“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS35
JLEB!
Argghhh!
Klang!
Brugh!
Darah segar menggenang dari jubah Mansur Ağa. Kedua kakinya tersentak-sentak, meregang nan menegang, lalu tak lama — ia pun terdiam.
Matanya masih terbelalak lebar, menatap kosong langit-langit istana. Pandangannya bergetar, antara sadar dan tidak. Langit-langit di atasnya seperti berputar, warnanya perlahan memudar, hingga akhirnya berubah menjadi wajah seseorang.
Wajah itu semakin jelas. Sepasang mata unik menatapnya dari balik cahaya dengan rambut hitam terurai menutupi sebagian pipi.
“Bangunlah, Mansur Ağa. Apa kau ingin mati di sini?!”
“Esma Hatun?” Mansur mengerjap, mencoba memastikan penglihatannya. “Astaga ... kenapa kau selalu membuntutiku ke mana pun? Bahkan sampai ke alam baka juga kau mau ikut? Oh, malangnya kau, Esma—”
“Cepat bangun, Mansur! Sebelum aku memberimu hantaman akhir hayat!”
Manik sayu Mansur mendelik kala melihat Esma sudah mengepalkan tinju di depan wajahnya.
“Esma ...? Aku masih hidup?” gumamnya sambil meraba wajahnya, setengah tak percaya. Ia berusaha menggerakkan tubuhnya, menyingkirkan jasad pria bercodet yang menimpa dadanya. “Dia ... yang berpulang ke pangkuan Ilahi? Bagaimana bisa?”
Hiii!
Mansur bergidik melihat ujung pedang tertancap di bagian sensitif si pria bercodet.
“I-ini ulahmu? Tapi ... apa yang kau lakukan di sini?!” serunya, matanya membulat setelah mencerna apa yang sedang terjadi, buru-buru ia berdiri. “Tampaknya kau sengaja menyelamatkan aku agar kau dapat menyaksikan sendiri bagaimana Baginda mengirimku ke Neraka, ya?!”
Mansur seketika menggigil, membayangkan murka Bey Murad bila mengetahui kekasihnya yang tengah mengandung darah dinasti justru turut bertempur, menumpas pemberontakan dengan tangan sendiri.
“Auuchhh mengerikan!” Ia menutup telinga dengan kedua tangan, seolah-olah perintah hukuman mati sudah terngiang-ngiang di telinganya.
(Beginilah kira-kira ekspresi Mansur Ağa)
“Kau ini cerewet sekali,” cibir Esma. “Kalau aku tak datang menyusul, kau sudah pasti dikafani pagi ini.”
Mansur mendengus pelan, melempar tatapan datar — lalu mengedarkan pandangannya. Tak pelak, sang kasim kembali menggigil manakala melihat puluhan musuh tumbang dengan masing-masing anak panah bersarang di kepala mereka.
“I-ini juga ulahmu?!” tanyanya sembari menelan ludah.
“Sudah, kau jangan banyak tanya,” potong Esma sambil menarik busur dari punggungnya. “Ayo, ikut aku ke balkon Baginda. Bawa semua anak panah yang bisa kau temukan. Kita akan menyerang dari sana!”
Mansur sempat terpaku, menatap punggung Esma yang melangkah cepat melewati jasad bergelimpangan. Ujung gaunnya berlumur debu dan darah, tetapi, tak sedikit pun mengurangi keberanian wanita itu.
Dengan terhuyung, Mansur mengambil busur dan kantung panah dari prajurit yang telah gugur. Napasnya tersengal, tapi ia tetap menyusul Esma menuju tangga menuju balkon Baginda. Dari atas sana, suara gemuruh bentrokan dan teriakan perang terdengar semakin jelas — tanda bahwa medan tempur kini telah merembet hingga jantung istana.
...***...
Begitu sampai di balkon, Esma dan Mansur langsung memanah ke arah pasukan pemberontak yang menerobos gerbang dalam.
Esma menarik busurnya, membidik cepat tanpa ragu.
Syiut!
Panah melesat, menembus dada salah satu pemberontak yang memanjat dinding. Ia jatuh berguling, menghantam tanah.
“Lihat arah menara barat!” seru Esma. “Mereka sudah menembus gerbang luar!”
Mansur mengangguk, keduanya memanah tanpa henti — satu demi satu musuh tumbang. Asap dan debu memenuhi udara, membuat pandangan nyaris kabur.
Di tengah-tengah kekacauan itu, tiba-tiba saja—
BUM!
Dentuman keras menggema dari arah gerbang timur, disusul suara terompet panjang yang menembus hiruk-pikuk pertempuran.
Mansur menegakkan tubuhnya, menoleh dengan mata berbinar, “Lihat! Bala bantuan datang!”
Dari kejauhan, tampak barisan prajurit berkuda menerobos kabut asap, panji-panji kerajaan berkibar tinggi.
Sorak kemenangan bergema, para pemberontak yang tersisa mulai panik — mereka dikepung dari tiga arah, tak punya lagi ruang untuk mundur.
Bey Murad muncul di tengah bala bantuan, memacu kudanya ke barisan depan, sorot matanya tajam menyapu halaman istana yang porak poranda.
“Tangkap semuanya hidup-hidup!” serunya lantang. Suaranya memecah riuh pertempuran, menjadi aba-aba yang membuat pasukan kerajaan bergerak cepat, menundukkan sisa-sisa pemberontak yang masih mencoba bertahan.
Di atas balkon, Mansur menepuk-nepuk tangannya sambil terkekeh kecil, matanya berbinar melihat para pemberontak yang kini kocar-kacir dikepung pasukan kerajaan.
“Hah! Kau lihat itu, Esma Hatun? Mereka tamat sekar—”
Mansur tak melanjutkan perkataannya. Ia menilik Esma yang mematung di tepi balkon dengan wajah pias.
“Esma?” panggil Mansur. “Kau baik-baik saja?”
“Mansur ....” Esma memegang perutnya, tubuhnya sedikit membungkuk. “Sepertinya ada yang tak beres dengan perutku.”
“Apa maksudmu?!” tanya Mansur bingung sekaligus cemas. Namun sedetik kemudian, sang kasim mengerjap. Sekujur tubuh Mansur membeku ketika menyadari apa yang tengah terjadi. “Oh, Tuhan!”
Seakan tak percaya, ia menatap kembali mata Esma. Wanita berbadan dua itu mengangguk seolah paham arti tatapan Mansur.
“Aku ... aku rasa waktunya akan tiba ....” desisnya dengan napas berat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
“Yang benar saja ... sekarang?! Di tengah peperangan ini?! Esma, ini belum waktunya kau melahirkan ...!” Mansur benar-benar panik, tangannya sampai bergetar. “Sepertinya kau mengalami kelahiran sebelum waktunya (prematur).”
Tanpa pikir panjang, Mansur segera memapah tubuh Esma menuju ranjang Bey Murad.
“Berbaring, berbaring di sini dulu! Tarik napas, Esma, tarik napas yang dalam! Aku akan segera mencari ebe (bidan) dan tabib wanita!” Mansur melepaskan Esma perlahan. Namun, di saat bersamaan — Esma mengalami kontraksi berikutnya.
Refleks Esma menjambak sorban di kepala Mansur, bahkan rambut sang kasim turut tertarik hingga wajahnya mendongak ke langit-langit.
“Esma Hatuuuun, kau ingin melahirkan atau ingin membunuhku?!”
“Uaaaaakkkkkhh!”
*
*
*
aku suka peran wanita yg gk menye menye 🤭🤭
gk suka yg drama indosiar dkit dikit meewekk
sadr diri