masa depan dengan anaknya, bukan lagi dengan Dion. Elma berusaha menutup lembaran lama dengan air mata, lalu menuliskan lembaran baru dengan kerja keras dan cinta seorang ibu.
Dan di tengah semua kesedihan itu, tumbuh tekad dalam hati Elma, meski diceraikan, meski dihina, ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu berdiri tegak. Demi dirinya sendiri, dan demi anak yang sedang ia kandung.
***
Pagi itu, Elma keluar dari kontrakannya dengan langkah hati-hati. Usia kandungannya sudah memasuki lima bulan, tubuhnya mulai sering terasa lelah, namun ia bertekad untuk tetap bekerja demi biaya hidupnya sendiri dan bayi yang tengah dikandung. Baru beberapa langkah, ia berpapasan dengan Diana yang baru saja turun dari mobil barunya.
“Eh, ternyata benar kabarnya. Janda satu ini sekarang bekerja juga," ucap Diana sambil menyeringai sinis, tatapannya penuh ejekan. Ia menyisir rambutnya dengan sombong, seolah puas melihat kondisi Elma.
Elma berhenti sejenak, menatap Diana dengan tenang meski hatinya perih. Ia tidak menjawab, hanya menarik napas dalam-dalam lalu kembali melangkah. Namun Diana tidak berhenti, ia tertawa keras. “Kasihan sekali, ditinggal suami, mendapatkan akta cerai, sekarang harus banting tulang sendiri. Kau itu memang tidak pantas jadi istri Dion!”
Elma berhenti sejenak, lalu menoleh dengan wajah tegas. “Kau boleh hina aku sesukamu, Diana. Tapi aku tidak akan pernah malu bekerja demi anakku. Setidaknya aku masih memiliki harga diri, tidak hidup dari menginjak orang lain.”
Tanpa menunggu balasan, Elma melanjutkan langkahnya. Sementara Diana terdiam, ia tidak menyangka Elma mampu menjawab dengan tenang.